Mohon tunggu...
Mpok Precil
Mpok Precil Mohon Tunggu... -

awan biru

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Rumitnya ABG Laki-laki

26 Agustus 2012   09:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:18 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ABG laki-laki, makhluk apalagi ini. Kami bersaudara kebanyakan perempuan. Satu-satunya cowok adalah kakak sulung yang usianya sudah melampaui kami. Saya gak punya pengalaman ngasuh anak, apalagi anak baru gede (remaja awal) laki2. Kini anak  yg kemarin masih sd, manis dan penurut sekarang tiba2 sudah jadi anak smp.

Saya senang ia keterima di smp yg dicita-citakan. Kalau lihat dia berseragam coklat2, dalam hati saya membatin 'ganteng bener nih keponakan'  (Tentu saja ia tak bener2 ganteng. Hanya karena ia keponakan sendiri maka penilaian saya jadinya subyektip). Itu sisi baiknya. Sisi jeleknya adalah ia sudah pintar membantah, pintar menyalahkan, semau gue, hpnya tak boleh dibuka (artinya ada sesuatu yg disembunyikan) dan bau badannya mulai menyengat.

Referensi tentang anak lelaki hanya saya dapatkan dari internet (Roma Irama mode on). Dan saya pun dibuat pusing oleh ulah bocah 12 tahun itu.

Masih dipekan lebaran ia tinggal serumah dengan saya. Sepulang dari sungkem di rumah kakeknya di gunung ia tak mau ikut emaknya pulang ke rumahnya sendiri. Minta ditinggal saja. Hampir seharian ia ngegame mulu sampai wajahnya kusut. Waktunya jumatan ia tak segera ke masjid. Setelah adu mulut barulah ia bangkit dari kubur gamenya.

"Jumatan tuh yg wajib dengerin kotbahnya", omel saya setelah ia tetep saja ngegame meski adzan sudah terdengar.

"Kalau gak nyimak kotbah sama saja sholat subuh 2 rokaat", saya nyinyir bersiap jadi nenek2 galak.

Habis  ide dah untuk mengusir dia agar cepat2 ke masjid. Biasanya dia semangat kalau diiming2i uang 2 ribu perak. Seribu upah mandi, seribu upah sikat gigi. Jadi kalau salah satu dikerjakan ia dapat seribu. Kalau dua-duanya dikerjakan dia dapat 2 ribu. Lebaran ini dia diiming-imingi segitu malah mengeluarkan segepok uang hasil silaturahim.

Akhirnya saya ambil sapu untuk menaklukkan kebandelannya. "Sudah....gak  mau cepetan mandi? saya arahkan sapu ke pantatnya.

"Iya........sebentar....", ia masih menawar meski kotbah mulai terdengar.

"Sebentar...sebentar....bubar", saya yg tua gak mau kalah.

Bapaknya tiba2 muncul dari kerja. "Belum mandi nak?"

"Iyaaaa........", ia lari ke kamar mandi takut dimarahi bapaknya.

Hmmm... anak itu begitu manis di depan ortunya. Kalau di rumahnya sendiri ia mandi tanpa disuruh2. Lalu ke masjid sebelum adzan berkumandang.

Di rumah embahnya ini ia tahu kelemahan penghuninya: tak akan sungguhan memarahi. Jadi ia pun sigap memanfaatkan kelemahan ini. Mengulur2 waktu beribadah, memanjangkan waktu bersantai2 menyenangkan diri sendiri.

Sorenya dia ngegame lagi, kali ini sama kawannya. Pc di depan menyala, di kamar mereka masih menyalakan netbuk, main hp dan cekikikan. Saya curiga mereka buka2 gambar yg belum pantas buat anak2. Saya menguping ketawanya. Mereka terus saja cekikikan tanpa ada penjelasan apa yg bikin lucu.

"Pada lihat apa itu?! hardik saya.

"Gak lihat apa2".

Nah, gak ngaku kan. Teknologi yg mudah diakses segala usia bikin saya yg belum punya anak ikut khawatir. Apa jadinya jika di kepala mereka bukan terisi rumus fisika dan matematika, tapi malah terisi gambar badan manusia  gak pake baju.

"Matikan pc kalau gak dipakai!" saya menginstruksi bak komandan.

"Jangan........."

Rupanya mereka lagi mendunlud game di pc, terus ditinggal main di kamar.

"Kalau gitu main  saja di luar. Olahraga. Main bola atau badminton!" saya risih bocah2 itu akan cekikikan terus seperti kuda.

"Kalau kamu malas olahraga, gimana bisa kenal anak lain?! saya mulai ceramah sesi sore. Mereka tetap saja ngejogrok main hp.

