Menemukan pasangan hidup bukanlah perkara mudah.
Merasa benar-benar klik lalu bersedia melangkah ke pelaminan bukan semudah membalikkan telapak tangan.
Tahapan proses yang dilalui setiap orang untuk menemukan pasangannya umumnya berbeda-beda. Cara Tuhan mempertemukan setiap pasangan pun beragam.
Ada yang bertemu kala satu sekolah. Ada yang bertemu karena satu tempat kos. Ada yang bertemu di tempat ibadah. Bahkan banyak yang bertemu di tempat kerja seperti saya dan suami.
Namun satu hal tidak bisa ditampik, banyak pasangan yang dipertemukan oleh perjodohan. Ya, Tuhan bisa menggunakan cara apa saja untuk menyatukan dua anak manusia.
Saya sendiri tidak pernah menentang perjodohan. Dengan catatan, selama perjodohan yang dimaksud adalah perjodohan tanpa paksaan. Artinya, perjodohan tersebut bersifat hanya memperkenalkan dua orang, pria dan wanita yang masih single.
Untuk selanjutnya, hendak dibawa ke mana hubungan tersebut, kedua orang tersebut yang menentukannya sendiri, tanpa paksaan pihak manapun.
Yang tidak saya setujui ketika pihak ketiga memaksa kedua orang tersebut menyatu dalam ikatan pernikahan, tanpa mempedulikan pendapat dan keinginan mereka.
Tidak peduli orang ketiga tersebut adalah orang terdekat seperti orangtua ataupun saudara kandung.
Sekalipun perjodohan tersebut dilakukan dengan dalih demi kebaikan anak, atau demi masa depan anak.Â
Perlu dipahami, bahwa perspektif atau sudut pandang setiap orang tentang apa yang baik bagi dirinya, berbeda-beda untuk setiap pribadi. Apa yang dipandang baik bagi satu orang belum tentu baik bagi orang lain. Begitu pula apa yang baik bagi orangtua, belum tentu baik bagi anak.