Mohon tunggu...
Tryas Febrian
Tryas Febrian Mohon Tunggu... Programmer - Complex

I love your writing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Gunakan Istilah Pelakor!

15 September 2020   11:34 Diperbarui: 15 September 2020   11:42 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingin berpendapat terkait istilah "pelakor". Pelakor adalah kepanjangan dari perebut laki orang. Diksi pelakor menurut saya merupakan sesuatu yang salah. Hubungan antara kedua manusia terjadi karena adanya kesepakatan bersama. Hubungan disetujui oleh kedua belah pihak yang terkait. 

"Perebut" menurut KBBI adalah orang yang mengambil secara paksa yang bukan miliknya. Sedangkan dalam perselingkuhan tidak benar jika adanya unsur pemaksaan, pun tidak ada unsur merebut. Hubungan bisa terjalin karena kesekapakatan antara dua belah pihak. Manusia diberi akal pikiran oleh Tuhan untuk bisa memutuskan suatu hal. 

Laki-laki bukan barang yang bisa diambil, melainkan manusia yang membuat keputusan untuk berselingkuh. Hubungan perselingkuhan terjadi tanpa adanya paksaan dari pihak manapun, maka kata "perebut" dalam istilah "pelakor" merupakan sebuah kesalahan. 

Jika pasangan lelakimu berselingkuh, dia memang menginginkannya, buka karena dia direbut!

Saya yakin, sebagian orang yang aktif menggunakan interntet pasti pernah melihat video perempuan yang berkelahi karena perselingkuhan. Kebanyakan video yang saya lihat, yang melakukan perkelahian adalah antar perempuan. Tidak pernah saya menemukan video yang sengaja dibuat untuk mempermalukan pihak laki-lakinya.

Dalam kasus perselingkuhan, perempuan lebih banyak mendapat persepsi negatif yang lebih berat ketimbang laki-laki. Salah satu indikasi yang dapat mendukung pernyataan ini adalah kurang populernya istilah "pebinor" kepanjangan dari perebut bini orang. Namun tetap saja istilah pelakor maupun pebinor tidaklah dapat dibenarkan, jadi tidak perlu dipergunakan sehingga menjadi populer. 

Sangat disayangkan, istilah pelakor sangat sering dipergunakan oleh perempuan untuk menghina perempuan lain. Kesimpulannya adalah sesama perempuan sendiri justru terjebak dalam sesat pikir yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang lebih baik. Sehingga dalam perselingkuhan laki-laki tidak mendapat beban untuk terlalu disalahkan ketimbang perempuan yang mereka sebut pelakor. Para pelakor disudutkan sebagai makhluk yang paling salah karena menodai pasangan perempuan lain.

Dalam upaya untuk merubah paradigma memang suatu hal yang sulit, apalagi dengan orang-orang yang ada disekeliling kita. Jika guyonan tidak pada satu frekuensi, pilihan kebanyakan orang adalah memutuskan untuk diam. Keputusan  menjadi diam biasanya didorong oleh beberapa faktor, misalnya karena tidak ingin berdebat dengan teman dan takut kehilangan teman. 

Diam tidak selalu berbuahkan emas, dalam hal ini jika kita melihat kekeliruan dalam berpikir yang terjadi tepat di depan mata kita dan kita memilih untuk diam, maka diam itu merupakan perilaku yang salah fatal, karena melanggengkan kesalahan. 

Janganlah kita membenarkan kebiasaan, melainkan membiasakan yang benar.

Sangat banyak kekeliruan yang fatal terjadi dan menjadi sesuatu yang wajar, karena kekeliruan tersebut engah dibiasakan dan menjadi hal yang lumrah. Mematahkan kekeliruan yang dianggap wajar adalah usaha bersama. 

Bukan berarti usaha bersama itu harus selalu dilakukan secara massif, turun ke jalan beramai-ramai atau pidato lewat mimbar-mimbar. Gelombang perubahan tidak terjadi secara langsung dan mendadak. Dia bermula dari percikan-percikan ide yang datang dari individu-individu. Tidak semua orang punya kesempatan untuk mengubah dari mimbar yang tinggi. 

Tapi, semua orang bisa menjadi nyala kecil di dalam proses perubahan tersebut. Jadilah nyala kecil tersebut, bukan malah melanggengkan kegelapan dengan diam hanya karena sungkan. Apakah jangan-jangan memilih untuk bersikap diam atas kekeliruan yang terjadi di depan mata adalah hasil dari trauma masa lalumu, masa lalu nenekmu, masa lalu nenek moyang kita? Trauma yang terjadi dulu mandarah daging dan menyelinap di kekinian? 

Trauma akibat dijajah selama ratusan tahun? Jika memang ini penyebabnya, mari bersama-sama sembuh dari trauma ini. Kita sudah 75 tahun merdeka. Jangan lagi takut berkata-kata. Saat ini, semesta adalah tempatmu untuk menggunakan hakmu bersuara. Nyaringkanlah apa yang benar. Sudahi sampai di sini. Sudah terlalu lama kita diam saja atas banyaknya kekeliruan yang dilanggengkan. Lantangkan sikap, meski itu sahabatmu sendiri. Suatu saat, kita akan mati. Saat itu terjadi, kita akan meniada dengan lega karena menolak untuk mewariskan kekeliruan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun