Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ibu Mertua Rasa Ibu Kandung

23 Desember 2022   07:02 Diperbarui: 23 Desember 2022   07:13 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan ibu membantu menyiapkan pesanan pelanggan (dok.Martha Weda)

Diterima dengan tulus

Pertemuan pertama saya dengan ibu mertua (kala itu masih calon) terjadi saat saya baru menjalin kasih selama 2,5 tahun dengan suami. 

Kala itu, seorang sepupu (anak seorang bude) dari suami menikah, dan ibu datang ke kota kami, dari kota tempat tinggal ibu, untuk menghadiri hajatan tersebut.

Meskipun status saya saat itu masih calon istri dari suami tercinta, bude mengundang saya turut hadir dalam resepsi pernikahan tersebut. Kebetulan saya sudah beberapa kali bertemu keluarga besar suami.

Bahkan saya dijemput untuk bisa hadir dalam acara tersebut. Rasanya begitu tersanjung, kehadiran saya ditunggu dan dihargai dalam keluarga besar suami. Padahal, saat itu status masih pacar, belum resmi masuk dalam lingkup keluarga besar suami. 

Pada momen itulah, saya bertemu ibu mertua untuk pertama kali. Raut wajah ibu terlihat begitu senang berjumpa dengan saya. Seperti ada kebahagiaan tersendiri mendapati saya sebagai calon istri anaknya. Ah, saya jadi geer... 

Saya digandeng ke sana ke mari, dan berkali-kali diperkenalkan kepada kerabat yang hadir. Bahkan saya dititpkan tas tangan ibu untuk saya pegang, ketika ibu kerepotan menjaga tas tangannya. 

Oh ya, maaf saya hanya bisa bercerita tentang ibu mertua. Sedangkan bapak mertua, saya tidak sempat bertemu. Beliau wafat dua tahun sebelum saya bertemu suami. 

Itulah kisah pengalaman pertama saya berjumpa dengan ibu mertua, yang selanjutnya saya panggil ibu. Yang saya lihat dari ibu, ibu seorang wanita yang baik dan penyayang.

Saya merasa kehadiran saya dalam keluarga ibu disambut dan diterima dengan sangat baik. Saya merasa sudah menerima restu ibu bahkan sebelum kami saling bertemu, keren kan...? Hehe... 

Yang membuat saya semakin terkesan adalah, bahwa ibu sudah tahu sebelumnya, kalau keyakinan iman saya berbeda dengan ibu. Namun, ternyata ibu tidak menganggap hal itu sebagai masalah. Sebaliknya, ibu tetap memberi restu. 

Dari situ saya tahu, bahwa ibu berpandangan liberal, memiliki perspektif luas dan terbuka. Bagi ibu, perbedaan adalah sesuatu yang normal dan manusiawi, sehingga tidak perlu diperdebatkan. 

Saya pernah mendengar ibu mengemukakan pendapatnya perihal perjalanan asnara anak-anaknya. Pendapat ini beliau sampaikan di depan beberapa kerabat dalam sebuah perbincangan. 

Ibu berkata, ibu tidak pernah menpermasalahkan dengan siapa anaknya akan jatuh cinta dan menikah. Ibu memberi kebebasan kepada kedua anaknya untuk memilih pasangan hidup, tanpa ada tekanan sedikitpun dari ibu.

Bagi ibu, kebahagiaan anak adalah yang terutama. Selama anak bahagia, ibu akan merestui. 

Dan terbukti, saya dan suami, serta adik ipar dan suaminya, berbahagia dengan pernikahan kami masing-masing.

Salah satunya saya rasa, karena ibu sebagai orang tua, memberi restu atas kedua pernikahan anak-anaknya tersebut dengan sepenuh hati. 

Selain itu, anak-anak ibu yang telah diberi kebebasan dengan tulus, ternyata tidak mempergunakan kebebasan itu dengan seenaknya. Mereka benar-benar memilih pasangan hidup yang sekiranya berkenan di hadapan ibu. 

Rajin, disiplin, pekerja keras dan energik

Setelah saya menikah, saya belajar banyak hal positif lainnya dari ibu. Ibu nyatanya seorang yang rajin, disiplin,  pekerja keras, dan selalu energik. 

Setiap hari, antara pukul tiga hingga etengah empat dini hari, ibu sudah bangun, dan langsung berjibaku dengan urusan dapur. 

Ketika kami berlibur ke rumah Ibu, saya sering sulit mengikuti ritme Ibu untuk bangun sangat dini. Seringkali saya baru terbangun pukul lima atau setengah enam pagi, lalu mendapati sudah tersedia nasi dan lauk pauk untuk sarapan pagi, beserta beberapa gelas teh panas yang tersaji di atas baki. Duh, malu rasanya. 

Namun, ibu sepertinya sangat mengerti bahwa setiap orang memiliki cara dan waktu berbeda dalam memulai hari. Ibu tidak pernah memandang saya sinis hanya karena saya bangun kesiangan, atau karena ibu telah lebih dulu menyiapkan makanan.

Saya pun belajar, bahwa ibu memilki hati seluas dan sedalam samudera, mau menerima orang lain  termasuk menantunya, apa adanya. 

Waktu ibu sehari-hari memang seperti sudah terprogram rapi. Antara pukul 3-3.30 bangun pagi, lalu langsung mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.

