Beberapa hari ini, tidur malam kami sedikit berbeda. Suasana kompleks tempat tinggal kami yang biasanya tenang dan sepi terutama setelah jam sembilan malam, menjadi sedikit riuh.
Gaduh keributan berasal dari sebuah rumah. Terjadi pertengkaran suami istri. Tetangga yang menempati rumah ini merupakan keluarga kecil, memiliki satu anak usia 6 tahun.
Ribut-ribut pasangan suami istri tersebut sebenarnya sudah beberapa kali kami dengar sejak sekitar dua bulan lalu. Namun akhir-akhir ini intensitas pertengkaran semakin meningkat. Bahkan tidak mengenal waktu. Kadang pagi hari, kadang sore hari, pukul sepuluh malam, bahkan pernah lewat tengah malam.
Saya sendiri sebenarnya tidak tertarik mencari tahu atau mendengarkan pertengkaran mereka. Akan tetapi, aksi pasangan ini sendiri yang menarik perhatian kami. Bagaimana tidak? Pasangan ini saling berteriak, saling membentak, bahkan suara istri terdengar beberapa kali menjerit.Â
Keributan tersebut terdengar lebih jelas menjelang tengah malam ketika keheningan malam sudah mendominasi. Tetangga sekitar tentulah juga mendengar keributan tersebut. Saya sampai sempat khawatir terjadi KDRT di sana.
Baca : Bertengkar Secukupnya, Berbahagia Sebanyak-banyaknya
Meskipun saya dan suami berusaha untuk tidak peduli, namun sahut-menyahut dalam keributan tersebut beberapa kali terdengar jelas. Menilik dari apa yang saya dengar, pertengkaran mereka menyinggung soal uang dan kepemilikan harta benda. Saya menduga, masalah finansial menjadi sumber percekcokan.
Cekcok atau perselisihan dalam hubungan suami-istri sebenarnya merupakan hal yang normal. Setiap pasangan pasti pernah mengalaminya. Masih bisa diterima akal sehat bila dilakukan dalam batas-batas kewajaran, dan tidak menjadi konsumsi publik.
Situasi pandemi yang sudah berjalan hampir dua tahun ini memang meluluhlantakkan banyak sektor ekonomi dan usaha. Tidak sedikit karyawan yang juga berstatus sebagai kepala rumah tangga dirumahkan. Para pengusaha pun banyak yang sulit bertahan.Â
Kalaupun tidak dirumahkan, banyak karyawan yang harus rela gajinya dipotong dalam jumlah yang signifikan oleh karena perusahaan tempat mereka bekerja pun sedang menghadapi kesulitan keuangan.
Situasi tersebut tentu sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup sebuah rumah tangga. Banyak perahu rumah tangga goyah, terombang-ambing oleh badai pandemi yang belum usai.
Bagaimanapun, uang merupakan bagian penting dalam sebuah rumah tangga. Uang berpengaruh pada mengepul tidaknya asap dapur. Uang menentukan daya beli sebuah keluarga. Uang menentukan berputar tidaknya roda perekonomian keluarga. Ketiadaan uang dapat memicu pertengkaran suami istri, bahkan takjarang menyebabkan perceraian.
Untuk menghadapi situasi keuangan yang tidak menentu, sulit atau terpuruk, memang diperlukan effort yang tidak biasa dari suami maupun istri. Tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara lama sebelum pandemi. Harus ada usaha dan cara-cara berbeda untuk menghadapinya.Â
Berdasarkan pengalaman pribadi, alih-alih ribut dan bertengkar, saya menyarankan beberapa hal berikut yang bisa suami istri lakukan ketika kondisi ekonomi keluarga sedang sulit.
1. Meningkatkan intensitas komunikasi dan diskusi
Dalam situasi finansial sulit, suami istri tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Intensitas komunikasi sebaiknya ditingkatkan. Tentu dengan kepala dingin dan pikiran positif, bukan dengan emosi yang berujung pertengkaran.
Banyak hal, banyak masalah yang bisa diselesaikan dan dicari jalan keluarnya melalui komunikasi dan diskusi.Â
Misalnya membicarakan kemungkinan membuat usaha atau berwiraswasta demi menciptakan sumber penghasilan baru. Atau mendiskusikan kemungkinan mencari lowongan kerja di perusahaan lain. Atau membicarakan metode pengaturan keuangan yang tepat selama pandemi, atau membicarakan hal apapun.
Meningkatkan intensitas komunikasi dan diskusi juga tanpa disadari akan meningkatkan kedekatan emosional antara suami dan istri. Rasa saling menghargai, menyayangi, dan memiliki akan semakin meningkat.Â
Sesulit apapun situasi yang dihadapi, tetapi bila ada keterikatan yang kuat, pasangan suami istri akan mampu melewati badai sehebat apapun.
2. Menunjuk satu pihak untuk mengatur keuangan
Selama ini banyak pendapat mengatakan bahwa istri adalah sosok menteri keuangan yang tepat dalam rumah tangga. Istri dianggap paling piawai dalam mengatur keluar masuknya fulus.Â
Namun harus kita sadari juga, bahwa tidak semua perempuan atau istri masuk kategori tersebut. Banyak juga istri-istri yang boros dan tidak becus dalam hal mengatur uang.Â
Oleh karena itu, dalam menghadapi situasi keuangan yang payah, sebaiknya pasangan menunjuk dan mempercayakan salah satu dari antara mereka sebagai "direktur keuangan" keluarga. Bisa suami, bisa pula istri.