"Cepetan pergi! Tuh ada raket."

Mereka harus diusir dari kamar biar seprei gak bau.

"Gak usah bawa hp", kata saya lihat ponakan mau bawa hp. Dia lalu melempar hpnya ke atas lemari sebelum saya rebut dari tangannya.

Mereka pergi. Saya tengok di luar, 2 bocah itu naik sepeda. ''Awas kalau ke warnet!' ancam saya dari jauh dengan mengacungkan gagang sapu.

Saya terus ke kamar, mengecek hpnya. Apa saja isinya. Sebagian isi sms ternyata komunikasi dengan teman2 cewek. Hmmm.... keponakan sudah kenal cinta monyet. Saling sok perhatian macam mahasiswa kasmaran, padahal masih pada kelas 1 smp. Itu rupanya yg bikin ia pelit meminjamkan hp. Sudah punya rahasia, malu diketahui orang.

Terus saya lihat koleksi potonya. Ada bendera klub2 bola, logo band2, berbagai kaligrafi, kartun, poto dirinya yg narsis,... Hmmm... 300 an gambar, belum juga nemu gambar yg pantas dicurigai. Terus ada poto bayi merokok & nenek2 pakai singlet. Inikah yg bikin mereka cekikikan? Entahlah.

Saya mau hapus 2 gambar itu tapi gak tau caranya. Beda generasi, beda mainan. Betapa cepatnya teknologi bergerak. Sayapun gak bisa mengikuti.

Terus pintu kamar saya kunci dari luar. Kuncinya diumpetin ke tempat lain yg tak mudah diketahui.

Maghrib 2 bocah itu pulang. Si ponakan terus sholat, temannya ngegame lagi. Usai sholat bukannya ngaji malah ngegame juga.

Di rumah bibi ada 3 bocah tinggal. Ortunya pada keluar kota. Saatnya makan malam buat anak2. Kusuruh si teman pulang, ponakan mau saya ajak cari makan. Eh, si ponakan keukeuh ngegame. Tak mau diajak ke warung. Dia malah lari ke sana ke mari menghindari kejaran. Terpaksa saya bawakan sapu.

"Wes....gak mau ikut  ke warung?"

Dia malah marah. "Jangan maksa2!" protesnya.

Habis kesabaran saya. "Kamu tuh lapar banyak yg ngasih makan. Sekarang giliran kenyang kamu lupa ama saudara", omel saya sekenanya. Astaghfirullah....saya ngudal2 (membuka2) barang yg sudah masuk perut.

Anak itu sangat disayang keluarga. Dia begitu mirip kakeknya (bapak saya). Pendiamnya, cara duduknya, hobinya main bola, plek almarhum bapak. Jadi kalo dia tiba2 keras kepala gini, itu sangat mengecewakan.

Bisa saja saya berangkat sendiri ke warung, tapi itu tak mendidik dia untuk peduli pada saudaranya. Juga gak ngajarinya usaha, hanya terima beres. Lagi pula kalau dia di rumah cuma ngegame terus.

Dia menangis. Sayapun menyesal sudah mengucapkan kata2 kasar.

"Ayo berangkat," kusuruh ia segera bonceng.

"Iya, tapi aku gak beli."

Ah, dia sudah sakit hati dan tak selera makan.

Di warung ia tak mau ikut masuk. Saya membiarkan dia duduk menunggui parkiran. Membawanya berjalan di tempat orang ramai dengan mata sembab tentu akan membuatnya malu. Apalagi kalau nanti ketemu kawan2nya.

Di konter saya beli 3 nasi kotak untuk 3 anak bibi. Spageti kesukaan bocah abege sudah habis. Terus ke warung lain, ada pizza dan burger.

"Mau yg mana?"

"Aku gak beli," si ponakan masih dendam rupanya.

Saya terus ke warung pizza.

"Yang ini," jarinya menunjuk ke tulisan large.

"Habis," kata abang penjual.

"Yang ini dua," tunjuknya ke tulisan medium.

Akhirnya si abege luluh juga. Harumnya pizza mengalahkan dendamnya.

Di rumah bibi 4  anak pada makan bareng. Mereka tampak rukun dan kompak.  Si ponakan sudah cengengesan sama sepupu2nya. Sembab di matanya sudah hilang. Terus melihat rekaman tsunami di pantai. Asyik kan bersosialisasi, tak cuma ngegame sama robot.

Benar2 rumit menghadapi abege cowok. Kalau kita lembut dia berulah semaunya sendiri. Kalau kita keras mereka bisa sakit hati. Tapi kalau mereka tak melewati masa abege, masak akan jadi anak2 terus. Wong pohon saja terus tumbuh, apalagi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun