Saya tidak pernah menyangka bahwa kecenderungan memberi hadiah atau bingkisan dalam bentuk barang atau uang dalam amplop kepada guru menjadi budaya yang begitu mewabah.
Bermula ketika anak saya TK. Ketika hendak pembagian rapor, beredar kabar di antara orangtua murid bahwa sebaiknya orangtua membawa bingkisan atau amplop berisi uang bagi wali kelas.
Konon sudah menjadi kebiasaan orangtua memberikan bingkisan berupa barang atau uang dalam amplop bagi guru atau wali kelas saat pembagian rapor, sebagai tanda ucapan terima kasih.
Semula saya pribadi merasa aneh dengan kebiasaan ini. Apa hubungannya terima rapor dengan bingkisan. Toh saya sudah melunasi kewajiban saya, membayar uang masuk, SPP dan beberapa pungutan lainnya.Â
Lagi pula, bukankah memberikan pelayanan pendidikan dan membagikan rapor siswa memang merupakan kewajiban dan tugas guru?
Akhirnya, karena merasa tidak enak, saya ikut-ikutan memberikan amplop. Jumlah uangnya saya sesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.
Pemberian hadiah tersebut pun kemudian saya ikhlaskan ketika setelahnya saya mengetahui gaji guru TK anak saya sangat kecil kala itu, di bawah satu juta rupiah per bulan.
Saat anak saya masuk SD di sebuah sekolah swasta di Jakarta Selatan, kegiatan memberi hadiah kepada guru semakin tidak terkendali. Ibarat penyakit, budaya ini sudah memasuki fase kronis, stadium akhir.
Ada saja momen-momen yang "memaksa" orangtua turut andil iuran sejumlah uang untuk dikumpulkan lalu diberikan kepada guru.Â
Momen-momen tersebut antara lain saat pembagian rapor yang artinya dua semester setiap tahun, dan saat guru berulang tahun.
Koordinatornya beberapa orangtua siswa yang sangat aktif menggerakkan budaya kasih-kasih bingkisan ini. Orangtua yang turut iuran akan didata dalam grup WA orangtua, nama siswa dan berapa jumlahnya.