Sebelum memulai tulisan ini, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ke-78.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang menjadi komponen pertahanan nasional, telah lama terlibat dalam menjaga keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia.Sering kali kita melihat TNI menyemut di berbagai acara, di pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik mereka jaga ketat. Tentara ada dimana-mana.
Kita melihat Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik seperti ini acap kali dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.
Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan menjadi hal yang lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan kerap dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas.
Sejatinya, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.
Apabila jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, yang ditakutkan nantinya akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia. Â
TNI ada pada arus Mudik sampai dengan Konser Dangdut
Terdapat posko-posko penjagaan militer pada periode arus mudik setiap tahunnya bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Posko-posko yang dibangun ini didirikan pada sejumlah titik yang mereka anggap "rawan".
Sementara pada konser-konser musik dari pop hingga dangdut, biasanya selalu ada anggota TNI berseragam lengkap yang turut menjaga keamanan konser tersebut.
Bagi negara-negara Barat, yang menganut teori hubungan militer-sipil demokratis, praktik seperti itu sebenarnya tak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang "dewasa".
Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI. Â
Maka sebab itu, terlibatnya TNI dalam penjagaan pada kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.
Lalu, pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa tetap terjadi?
Gesekan antara Sipil dan Militer
Pengamanan yang dilakukan oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.
Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.
Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.
Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.
Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Singkatnya, TNI dipersiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan dalam hal mengamankan masyarakat sipil di masa damai.
Jika prajurit TNI terlibat di ranah sipil, sangat rentan bagi mereka untuk "tidak sengaja" menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.
Mengharapkan adanya Perbaikan
Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan aparat militer.Â
Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda revisi UU TNI tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus segera dievaluasi.
Mungkin ada beberapa pilihan, yang pertama membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau pilihan kedua yaitu  mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, menjadikan mereka murni sebagai pertahanan negara.
Apapun pilihannya nanti, harus berdasarkan apa yang dilakukan dan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H