Saya mengenal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, si sulung perempuan, dan anak kedua dan ketiga yang semuanya adalah laki-laki.
Sang ayah yang adalah kepala keluarga saat ini tidak memiliki pekerjaan tetap. Terakhir yang saya tahu sang ayah bekerja sebagai pengemudi ojek online.
Sedangkan sang ibu yang memiliki keahlian memasak makanan khas daerah asalnya, selain sebagai ibu rumah tangga, mencoba peruntungan dengan menerima pesanan dari kenalan dan kerabat.
Kondisi keluarga dengan tiga anak yang masih kecil-kecli, apalagi si bungsu masih bayi, tentu masih membutuhkan biaya hidup yang cukup besar.
Biaya sekolah, susu, kebutuhan dapur, belum lagi bayar kontrakan rumah, tagihan listrik, dan biaya lainnya membuat keluarga ini cukup kewalahan. Didukung dengan perilaku kepala keluarga yang kurang giat bekerja.
Sekalipun telah memantabkan diri sebagai pengemudi ojek online, tetapi pekerjaan tersebut tidak dilakoninya dengan sepenuh hati. Kesehariannya lebih banyak dihabiskan di rumah dengan menonton televisi dibandingkan di jalanan menjemput rejeki.
Apabila ditegur sang istri, ada saja alasannya. Panas, sepi orderan, masih terlalu pagi, hujan, serta segudang alasan lain yang terkesan dicari-cari.
Hal tersebut sering menjadi penyulut keributan di antara suami istri ini. Namun sang ayah tidak berubah kelakuannya, dan sang istri pun sering kehabisan kata-kata.
Bahkan untuk sekedar momong anak saat istrinya sibuk mengurus pesanan makanan pun enggan suaminya lakukan. Mau tidak mau, istrilah yang mengerjakan seluruh tugas dan tanggung jawab rumah tangga termasuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Pertengkaran menjadi makanan sehari--hari di keluarga ini. Curhatan sang istri juga acapkali mengalir di media sosial.
Mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, momong anak, sambil mencari uang, tentu bukan perkara mudah. Kebutuhan sehari-hari yang tidak pernah habis, berbagai tagihan juga menanti, membuat sang istri pontang-panting sendiri.
Sampai pada satu titik, sang istri yang kebingungan menutupi semua biaya rumah tangga, meminta anak keduanya, laki-laki berusia 6 tahun untuk pergi mengumpulkan wadah-wadah plastik bekas dari sekitar rumah mereka.
Posisi rumah kontrakan mereka yang berada di tengah perkampungan padat penduduk memungkinkan untuk mendapatkan banyak wadah plastik bekas.
Dengan bermodalkan kantung plastik besar pemberian ibunya, anak laki-laki ini berkeliling kampung. Semula hanya di sekitar rumah, lama kelamaaan wilayah pencariannya berkembang jauh.
Sang ibu cukup senang karena wadah-wadah plastik itu menjadi uang saat ditukarkan ke pengepul barang rongsokan. Demikian pula sang ayah, semakin betah dirinya berdiam di dalam rumah.
Setelah sekian lama kegiatan ini berlangsung, suatu hari si anak lelaki ini jatuh sakit. Semula orangtuanya mengira hanya demam biasa. Akan tetapi setelah beberapa hari keadaanya tidak kunjung membaik.
Si anak juga mengeluh sakit pada anusnya, terutama saat buang air besar. Dalam tidurnya pun, si anak sering mengigau, "Jangan, jangan,..."
Ketika kedua orangtuanya membawa anak ini ke dokter, hasil pemerikaan menunjukkan, telah terjadi luka dan infeksi pada anus oleh karena penetrasi benda tumpul. Diduga telah terjadi pelecehan seksual pada anak.
Kedua orangtua yang kaget, berusaha membuat anak bicara. Namun karena mereka sangat memaksa, si anak malah takut dan tutup mulut.
Kemudian ketika dibujuk secara halus, sang anak yang semula bungkam akhirnya mau bercerita. Salah seorang tetangga mereka yang cukup dikenal dan dihormati di lingkungan tersebut telah berkali-kali melakukan penile penetration pada anusnya, alias disodomi.
