Di dunia yang dipenuhi oleh informasi dan seringkali membingungkan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Hadir sekelompok individu yang berdedikasi untuk menjadi suara keadilan dan kebenaran yakni para jurnalis. Mereka adalah para pencari fakta, pengumpul berita, seseorang yang berkomitmen untuk menyampaikan realitas kepada masyarkat.Â
Dalam perjalanan karirnya, Hazmirullah telah menghabiskan waktu selama bertahun-tahun mendalami setiap sudut kehidupan, menulis artikel yang menggugah pemikiran, dan mewawancarai orang-orang dari berbagai latar belakang. Melalui dedikasinya, Hazmirullah tidak hanya sekedar melaporkan berita, ia juga membangun jembatan yang kokoh antara fakta dan masyarakat. Dalam biografi ini, kita akan menelusuri perjalanan yang telah dilaluinya dalam dunia jurnalisme, sebuah perjalanan yang penuh kebenaran, penemuan, dan tantangan.
Dari Tanjung Batu ke Kota Palembang: Kehidupan Awal Hazmirullah Â
Hazmirullah lahir di Tanjung Batu, Ogan Ilir pada 20 september 1979. Ia menghabiskan masa kecilnya di desa tersebut, yang terletak di Provinsi Sumatra Selatan. Keluarganya memiliki latar belakang sederhana dengan sang ayah yang seorang tukang sepatu dan ibunya seorang pengrajin perhiasan pengantin. Sejak kecil, Hazmirullah tumbuh dengan selayaknya anak-anak pada umumnya yang ceria dan penuh semangat.Â
Hazmirullah memulai pendidikan dasarnya di sekolah negeri setempat. Selain itu, ia juga pernah bersekolah di sekolah dasar berbasis agama, yang diikutinya selama empat tahun, dari kelas 4 SD hingga kelas 1 SMP. Pengalaman ini memberinya pemahaman awal tentang pendidikan formal dan agama. Ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), di masa ini Hazmirullah menunjukkan minat dalam belajar dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan memiliki nilai-nilai unggul di sekolahnya.Â
Dengan itu, Hazmirullah mencoba peruntungannya dengan mendaftar ke SMA 3 Palembang, salah satu sekolah favorit di kota tersebut. Berkat prestasi akademiknya semasa SMP, ia berhasil meraih NEM yang menempatkannya di peringkat 4 dari ribuan peserta. Dengan semangat tinggi, ia memulai perantauannya di Kota Palembang selama tiga tahun ke depan di SMA 3 Palembang. Di masa perantauan ini Hazmirullah mengalami banyak perubahan. Sebagai seorang yang sebelumnya pendiam, ia mulai mengenal keberagaman dengan berteman dengan siswa dari berbagai latar belakang. Hal ini memperluas wawasan dan pemahamannya tentang masyarakat yang lebih luas.Â
Hazmirullah aktif berpartisipasi dalam organisasi siswa, khususnya OSIS. Keterlibatannya dalam OSIS memberikan pengalaman berharga dalam belajar berorganisasi, publik speaking, dan berkomunikasi dengan orang lain. Ia menemukan bahwa kegiatan ini sangat berbeda dari pengalaman sebelumnya di SMP dan membantu meningkatkan rasa percaya dirinya. Namun, Ia sering kali meminta dispensasi atau izin dari guru karena kesibukannya dalam organisasinya seperti vokal grup dan lomba-lomba lainnya. Ditambah Ia juga ditunjuk sebagai panitia untuk berbagai acara, termasuk mengirim proposal ke perusahaan untuk mendukung kegiatan OSIS.Â
Pada semester kedua saat ia masih kelas 3 SMA, ia mulai merasakan perubahan dalam pemikirannya dengan tertarik pada dunia sastra dan ingin belajar lebih dalam mengenai bidang tersebut. Selain itu, bersamaan dengan waktu yang sama, ia mulai menyadari bahwa adanya pergerakan radikalis dari kelompok-kelompok tertentu, yang memengaruhi pandangannya. Saat melihat orang sekitarnya mulai memiliki pemahaman yang sama dengan gerakan tersebut, Ia memiliki idealisme tersendiri dengan membuatnya ingin melanjutkan studi di Sastra untuk menyadarkan orang-orang dari pemahaman yang salah, seperti terkait dengan isu-isu seperti penilaian terhadap orang lain.Â
Perjuangan Masuk Perguruan Tinggi Hingga Menjadi Ahli Filologi: Jejak Akademis Hazmirullah
 Setelah menyelesaikan SMA, Hazmirullah berjuang untuk memasuki perguruan tinggi melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Ia memiliki tiga pilihan utama jurusan saat mendaftar ke UMPTN, yaitu: Sastra Arab di Universitas Gadjah Mada (UGM), Sastra Arab di Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Teknologi Pertanian di Universitas Sriwijaya.
Akhirnya, ia lulus dan diterima di Unpad (1997-2001). Setelah melihat pengumuman kelulusan di koran, Hazmirullah dan ayahnya berbegas mencari informasi tentang orang-orang dari kampung yang tinggal di Bandung. Mereka menemukan teman SMP-nya, yang juga diterima di IKIP Bandung, yang saat ini di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Saat tiba di Bandung, mereka mengalami kebingungan karena tidak tahu arah karena diturunkan di Cimahi. Dengan bantuan telepon kepada temannya, mereka diarahkan untuk naik angkot menuju Leuwi Panjang dan kemudian menggunakan Damri ke Ledeng. Di Unpad, Hazmirullah menjalani kuliah selama tujuh semester dalam waktu tiga setengah tahun. Ia bertekad untuk tidak membebani orang tuanya secara finansial. Dengan biaya hidup yang terbatas, ia berusaha keras untuk belajar dan beradaptasi dengan kehidupan sebagai perantau. Selama semester kedua, ia mendapat tawaran untuk mengajar mengaji di Rancaekek dengan gaji 40 ribu sebulan, yang membantunya mengurangi beban biaya hidup. Dengan seluruh pengalaman dan lelahnya akhirnya ia mencapai keberhasil dengan lulus 7 semester dalam waktu 3,5 tahun.Â
Kecintaannya terhadap sejarah mendorong Hazmirullah untuk melanjutkan pendidikan program magister ilmu sastra, konsentrasi filologi fakultas ilmu budaya di Universitas Padjadjaran dengan peminatan naskah kuno pada tahun 2015. Dalam penelitiannya, ia memilih fokus pada surat-surat Thomas Raffles dari abad ke-18 hingga ke-19, khususnya korespondensinya dengan Sultan Cirebon. Keunikan dari penelitian ini adalah kemampuan Hazmirullah untuk membaca tulisan Arab Melayu. Ia tertarik pada surat-surat Thomas Raffles karena saat Raffles menulis surat dalam bahasa Arab Melayu untuk Sultan Cirebon, sementara Sultan Cirebon membalasnya menggunakan aksara Hanacaraka dalam bahasa Jawa. Meskipun sebelumnya ia tidak menguasai bahasa Jawa, Hazmirullah tidak gentar. Ia belajar secara otodidak selama tiga bulan hingga akhirnya mampu membaca surat balasan Sultan Cirebon kepada Raffles. "Saya menyelesaikan program S2 hanya dalam tiga semester karena begitu terpesona dengan materi yang dipelajari," katanya.Â
Kecanduannya pada ilmu pengetahuan akan sejarah dan sastra membuatnya melanjutkan studi ke program Doktor Ilmu Sastra, konsentrasi filologi fakultas ilmu budaya di Universitas Padjajaran. Selama empat semester menjalani S3, Hazmirullah berhasil lulus dengan predikat cumlaude pada tahun (2017-2019) dengan menerbitkan dua jurnal yang menjadi Scopus. Dalam penelitiannya program doktoralnya, ia meneliti dan menemukan bahwa Raffles juga menerbitkan kitab hukum yang diberlakukan untuk masyarakat Jawa.Â
Kesibukan Hazmirullah meneliti naskah kuno dan menerbitkan beberapa buku yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Tahun ini menandai terbitnya buku keempat yang berbasis objek naskah. Salah satu penelitian menarik yang dilakukannya adalah mengenai naskah dari Bima, NTB, yang membahas soal perbudakan. Ia menjelaskan bahwa dalam konteks Melayu, pengiriman surat dan bingkisan merupakan hal biasa; namun, dari Bima, ada tradisi mengirim budak ke Jakarta (Batavia) untuk membeli perahu atau membayar hutang. "Kampung Manggarai di Jakarta dikenal sebagai kampung budak," ujarnya.Â
