Kembalinya sistem WFO full time membuat suami sangat bersemangat. Suami sangat berharap rutinitas WFO full time akan mengembalikan kinerja dan produktivitas timnya ke tingkat seperti masa sebelum pandemi.
Saya sendiri sangat kagum melihat semangatnya. Kalau saya ada di posisinya, belum tentu saya akan segembira itu menyambut kembalinya WFO.Â
Hal serupa bisa jadi dirasakan sebagian mereka yang selama ini sudah merasa nyaman bekerja dari rumah. Seiring dengan segala kenyamanan WFH, memulai kembali bekerja di kantor seperti mengubah kebiasaan dan harus mnghadapi situasi baru.
Buat mas suami sendiri, kembalinya rutinitas bekerja dari kantor berarti kembali harus siap memikul segala jenis konsekuensi pekerjaan. Bukannya selama WFH tidak ada konsekuensi pekerjaan, tetapi konsekuensi itu akan dirasakan sepenuhnya ketika WFO.
Kembali berkutat dengan target, kembali bersiap menghadapi pressure secara langung, termasuk siap bermacet-macet ria sepanjang perjalanan berangkat dan pulang kantor.Â
Akan tetapi, sepertinya semangatnya mampu mengalahkan segala beban konsekuensi yang harus diemban. Orientasi kepada hasil menjadi penyemangat utama.
Untuk saya sendiri sebagai pendamping, mau hybrid work, WFH atau WFO tidak jadi masalah. Selama suami nyaman dan menikmatinya, saya akan mendukung sepenuhnya.
Kalau dilihat dari sisi kenyamanan sebagai istri, memang lebih nyaman bila suami WFH. Saya bisa 24 jam bersama suami. Sembari WFH, suami juga bisa membantu saya dalam pekerjaan rumah tangga.
Saya pun tidak perlu repot-repot bangun lebih dini guna menyiapkan sarapan dan kebutuhannya untuk ke kantor.Â
Kembalinya suami WFO, berarti agenda saya sebagai ibu rumah tangga akan kembali dimulai lebih awal setiap harinya. Saat hari masih gelap saya sudah harus bangun dan mulai berjibaku di dapur.Â
Namun, di atas semua kerepotan itu, kenyamanan suami tetap yang utama bagi saya. Sebagaimana suami bersemangat, saya pun ikut bersemangat. Tidak jadi soal saya akan kembali repot dengan tambahan beban pekerjaan rumah tangga.