Si anak diiming-imingi uang jajan 2 ribu rupiah untuk setiap kali pelaku beraksi. Pelaku juga mengancam si anak untuk tidak menceritakan kepada siapapun.
Kedua orangtua si anak sangat menyesal. Apa daya, nasi telah menjadi bubur, masa yang telah lewat tak mungkin diulang kembali.
Walaupun pada akhirnya si pelaku menerima konsekuensi hukum, masa kelam anak tidak mungkin terhapus begitu saja. Penyesalan orangtua juga tidak akan mengembalikan keadaan anak ke kondisi semula. Perlu upaya untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis anak.
Melihat dari kejadian di atas, si anak tentu tidak akan mengalami pelecehan seksual bila ayah bertanggungjawab sepenuhnya pada tugas dan kwajibannya sebagai kepala rumah tangga.
Si ibu juga tidak bisa dianggap benar. Membiarkan anak pergi tanpa pengawasan, dan disuruh bekerja pula, dalam situasi terjepit sekalipun, bukanlah keputusan yang bijak.
Akan tetapi di sini saya mencoba untuk melihat dari sisi tugas dan tanggung jawab ayah sebagai kepala keluarga.
Seorang laki-laki, bila menyatakan siap berumahtangga, seharusnya juga siap memenuhi tugas-tugas dan tanggungjawab sebagai kepala rumah tangga.
Menilik kisah di atas, ada beberapa tugas dan tanggung jawab yang sang ayah abaikan sebagai kepala keluarga, sehingga hal buruk terjadi pada anaknya.
Pemimpin
Sosok ayah selalu identik dengan kepemimpinan. Ayah adalah nakhoda dalam sebuah biduk rumah tangga, dan pemimpin keluarga dalam mengarungi samudera kehidupan.
Seorang ayah yang mengabaikan kewajibannya mencari nafkah, bahkan membiarkan istri dan anaknya berjuang sendiri, ibarat menyerahkan kemudi kapal kepada anggota keluarganya. Ini berarti sang ayah telah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.
Mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga
Meskipun di beberapa keluarga, karena kondisi-kondisi tertentu, terkadang sang istri yang berperan sebagai pencari nafkah utama, namun meruapakan hal yang wajar bila seorang ayah mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Apalagi bila secara fisik dan mental ayah dalam kondisi sehat sempurna.
Menjadi hal yang memalukan bila ayah hanya berleha-leha tanpa melakukan apapun.
Mencari nafkah juga tidak harus keluar dari rumah. Bila memiliki ketertarikan pada bidang tertentu dan bisa diaplikasikan dengan kemajuan teknologi saat ini, di rumah saja pun bisa menafkahi keluarga.
Namun dengan satu syarat, tetap menerapkan disiplin dan meimiliki target yang jelas. Bukannya bersantai atau malah lebih banyak tidur daripada bekerja.
Pelindung
Ayah harus mampu melindungi keluarganya dari berbagai bahaya yang berasal dari luar, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Ayah juga berkewajiban menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangganya.
Kalau sampai terjadi hal buruk pada anggota keluarga, berarti ayah tersebut gagal memenuhi tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelindung keluarga.
Partner ibu
Posisi ayah sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, tidak menjadikannya sebagai raja dan sosok yang bebas dari pekerjaan rumah tangga.
Pekerjaan ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan mudah. Begitu banyak energi yang tercurah di dalamnya, baik fisik maupun mental.
Oleh karena itu ayah harus mampu menjadi partner ibu dalam mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Baik mencuci, memasak, bersih-bersih rumah, atau momong anak. Ini berguna untuk menghindari pertengkaran akibat konflik peran. Kehidupan rumah tangga pun akan lebih harmonis.
Memberi teladan
Anak-anak adalah peniru ulung. Perkembangan dan tingkah laku anak sangat dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk ayah dan ibu.
Ayah sebagai kepala keluarga harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan dalam hal kebaikan, kejujuran, kerendahan hati, dan tanggung jawab, sehingga dapat menjadi panutan bagi anak-anaknya.
Ayah dengan perilaku dan karakter yang tidak baik, bukan mustahil akan menumbuhkan anak-anak dengan perilaku dan karakter yang serupa.
Menjadi seorang ayah adalah suatu kebanggaan, sekaligus anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya. So, jangan sia-siakan anugerah tersebut.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H