Hazmirullah sangat menyukai naskah kuno karena di dalamnya terdapat banyak kejutan yang berkaitan dengan sejarah---bukan hanya sastra atau puisi. "Walaupun menemukannya itu tantangan tersendiri," katanya. Ia merasa beruntung hidup di era digital, di mana akses ke naskah-naskah digital memungkinkan dirinya untuk menjelajahi koleksi dari perpustakaan internasional di Perancis, Inggris, dan Belanda.Â
Namun, tantangan tetap ada, ia harus mencari, membaca, dan menafsirkan naskah-naskah tersebut, yang sering kali memerlukan pembelajaran tambahan. "Highlight-nya adalah bahwa saya tidak memiliki idola atau favorit tertentu karena saya lebih menghargai keberagaman dalam setiap pengalaman dan pengetahuan yang saya dapatkan," tambahnya. Dengan pandangan ini, Hazmirullah terus berkomitmen untuk menggali lebih dalam sejarah dan menyajikannya kepada masyarakat melalui tulisan-tulisan berkualitas.Â
Perjalanan Awal Karir: Dari Kampung Halaman ke Pikiran Rakyat
Sejak kecil, Hazmirullah tidak memiliki cita-cita untuk berkarir di dunia jurnalistik. Sebaliknya, seperti banyak anak-anak lainnya, ia bercita-cita menjadi polisi, tentara, atau dokter. Bahkan hingga masa SMA, cita-citanya masih berfokus pada karir militer bahkan ia pernah mencoba masuk ke SMA Taruna Nusantara tetapi tidak lulus. Ia memiliki ketertarikan akan sastra dan menulis mulai dari SMA hingga Ia melanjutkan ke jenjang studi ke program Doktor Ilmu Sastra.Â
Pada tahun 2019, setelah Ia berhasil lulus sebagai sarjana dari Universitas Padjajaran, ia memutuskan kembali ke kampung halamannya selama tiga bulan, tetapi ia tidak mendapatkan hal yang membuat dia harus tetap bertahan di tempat tersebut. Dengan itu, ia memutuskan kembali merantau ke Bandung. Awalnya ia bekerja dengan temannya yang membuka warnet, ia sempat bekerja disitu untuk menerjemahkan.Â
Pada Februari 2002, ia melihat lowongan penerimaan wartawan di Pikiran Rakyat (PR) dan mendaftar. Setelah menjalani beberapa tahap tes, ia dinyatakan diterima sebagai karyawan pada bulan September 2002. Pada awalnya, ia tidak memiliki pengalaman menulis yang mendalam, sehingga ia belajar dengan menduplikasi cara orang lain menulis. Proses ini membantunya memahami penulisan yang baik dan bagaimana menyajikan berita dengan cara yang menarik dan informatif. Dua tokoh yang sangat mempengaruhi cara menulis Hazmirullah adalah MH penulis dari Mesir dan Goenawan Mohamad. Karya-karya mereka memberikan pengaruh dalam pengembangan gaya penulisan dan pendekatan jurnalistiknya.Â
Saat menjadi karyawan di Pikiran Rakyat, Hazmirullah memiliki prinsip kode etik dalam jurnalisme yang selalu dia pegang hingga saat ini. Selain itu, Ia percaya bahwa karya tulis yang disukai banyak orang adalah sumber kebanggaan tersendiri untuknya, Ia merasa senang ketika tulisannya dibaca dan dipahami oleh banyak orang. Dalam menyajikan berita, ia berusaha menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, menghindari istilah teknis atau bahasa Inggris yang dapat membingungkan pembaca. Ia juga berkomitmen untuk menggunakan bahasa daerah jika diperlukan, agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.Â
Membangun Jurnalisme Prediktif: Visi Hazmirullah untuk Pikiran Rakyat
Selama menjabat sebagai Pemimpin Redaksi, Hazmirullah berhasil mengelola tim yang besar dan berhasil mewujudkan tampilan Pikiran Rakyat (PR) yang diimpikannya. Dalam era disrupsi informasi, ia menyadari bahwa cara orang mengonsumsi berita telah berubah drastis, terutama di kalangan generasi muda yang lebih memilih berita melalui perangkat digital daripada media cetak. Hal ini menjadi tantangan besar yang memaksa timnya untuk berpikir kreatif tentang langkah-langkah yang harus diambil oleh media cetak.
