Kisah Natal tentang kelahiran Yesus Kristus tidak pernah bisa kita lepaskan dari sosok Maria. Seorang wanita muda yang dipakai Tuhan untuk menggenapi nubuatan tentang kedatangan Mesias, Sang Juru Selamat. Seorang wanita yang ditetapkan untuk menjadi ibu Yesus.Â
Menilik kehidupan Maria, sepertinya sosok wanita ini sangat layak dijadikan sebagai sosok wanita teladan dan inspiratif.Â
Dalam sebuah ibadah daring, beberapa waktu yang lalu, saya mendengar kembali ulasan tentang beliau dari sudut pandang yang berbeda. Dan saya sangat terberkati melalu kisah teladan beliau.
Memiliki hati yang taat
Maria merupakan gadis yang masih sangat muda. Diperkirakan berusia belasan tahun ketika didatangi Malaikat Gabriel, dan kemudian mengandung oleh Roh Kudus. Di usianya yang masih sangat muda itu, Maria tidak sedikitpun menunjukkan keberatan dan pemberontakan ketika Tuhan menetapkannya untuk menjadi ibu bagi Yesus.
Maria tentu mengetahui tantangan berat yang akan dihadapi ketika hamil di luar nikah. Hukum Yahudi pada masa itu bahkan memungkinkan seorang wanita untuk dirajam hingga mati bila ketahuan berzina atau hamil sebelum menikah.
Selain itu, bila mengetahui kehamilannya, Yusuf tunangannya kemungkinan akan menceraikan Maria. Belum lagi tantangan yang mungkin saja datang dari keluarga dan gunjingan orang sekitar yang segera mengetahui kehamilan Maria. Semua hal buruk bisa saja terjadi
Namun Maria tetap taat pada perintah Tuhan yang disampaikan melalui Malaikat Gabriel. Â Bahkan Maria ada dalam penyerahan yang penuh pada Tuhannya. Ini tercermin dari perkataannya : "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; Jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38)
Ini mengingatkan bagaimana seharusnya saya sebagai pengikut Tuhan bersikap. Sejatinya, semua perintah dan hukum Tuhan bukan untuk dipertanyakan atau diperdebatkan. Namun, untuk diterima dengan kerendahan hati dan dilakukan serta diterapkan dengan sikap taat dan patuh.Â
Ketaatan Maria bukan hanya kepada Tuhan, namun juga kepada Yusuf, suaminya.
Ketika Yusuf mengajaknya berangkat ke Betlehem untuk mengikuti sensus yang ditetapkan oleh Kaisar Agustus pada masa itu, Maria tidak menolak. Padahal kondisinya saat itu sedang hamil tua dan sedang menanti persalinan.
Bisa dibayangkan, betapa payah kondisinya. Perjalanan yang ditempuh pun bukan perjalanan yang mudah. Jarak yang harus ditempuh dari kota kediamam mereka di Nazareth ke Betlehem sekitar 150 km. Kendaraan yang mereka tunggangi kemungkinan adalah keledai atau mungkin juga berjalan kaki.
Sungguh perjalanan yang berat dan melelahkan. Terutama untuk ibu hamil. Akan tetapi, Maria tetap taat dan patuh mengikuti suaminya.
Begitu pula ketika Yusuf mengajaknya untuk mengungsi ke Mesir, setelah Yusuf diingatkan malaikat Tuhan melalui mimpi, untuk menghindari Raja Herodes yang hendak membunuh Yesus, Maria pun tetap patuh. Padahal jarak Betlehem-Mesir sangat jauh, lebih kurang 690 km. Suatu perjalanan panjang dan melelahkan, terlebih pada masa itu. Tetapi Maria tetap mengikuti Yusuf, kemanapun suaminya mengajaknya pegi.
Hal ini pula yang mengingatkan bahwa suami adalah kepala dan imam dalam keluarga. Seorang istri sebaiknya tunduk kepada suaminya. Ini sesuai dengan perintah Tuhan, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat" (Efesus 5 : 22-23).
Tidak menjadi sombong
Sekalipun dipilih Tuhan untuk menjadi Ibu Sang Mesias, Maria tidak menjadi sombong. Bahkan ketika Elisabet, Ibu Yohanes menyebutnya sebagai Ibu Tuhan (Lukas 1 : 43), Maria tidak lantas tinggi hati. Maria tetap pada pribadinya yang rendah hati.
Hal ini bisa menjadi pembelajaran penting bahwa kita hanyalah hamba Tuhan. Bila suatu ketika hidup kita berubah dan dimuliakan Tuhan, tetaplah rendah hati. Sebaiknya kita tetap menyadari, bahwa semua yang baik pada kita boleh terjadi bukan karena kehebatan kita, tetapi terjadi oleh karena kemurahan Tuhan.Â
Tidak pernah mengeluh
Sejak mengandung, melahirkan Bayi Yesus, hingga Yesus dewasa dan mengakhiri misi penyelamatan-Nya di dunia, tidak sedikit tantangan yang Maria hadapi.
Mulai dari hamil sebelum menikah, mengadakan perjalanan jauh kala hamil tua, melahirkan anak yang dikasihinya di kandang domba, mengungsi ke Mesir guna menghindari kejaran Raja Herodes, dan berakhir kepada melihat anaknya disiksa secara kejam dan mengerikan hingga mati disalibkan.Â
Semua yang Maria hadapi bukan perkara mudah. Namun Alkitab tidak mencatat bahwa Maria mengeluh atau bersungut-sungut. Semua yang ia hadapi, diterima dan dijalaninya dengan penuh syukur dan kerendahan hati. Sepertinya Maria sangat menyadari bahwa apa yang dia alami merupakan bagian dari rencana Tuhan yang harus digenapi. Dan semua rencana Tuhan yang harus dilewatinya itu mendatangkan kebaikan.
Sungguh pelajaran berharga bagi wanita di masa kini. Tantangan yang dihadapi tidak seberapa dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi Maria.
Untuk itu, tidak ada salahnya untuk senantiasa mengucap syukur atas kehidupan yang telah diberikan Sang Pencipta, apapun gejolak dan kesulitan yang dihadapi. Terima dan jalani dengan penuh sukacita. Percaya bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.
Sekalipun kehidupan Maria telah berlalu lebih kurang dua ribu tahun yang lalu, tetapi kisah keteladanannya tetap langgeng dan tak pudar dimakan waktu. Bahkan sangat layak menjadi inspirasi pada segala masa.
Salam
Martha Weda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H