Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI. Â
Maka sebab itu, terlibatnya TNI dalam penjagaan pada kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.
Lalu, pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa tetap terjadi?
Gesekan antara Sipil dan Militer
Pengamanan yang dilakukan oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.
Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.
Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.
Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.
Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Singkatnya, TNI dipersiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan dalam hal mengamankan masyarakat sipil di masa damai.
Jika prajurit TNI terlibat di ranah sipil, sangat rentan bagi mereka untuk "tidak sengaja" menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.