Strategi untuk menghadapi tantangan tersebut, Hazmirullah mengembangkan konsep jurnalisme prediktif, terutama untuk halaman depan koran. Ia teringat bagaimana saat awal menjadi wartawan, setiap sore mereka ditagih mengenai berita yang didapat. Dari situ, ia mulai merencanakan konten: berita mana yang cocok untuk halaman satu dan mana yang untuk halaman dua. Pendekatan ini melibatkan analisis isu-isu terkini, seperti rencana kenaikan gaji guru, dan merumuskan angle yang tepat untuk pemberitaan. Dengan cara ini, para wartawan dapat mempersiapkan diri lebih baik dan memiliki waktu untuk mengumpulkan data sebelum berita diterbitkan.Â
Hazmirullah juga menekankan bahwa koran tidak hanya bisa mengandalkan kecepatan dalam menyajikan berita, karena berita yang cepat merupakan informasi kemarin. Oleh karena itu, PR berfokus pada penyajian berita mendalam. Dalam jurnalistik, ia menerapkan prinsip 5W1H, tidak hanya pada apa (what), kapan (when), di mana (where), dan siapa (who), tetapi juga lebih menekankan dan mengembangkan pada mengapa (why) dan bagaimana (how), serta koran mencari solusi jangka panjang terhadap isu-isu yang ada dan dampaknya jika terus dibiarkan. Pendekatan ini melibatkan wawancara dengan ahli untuk mendapatkan perspektif yang lebih dalam tentang isu-isu yang diangkat.Â
Di bawah kepemimpinannya, Pikiran Rakyat juga memperkuat kehadiran digital dengan platform online dan radio yang fokus pada citizen journalism. Ini memungkinkan masyarakat untuk segera melaporkan masalah seperti jalan rusak kepada dinas terkait dan mencari solusi jangka panjang terhadap isu-isu tersebut.Â
Meskipun karirnya disibuki dengan tekanan kerja yang tinggi, Hazmirullah mengaku tidak memiliki waktu untuk melakukan aktivitas "healing" seperti kebanyakan orang. "Saya lebih suka mendengarkan musik seperti orang lainnya," ujarnya. Namun, kesibukan yang menyita waktu membuatnya tidak memiliki kesempatan untuk menikmati waktu sendiri. Dengan mental yang sudah terbentuk, ia memiliki mental diri yang kuat, "Saya bisa mengendalikan diri dengan baik; jika ada konflik atau tekanan kerja, biasanya hanya berlangsung sehari saja dan langsung selesai tanpa berlarut-larut."Â
Menghadapi Tantangan: Keberanian dan Integritas Hazmirullah di Dunia JurnalistikÂ
Tantangan besar yang dihadapi Hazmirullah adalah adanya konflik. Seperti pengalamannya yang terjadi pada tahun 2003 ketika ia ditugaskan di Polwiltabes, yang sekarang dikenal sebagai Polrestabes. Saat itu, ia melaporkan kematian anak seorang jenderal, sebuah informasi yang sangat tertutup karena status pejabat tersebut. Hazmirullah berhasil mendapatkan informasi tersebut dengan akurat, mengenai orang dan kejadian tersebut dan menuliskannya dalam berita. Keesokan harinya, berita tersebut diterbitkan, dan setelah terbit, ajudan jenderal tersebut datang ke kantor Pikiran Rakyat yang saat itu berada di Soekarno-Hatta. Kemudian pada sore harinya, Hazmirullah dan rekan-rekannya yang bertugas di Polwiltabes dikumpulkan oleh Kapolwiltabes. Beruntungnya, Pak Hendra Sukmana, seorang kolonel, mengonfirmasi bahwa informasi yang dimuat oleh Pikiran Rakyat adalah benar.
Hazmirullah bangga mendengar kabar tersebut walaupun ia sempat dipenuhi oleh rasa ketakutan. Hazmirullah menghadapi situasi menegangkan ketika ia bertemu dengan orang- orang yang mencarinya karena menulis berita tersebut. Dalam situasi itu, ia berhasil menjawab pertanyaan dengan normatif tanpa diketahui bahwa ia adalah orang yang dicari. Di Pikiran Rakyat pada masa itu, para wartawan tidak menampilkan nama asli secara langsung, karena para media menggunakan sistem kode untuk menyebutkan nama media. "misalnya, A untuk Pikiran Rakyat, B untuk Gramedia, C untuk Kabar Cirebon, D untuk Bogor, E untuk Priangan, dan F untuk Banten" ujarnya. Hazmirullah menggunakan kode A 125, yang membantunya menjaga kerahasiaan identitasnya.Â
Sementara itu, tantangan lainnya yang ia terjadi saat gempa tsunami Pangandaran pada tahun 2006. Saat itu, ia masih bertugas di Polwiltabes dan menerima kabar mendesak dari Pikiran Rakyat yang meminta semua wartawan bersiap-siap untuk berangkat ke Pangandaran. Pada pukul 11 malam, mereka berkumpul di kantor tanpa bekal apa pun. Ketika tiba di lokasi bencana, ia menyaksikan kehancuran yang luar biasa.Â
Saat tiba di sana, Hazmirullah menerapkan prinsip penting ketika menghadapi bencana yakni, saat tiba di lokasi, ia tidak langsung bergerak ke mana-mana, melainkan melakukan observasi empat arah mata angin---barat, timur, utara, dan selatan. Dengan cara ini, ia dapat menentukan arah yang paling aman untuk dijelajahi. Dalam situasi darurat tersebut, ia sempat tidur di bawah tower dan setiap hari melakukan perjalanan bolak-balik menggunakan mobil dari Pangandaran ke Cipatujah, yang berjarak sekitar 90 kilometer.
