Tetapi saya angkat topi pada suami. Hampir tidak pernah keluar keluhan dari mulutnya. Baik tentang jam kerja yang panjang, tentang pekerjaan kantor, tentang rekan-rekan kerja, atau tentang atasannya. Hampir tidak pernah. Semangat kerjanya tak pernah terlihat padam. Padahal saya tahu sekali pekerjaannya cukup di bawah tekanan, dan bisa memicu tingkat stres yang tinggi.
***
Datangnya pandemi membawa sedikit angin segar pada aturan jam dan hari kerja di kantor suami.
Saya cukup bersyukur dengan hal ini. Sekalipun pandemi meluluhlantakkan banyak sendi kehidupan, namun paling tidak, membawa sisi positif bagi kehidupan keluarga kami, dan mungkin juga bagi banyak keluarga.
Sejak pandemi, hari kerja suami sekarang menjadi hanya lima hari dalam seminggu. Hari Sabtu menjadi hari libur.
Selain itu, pola 2-1 yang diterapkan perusahaan (2 hari WFO, 1 hari WFH) membuat suami punya waktu lebih di rumah, dibandingkan dengan masa sebelum pandemi.Â
Adanya pandemi seolah mengingatkan saya, bahwa segala sesuatu indah pada waktunya.
Mungkin beberapa tahun ke belakang, kami sulit mendapatkan waktu lebih untuk berinteraksi dengan suami. Namun, semua terbayarkan pada pandemi ini. Bahkan karena harus di rumah saja, suami pun memiliki waktu lebih kala WFH, kerinduan untuk lebih sering bersama pun terpenuhi. Mengganti hari-hari lalu yang telah dihabiskannya untuk bekerja dan bekerja.
Adanya pandemi juga memberikan pelajaran berharga untuk selalu bersyukur dalam situasi apapun. Bagaimanapun beratnya pekerjaan, tenaga yang terkuras hanya untuk bekerja, dan sempitnya waktu berkumpul bersama keluarga, sebaiknya tetap bersyukur. Bersyukur atas apa yang dimiliki saat ini, meskipun belum terlihat ideal.
Sebagai pekerja, yang mengabdikan diri kepada pihak lain, yaitu perusahaan tempat bekerja, seringkali pekerja hanya memiliki dua pilihan: take it or leave it (ambil atau tinggalkan).
Bila memilih take it, berarti harus siap dan bertanggung jawab pada aturan main perusahaan, dengan segala konsekuensinya.