Pukul 10 pagi, ibu akan merebahkan diri sekadar meluruskan pinggang sekitar setengah jam. Lalu, pukul 1 siang, ibu akan mulai menilah-milah jemuran, mana yang sudah kering, mana yang masih harus dijemur. Kemudian, ibu akan menyetrika pakaian-pakaian kering tersebut. 

Pukul 3 sore, ibu kembali ke dapur, memasak nasi dan memanaskan lauk pauk. Pukul 5 sore ibu mandi, lanjut menonton TV atau mengobrol dengan anak-anak dan cucunya hingga naik ke peraduan. Seperti itu rutinitas ibu setiap hari. 

Kemudian, saya tahu kalau hobi terbesar ibu adalah memasak. Maka itu, ibu senang menghabiskan sebagian besar waktunya di dapur. 

Keinginan ibu saat masa muda, untuk memiliki dapur yang besar, terwujud ketika adik ipar yang tinggal bersama ibu, merenovasi rumah. 

Dapur yang besar membuat ibu leluasa bergerak dan merealisasikan hobinya. 

Semenjak pandemi, tugas ibu bertambah. Adik ipar yang membuka usaha penjualan bahan pangan segar, mendorong ibu untuk tidak tinggal diam. 

Atas inisiatif ibu, setiap pagi, seusai mengerjakan pekerjaan di dapur dan jalan pagi mengitari alun-alun, ibu membantu membersihkan dan menyiapkan bahan-bahan pangan, seperti sayuran, daging, dan ikan, sebelum dikemas dan dikirim kepada pelanggan. 

Kegiatan ibu membantu menyiapkan pesanan pelanggan (dok.Martha Weda)
Kegiatan ibu membantu menyiapkan pesanan pelanggan (dok.Martha Weda)

Ibu tidak merasa terbebani dengan kegiatannya tersebut. Sebaliknya, ibu bangga, di usia yang sudah lanjut, 73 tahun, ibu masih aktif dan produktif, meski kini terbatas hanya dalam lingkup keluarga. 

Kebiasaan ibu yang disiplin dan pekerja keras ini, tidak terlepas dari kebiasaan masa muda ibu.

Puluhan tahun menjadi sales di sebuah perusahaan BUMN yang bergerak pada jasa asuransi, membuat ibu menjadi pribadi yang ulet, penuh semangat, dan pantang menyerah. 

Dulu, ibu sangat ulet mencari client. Tidak heran, kenalan ibu ada hampir di setiap sudut kota tenpat tinggalnya.

Sekarang, setelah tidak aktif lagi, sesekali masih ada saja kenalan yang meminta tolong ibu, mencarikan nasabah untuk produk asuransi yang mereka tawarkan. 

Nrimo

Ibu bukan seorang yang mudah mengeluh. Menurut suami saya yang mengerti bahasa Jawa, ibu itu nrimo, mampu menerima kondisi apapun tanpa mengeluh. 

Sewaktu bapak mertua masih hidup, tapi mulai sakit-sakitan dan tidak mampu bekerja lagi, ibu yang menjadi tulang punggung keluarga, mencari nafkah sebagai sales asuransi. 

Namun demikian, cerita suami, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari perkataan ibu. Ibu tetap melayani, mencintai, dan menghormati bapak mertua sampai beliau wafat. 

Kini ibu juga mengalami banyak masalah kesehatan akibat usia lanjut, tapi ibu pun pantang mengeluh. Dinikmati saja, begitu ibu sering berkata, bila penyakitnya kambuh. 

Ibu mertua rasa ibu kandung

Karena tinggal berbeda kota, kami rutin berkomunikasi, baik bertelepon maupun sekadar berkirim pesan melalui WhatsApp. 

Setiap kami bertemu, baik ketika kami berlibur ke tempat ibu, atau ibu yang berkunjung ke kota kami, saya bersama ibu banyak menghabiskan waktu berdua, terlebih saya seorang ibu rumah tangga. 

Setelah sesi memasak bersama, kami akan mengobrol banyak hal. Perbincangan kami berdua mulai dari yang ngalor-ngidul, hingga yang serius. 

Ibu sering kali tidak segan menceritakan hal-hal pribadi kepada saya. Tentang masa kecilnya, kehidupan masa remaja, kisah percintaannya, sampai kenangan indah pernikahannya dengan bapak mertua.

Kami begitu akrab. Seolah tiada sekat mertua dan menantu di antara kami. 

Kisah-kisah kenangan yang belum sempat diceritakannya kepada suami saya, dikisahkannya kepada saya. 

Waktu yang kami habiskan berdua bahkan jauh lebih banyak dari pada waktu yang dihabiskannya bersama suami saya, anak kandungnya. 

Namun, ibu memaklumi, laki-laki pasti lebih irit bicara dari perempuan. 

Itulah sebabnya, saya merasa seperti anak kandung bagi ibu. Cara beliau memperlakukan saya tidak ada bedanya dengan cara beliau memperlakukan anak kandungnya sendiri, bahkan kadang lebih. 

Merawat kecantikan

Ibu seorang yang sangat cantik di masa mudanya. Sisa-sisa kecantikannya masih terlihat hingga kini. Sayang, kini bintik-bintik hitam (flek) muncul di beberapa bagian wajah ibu. 

Ibu begitu kesulitan menutupi flek-flek ini, terutama ketika berdandam hendak menghadiri sebuah acara. 

Ibu sudah mencoba berbagai produk skin care, tetapi belum berhasil menghilangkan bintik-bintik hitam tersebut. 

Melalui tulisan ini, semoga ibu beruntung. Semoga wajah ibu kembali bersih dan bebas flek. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun