Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ini Behaku, Ini Caraku, Nggak Usah Ribut!

15 Januari 2022   08:14 Diperbarui: 15 Januari 2022   08:19 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada satu siang yang sangat panas, dengan sinar matahari yang sedang gagah-gagahnya, dua kerabat si A dan di B datang berkunjung.

Semula, obrolan ke sana ke mari tanpa tujuan. Eh, nggak ngerti gimana, tiba-tiba obrolan beralih membicarakan penutup dada pada wanita, alias bra, alias beha.

Ahaa, saya ingat, ini sepertinya gara-gara matahari. Gimana nggak, langit bersih, terang benderang, cerah tanpa awan. Puaaanasee puuooolll.

Dalam kondisi panas banget begitu, pasti gerahnya luar biasa. Paling enak ya pakai baju berbahan minim dan tipis, seperti kaus tanpa lengan dan daster.

Kalau hanya di rumah saja, laki-laki bisa langsung melepaskan atasan, alias bertelanjang dada.

Nah, kalau perempuan mana bisa begitu. Namun, sebagian perempuan mengatasinya dengan melepas beha dan hanya mengenakan pakaian luar saja. Begitulah awal mulanya percakapan tentang penutup dada perempuan ini.

Ngalor ngidul perihal kutang ini berlanjut membicarakan Centil, seorang kerabat yang tinggal nun jauh di kampung halaman.

Kebetulan ternyata, si Centil punya kebiasaan yang dipandang risih bagi sebagian orang. 

Kata si A, si Centil ini nggak pernah pake bra kalau di rumah. Ketika ada tamu berkunjung sekalipun, entah lelaki atau perempuan, si Centil tetap cuek dengan kebiasaannya tersebut. Si Centil tetap tanpa bra, hanya mengenakan daster untuk menutupi tubuhnya.

Kebiasaan Centil inilah yang menurut si A dan si B sangat tidak pantas dilakukan. Membuat risih orang lain, kata mereka. Selain itu, lanjut mereka, perilaku keseharian Centil ini dapat memancing perhatian lawan jenis.

Saya sendiri sudah pernah beberapa kali berkunjung ke rumah Centil, tetapi nggak pernah memperhatikan dadanya. Beneran! Jadi saya nggak pernah tahu kebiasaannya ini.

Kendati benar begitu, kemungkinan besar saya juga tidak akan peduli. Si Centil atau siapapun itu mau pakai penutup dada ataupun tidak, saya tidak sepeduli itu!

Beha, beha dia, dada juga dadanya dia, tidak ada kepentingannya saya repot memperhatikan apalagi sampai mikirin, ya kan...?

Kecuali misalnya, beha saya hilang satu, dan dia tertuduhnya, barulah mata saya curi-curi pandang ke dadanya, hehe...

Masyarakat +62 memang aneh bin ajaib ya. Perkara dada orang aja diperhatikan, dipikirkan, lalu dibicarakan. Kiring kirjiin bingitss!

Sebenarnya itu kan haknya Centil, mau pakai atau tidak. Lagipula, itu di rumah dia sendiri, guys..., senyaman dia aja, keleeess...

Daripada berpikir negatif, mending coba lihat dari sisi lain. Mungkin saja si Centil punya alasan khusus kenapa sehari-harinya di rumah dia membiarkan dadanya tanpa penutup. 

Nggak bisa juga kali langsung dihakimi dengan sebutan tidak pantas, mengundang hasrat lawan jenis, begini dan begitu.

Urusan kepantasan itu kadang kala subyektif. Tergantung melihatnya dari perspektif apa dan siapa.

Lalu, kalau disebutkan bahwa kebiasaan Centil dapat menggugah hasrat lelaki yang melihat, tergantung laki-lakinya siapa dulu.

Kalau dari sononya, isi kepala si lelaki sudah penuh kotoran cabul, melihat perempuan berpakaian sopan sekalipun, tetap saja yang dilihat sisi erotisnya. Jadi nggak ngaruhlah perempuan mau berpakaian seperti apa.

Namun, bukan berarti saya mendukung wanita bisa berpakaian seenaknya ya. Nggak gitu juga.

Cuma, maksud saya, nggak usahlah melihat segala sesuatunya dari sisi negatif.

Mulailah belajar memandang segala sesuatu dari perspektif positif. Bukan hanya perkara beha. Perkara apapun, baik tentang apa maupun siapa.

Kalau apa-apa selalu melihat dengan kacamata negatif, saya khawatirnya pikiran positif semakin lama semakin tergerus dari kepala.

Ujung-ujungnya, isi kepala minus semua. Aura yang muncul pun akhirnya aura negatif pula.

Satu hal lagi. Nggak usahlah pusing dengan urusan dan kebiasaan hidup orang lain. Memangnya kita sudah andil saham berapa buat hidupnya?

Kecuali kebiasaanya itu mengganggu kepentingan orang banyak, bolehlah ditegur sapa sedikit.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun