Masa remaja saya dulu sama saja dengan remaja pada umumnya. Ada saja remaja putra yang suka dan curi-curi dekat.Â
Karena zaman itu belum ada gawai, saya juga terima surat cinta pertama. Waktu itu saya baru kelas 2 SMP. Pengirim surat cinta pun seorang adik kelas. Lucu kalau ingat kembali.Â
Zaman saya remaja, orangtua saya cukup strict perihal pacaran.Â
Sejak awal sudah diwanti-wanti tidak boleh pacaran hingga lulus SMA. Hingga akhirnya tidak ada satu pun dari kami empat bersaudara yang berani (terlihat) pacaran. Entah kalau pacaran diam-diam.Â
Saya sendiri patuh pada aturan tersebut. Sekalipun orangtua saya bukan tipe orangtua galak, tetapi saya tetap tidak berani melanggar.Â
Apakah kemudian saya tertekan dengan aturan itu? Sama sekali tidak!Â
Saya bahkan bersyukur atas aturan tersebut. Oleh karena aturan ketat dari orangtua, saya tidak punya pikiran macam-macam. Fokus hanya belajar.Â
Saya baru mulai mengenal pacaran di tahun-tahun akhir perkuliahan. Menjalin hubungan satu tahun dengan seorang kakak kelas, berujung kena ghosting, wkwkwk...Â
Saat ini saya memiliki satu anak laki-laki usia remaja. Kini duduk di kelas 8.
Bagaimana saya menghadapi gejolak remaja yang masih labil dan mencegahnya untuk tidak pacaran di usia remaja? Dalam situasi dimana sudah ada beberapa teman-temannya yang berpacaran.Â
Beberapa cara berikut mungkin bisa menjadi referensi para orangtua.Â
1. Menjelaskan dan memberi pengertian
Sebagai orangtua pastinya kita tidak mau anak-anak kita salah jalan. Kita juga tentu tidak mau menetapkan aturan pada anak-anak kita tanpa penjelasan.Â
Begitu pun dengan saya. Saya ingin anak saya mengerti perihal pacaran beserta konsekuensinya.Â
Dalam sebuah obrolan santai, saya jelaskan padanya arti berpacaran.Â
Bahwa berpacaran adalah sebuah hubungan kasih sayang yang dalam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.Â
Bahwa sejatinya pacaran adalah area orang dewasa, sebuah persiapan yang akan mengantarkannya ke jenjang pernikahan yang sakral.Â
Untuk berpacaran dibutuhkan kesiapan fisik, mental dan ekonomi. Serta melibatkan unsur konsekuensi dan tanggung jawab.Â
Oleh sebab itu, sebaiknya berpacaran dilakukan ketika masa siap untuk menikah itu sudah dekat.Â
Sementara, anak remaja, siswa SMP dan SMA, masih jauh waktunya untuk menikah.Â
Siswa SMP dan SMA merupakan waktu untuk mengembangkan potensi diri, memperbanyak teman, bersosialisasi, dan yang terutama belajar. Itu sebabnya remaja usia SMP dan SMA sebaiknya tidak pacaran dulu.Â
Lalu bagaimana bila si anak ternyata suka atau tertarik dengan tenan lawan jenisnya?Â
Mari kita sebagai orangtua jelaskan, bahwa menyukai seseorang itu wajar dan manusiawi.Â
Saat remaja hingga dewasa, pasti akan hilir mudik orang yang kita sukai. Namun, tidak mungkin semua yang kita sukai kita pacarin, kan? Contoh, bagaimana kalau kita suka dengan seorang artis Korea, apakah harus kita pacarin juga? Kan nggak toh. Jadi, sekadar suka tidak apa-apa.Â
Tak hanya itu, mari kita orangtua jelaskan pula kepada anak-anak kita bahwa pacaran tidak ada hubungannya dengan motivasi belajar. Karena motivasi belajar atau semangat belajar itu datang dari diri sendiri, bukan karena pacaran.Â
2. Membangun dan kontinu berkomunikasi
Saya dan anak laki-laki saya cukup dekat. Setiap pulang sekolah, sembari makan, saya ajak dia mengobrol. Tema obrolan biasanya datang dari saya. Perihal pelajaran, sekolah, dan teman-temannya menjadi topik utama.Â
Saat mengobrol saya menempatkan diri sebagai seorang temannya. Jadi tidak dengan gaya interogasi ataupun menuntut. Di tengah-tengah obrolan, biasanya akan saya selipkan satu dua nasihat.Â
Anak menginjak usia remaja umumnya akan lebih pendiam dari masa kanak-kanak. Terlebih sekarang sudah ada gadget, perhatian mereka lebih pada gadget.Â
Oleh karena itu, inisiatif mengobrol harus datang dari orangtua.Â
Bersyukur dengan cara seperti ini anak saya mau terbuka menceritakan apa saja.Â
Harapan saya dengan sering mengobrol, selalu ada keterbukaan dan tidak ada yang anak saya sembunyikan. Saya pun berharap bisa terus memantau perkembangannya, termasuk hal-hal yang berbau pacaran.Â
Kita ingat kembali, bahwa komunikasi merupakan kunci sebuah hubungan, termasuk hubungan dalam keluarga.Â
3. Memperkuat sisi kerohanian
Pada dasarnya, Sang Pencipta menaruh hukum-hukum Nya dalam hati nurani manusia. Sehingga pada dasarnya manusia tahu nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.Â
Namun, kepekaan akan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran itu harus dihidupkan dan ditumbuhkan. Caranya ya dengan beribadah.Â
Dalam ibadah akan ada pembacaan kitab suci. Dalam kitab suci diajarkan semua nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.Â
Untuk itu, ibadah dalam keluarga harus dimulai dari orangtua. Orangtua sebaiknya nengajarkan dan mengajak anak rajin beribadah.
Melalui rutin beribadah, tanpa disadari akan banyak nilai-nilai kebenaran yang bisa anak serap, yang kemudian akan tersimpan dalam hati dan pikirannya.
Anak pun akan semakin mengerti batasan-batasan yang harus dia patuhi sesuai kaidah kebenaran.Â
Nilai-nilai kebenaran itu juga yang nantinya diharapkan akan menjadi pagar dan tolak ukur bagi anak ketika ia akan melakukan sesuatu, termasuk pacaran.(MW).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H