Saat masih kerja dulu, sepulang dari kantor, saya sering janjian bertemu dengan suami (statusnya saat itu masih pacar) di kawasan Blok M Jakarta Selatan. Walaupun semula kami satu kantor, namun dinamika pekerjaan memaksa kami untuk berpisah dan berkarya di kantor yang berbeda.
Janjian bertemu bisa di kawasan Plaza Melawai, bisa di Plaza Blok M, di Pasaraya, atau di area basenent di bawah terminal.Â
Kala itu, di pertengahan tahun 2000-an, saat sore hingga malam hari, kawasan ini menyediakan jajanan dan makanan beraneka ragam. Mulai dari kelas pinggir jalan sampai kelas restoran. Hampir semua jenis makanan tersedia di kawasan ini.Â
Ada bakso, siomay, nasi goreng, mie goreng, mie ayam, sate Padang, sate Madura, soto, pecel lele, makanan junk food dan masih buuaaanyak lagi. Banyak diantaranya cukup dikenal saat itu, seperti Ayam Bakar Gantari dan Gultik (Gulai Tikungan), yang berlokasi di belakang Plaza Blok M. Kawasan ini pun begitu gegap gempita di malam hari, apalagi saat weekend. Menjadi salah satu tujuan tongkrongan anak muda kala itu.
Tujuan kami bertemu di sini pun tidak lain tidak bukan untuk makan malam, sambil ngobrol. Bukan yang mahal-mahal, lebih sering makanan kaki lima. Sekali-kali saja mencoba sedikit mewah, di hari-hari gajian. Kadang-kadang setelahnya kami berkeliling melihat-lihat sekedar cuci mata.
Sekitar jam 8 malam barulah kami berpisah kembali ke kediaman masing-masing. Saya ke Pondok Labu dan suami ke Cempaka Putih.
Suatu ketika, saat kami berjalan-jalan di kawasan Plaza Melawai, sehabis makan, kami melihat seorang anak remaja lelaki sekitar usia 15 tahunan sedang duduk menangis di beranda depan gedung.Â
Anak ini duduk sambil memeluk tumpukan koran. Menangisnya pun sangat memprihatinkan, tersedu-sedu dan berlinang air mata. Namun tidak ada yang memperhatikan, mungkin karena remaja ini duduk di balik sebuah pot bunga besar yang ada di sana. Atau mungkin juga sudah ada yang melihat tapi takut tertipu. Entahlah. Namun terdorong rasa kasihan dan penasaran, saya ajak suami menghampiri.Â
Ternyata remaja ini adalah seorang penjual koran, yang katanya baru saja kehilangan uang senilai 70 ribu hasil penjualan korannya. Dia menangis karena uang itu harusnya dia setorkan ke agen koran malam itu juga. Namun lantaran hilang, dia tidak berani kembali ke agen koran, padahal hari sudah beranjak semakin malam.
Terdorong rasa iba, saya pun memberi uang sebesar itu sebagai pengganti kehilangannya. 70 ribu saat itu cukup besar buat saya, cukup untuk makan siang selama beberapa hari. Tapi saya senang bisa menolong orang lain, apalagi ini masih tergolong anak-anak. Tangisnya langsung berhenti setelah menerima uang dari saya dan hati saya pun lega.
Setelahnya saya juga mengajaknya untuk mampir di pedagang nasi goreng yang banyak mangkal di belakang Plaza Melawai, di samping Pasaraya. Maksud hati hendak membelikannya nasi goreng.Â
Pikir saya, takutnya, setelah uang itu disetorkan ke agen koran, dia sendiri tidak pegang uang untuk membeli makanan. Jadi saya belikan saja sekalian buat makan malam agar dia bisa melewati malam itu dengan tenang.
Ketika nasi gorengnya sedang dimasak, saya tiba-tiba ingin ke kamar kecil di dalam Pasaraya. Saya dan suami pun meninggalkannya sembari berpesan sebelumnya bahwa kami akan segera kembali dan akan membayar nasi gorengnya.
Namun entah kenapa saat kami kembali lagi ke tempat penjual nasi goreng, anak remaja itu sudah tidak ada. Dari si penjual kami ketahui bahwa si anak tadi langsung pergi sesaat setelah kami tinggal. Dia bahkan tidak menunggu nasi gorengnya matang.
Saya dan suami hanya bisa berpandang-pandangan. Berbagai pertanyaan timbul di benak saya. Benarkah yang terjadi pada anak tadi seperti yang dia ceritakan? Ataukah ini hanya salah satu jenis modus penipuan untuk mendapatkan uang dan saya terperangkap dalam tipuan tersebut?
Sampai sekarang saya sering penasaran kalau teringat akan kejadian itu. Bukan menyesal, cuma bingung. Kenapa anak itu harus lari dari kami? Kami ikhlas koq menolong. Atau mungkin dia takut kami akan berubah pikiran sekembalinya dari kamar kecil? Atau mungkin anak ini adalah bagian dari komplotan penipu?
Saat itu saya mencoba berpikir positif, bahwa kejadian itu benar adanya, dan saya tidak menjadi korban penipuan. Dengan berpikir positif, hati saya lebih tenang dan legowo.Â
Taruh kata saya memang ditipu, paling tidak saya sudah berniat baik dan memnag benar-benar ingin menolong. Kalau benar itu hanya akal-akalan si anak atau mungkin komplotannya, biarlah itu menjadi tanggungjawab mereka.Â
Kejadian itu jelas mengubah cara pandang saya. Sejak saat itu saya lebih berhati-hati dan jeli dalam melihat berbagai situasi yang terjadi di sekitar saya. Lebih menahan diri dan tidak cepat untuk percaya. Sayapun lebih selektif untuk menaruh rasa iba. Walaupun kadang terkesan pelit dan kurang empati terhadap penderitaan orang lain.Â
Tapi mau bagaimana lagi. Apa yang saya pikirkan belum tentu sama dengan yang orang lain pikirkan. Semula dengan naif nya saya berpikir semua orang jujur seperti saya (uups..), padahal belum tentu. Apalgi saya hidup di kota yang konon katanya, semua jenis kejahatan ada di sini. Intinya, saya harus lebih berhati-hati.Â
Setelahnya, bukan sekali dua kali pula saya dihadang ibu-ibu di JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) yang meminta bantuan uang dengan alasan sedang tersesat saat mencari rumah saudaranya di Jakarta dan tidak bisa pulang ke kampungnya karena kehabisan uang, dan berbagai alasan lain. Saya hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Mohon maaf, saya tidak percaya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H