Setelahnya saya juga mengajaknya untuk mampir di pedagang nasi goreng yang banyak mangkal di belakang Plaza Melawai, di samping Pasaraya. Maksud hati hendak membelikannya nasi goreng.Â
Pikir saya, takutnya, setelah uang itu disetorkan ke agen koran, dia sendiri tidak pegang uang untuk membeli makanan. Jadi saya belikan saja sekalian buat makan malam agar dia bisa melewati malam itu dengan tenang.
Ketika nasi gorengnya sedang dimasak, saya tiba-tiba ingin ke kamar kecil di dalam Pasaraya. Saya dan suami pun meninggalkannya sembari berpesan sebelumnya bahwa kami akan segera kembali dan akan membayar nasi gorengnya.
Namun entah kenapa saat kami kembali lagi ke tempat penjual nasi goreng, anak remaja itu sudah tidak ada. Dari si penjual kami ketahui bahwa si anak tadi langsung pergi sesaat setelah kami tinggal. Dia bahkan tidak menunggu nasi gorengnya matang.
Saya dan suami hanya bisa berpandang-pandangan. Berbagai pertanyaan timbul di benak saya. Benarkah yang terjadi pada anak tadi seperti yang dia ceritakan? Ataukah ini hanya salah satu jenis modus penipuan untuk mendapatkan uang dan saya terperangkap dalam tipuan tersebut?
Sampai sekarang saya sering penasaran kalau teringat akan kejadian itu. Bukan menyesal, cuma bingung. Kenapa anak itu harus lari dari kami? Kami ikhlas koq menolong. Atau mungkin dia takut kami akan berubah pikiran sekembalinya dari kamar kecil? Atau mungkin anak ini adalah bagian dari komplotan penipu?
Saat itu saya mencoba berpikir positif, bahwa kejadian itu benar adanya, dan saya tidak menjadi korban penipuan. Dengan berpikir positif, hati saya lebih tenang dan legowo.Â
Taruh kata saya memang ditipu, paling tidak saya sudah berniat baik dan memnag benar-benar ingin menolong. Kalau benar itu hanya akal-akalan si anak atau mungkin komplotannya, biarlah itu menjadi tanggungjawab mereka.Â
Kejadian itu jelas mengubah cara pandang saya. Sejak saat itu saya lebih berhati-hati dan jeli dalam melihat berbagai situasi yang terjadi di sekitar saya. Lebih menahan diri dan tidak cepat untuk percaya. Sayapun lebih selektif untuk menaruh rasa iba. Walaupun kadang terkesan pelit dan kurang empati terhadap penderitaan orang lain.Â
Tapi mau bagaimana lagi. Apa yang saya pikirkan belum tentu sama dengan yang orang lain pikirkan. Semula dengan naif nya saya berpikir semua orang jujur seperti saya (uups..), padahal belum tentu. Apalgi saya hidup di kota yang konon katanya, semua jenis kejahatan ada di sini. Intinya, saya harus lebih berhati-hati.Â
Setelahnya, bukan sekali dua kali pula saya dihadang ibu-ibu di JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) yang meminta bantuan uang dengan alasan sedang tersesat saat mencari rumah saudaranya di Jakarta dan tidak bisa pulang ke kampungnya karena kehabisan uang, dan berbagai alasan lain. Saya hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Mohon maaf, saya tidak percaya lagi.