3. Mencatat secara rinci setiap keluar masuk uang
Dalam situasi sulit, uang dengan nilai kecil sekalipun sangatlah berharga. Pintar-pintar mengatur keluar masuk uang menjadi salah satu kunci utama bertahan di tengah situasi ekonomi yang sulit.Â
Belanjakan uang terutama hanya untuk kebutuhan primer, khususnya bahan pangan. Kebiasaan boros yang mungkin sering dilakukan pada masa sebelum pandemi sebaiknya segera ditinggalkan.
Setiap uang masuk maupun keluar sebaiknya dicatat secara rinci, setiap hari. Buat laporan keuangan sederhana untuk rumah tangga. Dengan demikian, kita tetap bisa memantau jumlah uang masuk, uang keluar, serta sisa saldo atau sisa dana rumah tangga yang kita miliki.
Sebagai penguasa dapur, para istri juga sebaiknya rajin mencari tahu seputar bahan makanan bergizi seimbang dengan harga terjangkau. Dengan demikian, sekalipun keadaan ekonomi keluarga sedang sulit dan terpuruk, asupan gizi bagi anggota keluarga tetap terpenuhi.Â
Gizi seimbang tentunya berpengaruh besar meingkatkan dan mempertahankan imunitas tubuh guna terhindar dari serangan virus covid-19 di tengah pandemi.
4. Bicarakan bersama sebelum menjual harta milik atau saat mencari pinjaman uang
Kesulitan keuangan dalam rumah tangga memang bisa saja mendorong pasangan untuk menjual harta benda berharga. Misalnya menjual tanah, perhiasan emas, alat-alat elektronik, kendaraan bermotor atau benda-benda berharga lainnya.Â
Hal tersebut tidak ada salahnya dilakukan selama mampu membuat roda ekonomi keluarga tetap berputar. Toh pembelian beberapa benda atau aset berharga, seringkali tujuannya untuk investasi atau tabungan yang bisa dimanfaatkan atau dijual saat kita butuh dana lebih atau dana darurat.
Hanya saja, rencana untuk menjual barang berharga apapun sebaiknya dibicarakan atau didiskusikan terlebih dahulu dengan pasangan. Terutama untuk benda atau harta berharga yang telah diberikan kepada pasangan. Misalnya, perhiasan emas yang telah diberikan sebagai hadiah kepada istri. Cincin kawin, contohnya.
Jangan sampai salah satu dari pasangan merencanakan sendiri dan mengambil keputusan sepihak. Hal tersebut akan menimbulkan sakit hati, tertekan dan merasa tidak dihargai dari pihak yang diabaikan.
Jangan sampai muncul ucapan marah dari salah satu pihak seperti yang pernah saya dengar: "Jual saja semua, jual semuaaaa...!!!!".Â
Begitu pula ketika ada niat untuk mencari atau mengajukan pinjaman uang, bicarakan dulu dengan pasangan. Sesuaikan jumlah pinjaman dengan kemampuan membayar.Â
Namun saya sangat tidak menyarankan meminjam dana dari pinjaman online ilegal. Bisa berakhir penderitaan karena bunga pinjaman yang mencekik leher. Lebih baik mencari pinjaman dana dari bank atau dari perusahaan pembiayaan yang jelas memiliki izin, terdaftar serta diawasi oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK).
5. Bergandengan tangan
Tak ada jalan lain bagi pasangan suami istri selain berpegangan tangan dalam menghadapi situasi sulit. Anggap saja suami dan istri sedang berjalan menyusuri terowongan gelap.Â
Untuk dapat sampai bersama-sama di ujung terowongan dengan sambutan sinar matahari cerah menghangatkan, tentu suami istri tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Saling berpegangan tangan adalah pilihan utama.
Bergandengan tangan berarti akan saling menguatkan satu sama lain, saling membantu bila ada yang tersandung atau terjatuh, saling menghibur dan memberi kasih sayang bila salah satu pihak sedang sedih dan tertekan.
Menjalani kehidupan berumah tangga harus diakui tak selamanya mulus bak jalan tol. Ada kalanya jalan yang kita lewati berlubang, berbatu, bahkan licin, berlumpur, dan terlihat sulit untuk dilewati. Akan tetapi, pertengkaran dan saling adu mulut bukanlah solusi.
Pertengkaran hanya akan memperburuk keadaan. Kedamaian pun akan menguap tanpa sisa. Karena pertengkaran jua, rumah tidak lagi menjadi tempat perhentian yang dirindukan.
Pertengkaran juga bukan hanya menyakiti suami dan istri, tapi juga menyakiti hati anak-anak buah cinta keluarga. Anak-anak mungkin hanya bisa diam di tengah keributan orangtuanya, tak mampu melakukan apapun. Namun akibat yang ditimbulkan bisa sangat tidak baik. Anak-anak dipenuhi ketakutan, timbul luka mendalam, bahkan trauma berkepanjangan.Â
Tidak hanya itu, pertengkaran yang tidak terkendali, dipenuhi jeritan, makian, bentakan, bahkan KDRT hingga menjadi konsumsi umum pada akhirnya hanya akan mempermalukan diri sendiri dan keluarga. Untuk itu, setop pertengkaran.
Tidak ada masalah keuangan yang terlalu sulit diatasi bila suami istri berjalan beriringan, saling bergandengan tangan, dan berjuang bersama.
Bila disikapi positif, situasi pandemi ini bisa kita sebut sebagai sebuah proses kehidupan, termasuk proses yang harus dilalui banyak pasangan.
Proses kehidupan akan menjadi pembelajaran yang sangat berharga untuk menyikapi masa depan. Terlebih bagi para keluarga maupun pasangan suami istri. Pandemi bisa menjadi ujian seberapa kuat ikatan bersama pasangan untuk mampu melewatinya.Â
Salam.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H