Dear Ibu mertua,
Apa kabarmu hari ini? Kuharap kau selalu sehat ya, Ibu.
Waktu cepat sekali berlalu, Ibu. Tidak terasa Lebaran tinggal menghitung hari.
Biasanya di hari-hari menjelang lebaran seperti sekarang ini, kami sedang disibukkan berburu tiket murah untuk dapat mudik dan berlebaran bersama ibu. Ibu pun mulai berbenah rumah guna menyambut kedatangan kami dari perantauan.
Namun situasinya kini cukup berbeda, ibu. Tidak ada kesibukan apapun. Tidak ada euforia kegembiraan akan segera mudik ke kampung halaman. Karena kami memang tidak akan kemana-mana selama lebaran ini. Dan pastinya kami belum bisa bertemu ibu.
Kami sangat mengerti bila Ibu sangat merindukan anak, menantu, dan cucu Ibu yang ada di perantauan. Apalagi sudah dua tahun kita tidak bertemu.Â
Ini terbukti karena sudah beberapa hari ini ibu hampir setiap hari menelepon kami, baik melalui telepon biasa maupun melalui video call.
Kadang ibu menelepon hanya sekadar menanyakan cucumu sedang apa. Atau menanyakan menantumu masak apa. Terkadang juga ibu menelpon hanya sekadar ingin mengobrol. Kami tahu, semuanya itu sebagai wujud kerinduan ibu kepada kami.
Tetapi satu hal membuat aku cukup sedih, Ibu. Kemarin ibu menelpon, menceritakan bahwa sudah satu tahun ini ibu mengikuti arisan daging.
Dengan membayar 20 ribu per bulan, ibu akan mendapatkan 2 kilo daging mentah satu tahun kemudian. Semula ibu berencana menggunakan daging itu untuk persiapan syukuran sunatan cucu ibu, yaitu anak kami yang memang direncakan dilaksanakan di rumah ibu bersamaan dengan liburan hari raya.
Akan tetapi, apa daya, rencana itu sepertinya tidak bisa terlaksana dalam waktu dekat. Dan akhirnya ibu akan memasak daging tersebut untuk perayaan lebaran besok. Kami sedih membayangkan ibu kecewa.Â