Sebagian umat Kristen tentunya sangat akrab dengan istilah Kristen kapal selam. Istilah ini merujuk pada mereka yang mengaku Kristen tetapi jarang pergi beribadah ke gereja.
Kemunculan mereka dalam ibadah di gereja sering kali hanya pada waktu-waktu tertentu saja, seperti saat perayaan Natal atau Paskah saja. Bahkan ada yang datang ke gereja hanya ketika anak-anak nereka dibaptis atau anak/saudaranya menikah dan diberkati di gereja.
Inilah yang menjadi cikal bakal sebutan Kristen kapal selam. Karena kemunvculannya ke gereja serupa seperti kemunculan kapal selam ke permukaan laut yang hanya di waktu-waktu tertentu.
Muncul hanya satu atau dua kali saja di gereja dalam setahun. Sisanya tenggelam dalam kesibukan dan kenikmatan laut kehidupan. Sering juga disebut sebagai Kristen Pohon Natal, yang kemunculannya seperti pohon Natal yang hanya satu tahun sekali.
Apakah ada umat yang seperti ini? Buanyaaakk....
Ingatan akan istilah Kristen kapal selam ini kembali muncul setelah suami mengajak saya untuk mengikuti ibadah Paskah secra offline di gereja pada hari Minggu besok.
Tidak terasa sudah satu tahun pandemi Covid-19. Dan selama ini kami hanya bisa beribadah hari Minggu di rumah, mengikuti ibadah live streaming yang gereja kami adakan.
Meskipun saat ini gereja kami telah membuka pintu gereja untuk ibadah offline, tetapi kapasitas jemaat yang bisa mengikuti masih dibatasi.
Mengingat anak kami belum diijinkan mengikuti ibadah di gereja, saya dan suami pun sepakat untuk ke gereja di saat-saat tertentu saja. Lebih baik kami beribadah dari rumah saja yang tentunya tetap bisa diikuti juga oleh anak kami.
Oleh karena demikianlah, kami saat ini sudah seperti jemaat Kristen kapal selam. Kami hanya beribadah di gereja saat ibadah Natal dan Paskah saja.
Lalu pertanyaanya, apakah kami memang jemaat kapal selam? Tentu saja tidak. Karena meskipun tidak ke gereja, kami tetap mengikuti ibadah live streaming dari rumah.Â
Dalam situasi pandemi dimana pemerintah membatasi pertemuan ibadah di gereja, umat yang memang terbiasa dengan kebiasaan kapal selam ini sejak sebelum pandemi, bisa saja akan semakin tenggelam dalam laut kesibukan dunia.
Karena kalau beribadah bersama saja enggan, apalagi beribadah sendiri dari rumah, mungkin akan ogah-ogahan.
Semakin mudah baginya untuk mencari alasan untuk tidak beribadah, karena toh kegiatan ibadah dibatasi bahkan sempat berbulan-bulan gereja benar-benar ditutup.
Memang tidak ada aturan atau larangan perihal hal ini. Tidak juga akan dihukum oleh pihak gereja bila berperilaku demikian. Semua itu adalah bagian dari hak setiap umat. Hanya saja, menurut saya sebaiknya tanggalkan kebiasaan seperti kapal selam ini.
Saya memang bukan pendeta. Saya juga bukan seorang Sarjana Teologi. Saya tidak memiliki kompetensi untuk menjelaskan dengan detail apa manfaat dan apa yang akan diperoleh dengan rajin mengikuti ibadah baik di gereja maupun secara live streaming. Namun, perjalanan hidup mengajarkan saya, bahwa ibadah adalah salah satu cara saya membangun hubungan dengan Tuhan.Â
Sebagai makhluk ciptaan-Nya, sebagai hamba-Nya, sudah menjadi kewajiban saya untuk mengenal Tuhan lebih dekat. Dengan pengenalan yang dekat akan Tuhan, saya akan paham apa yang menjadi hak dan kewajiban saya sebagai hamba Tuhan. Dengan pengenalan yang dekat dengan Tuhan, saya akan tahu mana batas yang boleh dan tidak boleh saya lakukan.
Mengapa bisa demikian? Di dalam ibadah, umat bersama-sama akan memuji dan menyembah Tuhan. Di dalam ibadah juga, umat akan diajak untuk mendengarkan khotbah yang berisi pembacaan dan perenungan akan Firman Allah. Firman Allah mengajarkan dan menyatakan banyak hal yang mampu memimpin pada cara hidup yang benar dan menghindari dosa.
Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (Rasul Paulus)
Hubungan yang dekat dengan Tuhan juga akan menjamin kekuatan ketika harus melewati masa-masa sukar dalam kehidupan.
Lautan dunia tidak pernah menawarkan hidup yang datar dan tenang-tenang saja. Akan ada saja gelombang dan atau badai yang setiap saat mengancam menghampiri. Untuk itu, saya butuh pegangan hidup. Saya butuh kekuatan yang tak terbatas. Agar ketika saya menghadapi gelombang ataupun badai kehidupan, saya tidak akan tenggelam. Bahkan saya akan tegak berdiri karena kekuatan yang tak terbatas dari Tuhan.
Beribadah kepada Tuhan juga sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih saya atas karunia kehidupan yang telah diberikan Sang Pencipta. Bahwa saya masih ada dan masih bernapas hingga hari ini, semua karena kebaikan Tuhan. Untuk itu, saya mau menjadi manusia yang tahu berterima kasih.
Pada momen Paskah yang indah ini, sangatlah baik bagi umat untuk merefleksikan diri. Sudahkah kita memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan? Sudahkah kita mengenal Tuhan secara pribadi? Sudahkah kita menjadi manusia yang tahu berterima kasih?
Tuhan sudah mengorbankan diri-Nya bagi penebusan dosa-dosa kita. Masihkah kita menyia-nyiakan karya penebusan-Nya?
Selamat merayakan Paskah bagi seluruh umat Kristiani.
Tuhan Yesus memberkati.
***
Salam
Martha Weda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H