Namun, pada hari kedua atau ketiga berada di pinggir pantai, situasi menjadi sangat panik ketika warga berlarian karena adanya tsunami susulan. Hazmirullah pun ikut berlari dalam kepanikan tersebut. Ketika ia kembali ke kantor setelah meliput bencana itu, rekan-rekannya justru menanyakan bukti hotel yang seharusnya dilaporkan. "Mana bukti hotelnya?" tanya mereka. Hazmirullah menjawab dengan nada heran bahwa tidak ada hotel di sana karena semua hancur akibat bencana. Momen ini menciptakan campuran antara sedih, konyol, dan menyeramkan dalam ingatannya.Â
Pengalaman-pengalaman ini tidak hanya menguji keberaniannya sebagai jurnalis tetapi juga selalu menerapkan dan membentuk prinsip-prinsip dasar dalam karirnya. Ia belajar bahwa dalam dunia jurnalistik, keberanian dan integritas adalah kunci untuk menyampaikan informasi yang akurat dan bermanfaat bagi masyarakat. Dengan dedikasi tinggi terhadap profesinya, Hazmirullah terus berkomitmen untuk memberikan laporan yang mendalam dan informatif kepada publik serta berkontribusi dalam perkembangan media di Indonesia.Â
Filosofi Tanpa IdolaÂ
Hazmirullah tidak memiliki sosok idola tertentu karena ia bukan tipe orang yang mengidolakan seseorang secara fanatik. Ia lebih suka melihat kelebihan orang lain dari berbagai sisi, tanpa terikat pada satu sosok saja. Ia bisa menghargai keahlian seseorang dalam bidang tertentu, tetapi tidak sampai terjebak dalam pengagungan yang berlebihan.
 Ketika berbicara tentang musik, selera Hazmirullah pun sangat beragam dan cenderung acak. Ia menikmati berbagai genre, mulai dari dangdut hingga keroncong dan jazz. "Saya bahkan pernah meliput berbagai acara musik, termasuk konser dangdut dan keroncong. Dalam hal ini, saya bisa dibilang sangat 'random.' Terkadang saya suka lagu dangdut yang ceria, di lain waktu saya mungkin lebih memilih keroncong yang melankolis atau jazz yang lebih kompleks," ungkapnya.Â
Hal ini mencerminkan cara Hazmirullah melihat dunia---ia percaya bahwa setiap orang memiliki sesuatu yang unik untuk ditawarkan. Dengan begitu, ia bisa belajar dari banyak orang dan pengalaman tanpa terikat pada satu tokoh tertentu. Kebebasan ini memberinya kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai hal dalam hidup dan karirnya, baik dalam kriminal hingga musik dalam jurnalistik.Â
Karena kerandoman Hazmirullah menggambarkan perjalanan karirnya yang penuh warna dan tantangan, terutama saat ia terjun ke dunia musik dan jurnalisme. "Saya ini orang yang sangat random," ujarnya. Pada tahun 2003, ketika fenomena goyang ngebor oleh Inul muncul dan terjadi konflik dengan Rhoma Irama, kantor membutuhkan tulisan tentang isu tersebut. Tanpa ragu, Hazmirullah mengambil diminta untuk menulis sejarah dangdut dari awal. Karena Ia memiliki kecintaan terhadap sejarah dan cukup paham dan mendalami bagaimana perkembangan musik dangdut di Indonesia.Â
Meskipun desk utamanya adalah kriminal, Hazmirullah sering kali ditugaskan untuk meliput acara musik. Dari konser Linkin Park di Jakarta hingga Anugerah Dangdut TVI dan Java Jazz Festival, ia berusaha memahami berbagai genre musik. "Saya harus paham apa itu swing," katanya, menunjukkan komitmennya untuk tidak terlihat kosong saat meliput. Meskipun pada awalnya ia tidak tahu banyak tentang rock, ia terbiasa melakukan riset sebelum liputan. "Dulu, saya harus membeli kaset dari Duta Suara di daerah Harmoni demi persiapan liputan," kenangnya.Â
Menulis dengan Tanggung Jawab: Pesan Hazmirullah untuk Generasi Muda
Hazmirullah memiliki pesan yang kuat untuk generasi muda yang ingin berkarya di dunia jurnalistik. Ia mendorong mereka untuk tidak ragu untuk mengekspresikan gagasan mereka. "Selalu tuliskan ide-ide yang muncul, karena kuncinya adalah menulis," ujarnya. Ia menekankan bahwa tidak masalah jika tulisan itu terlihat acak; yang terpenting adalah memulai. Menulis, menurutnya, adalah keterampilan yang harus diasah terus-menerus, seperti naik sepeda---"Tidak ada rumus pasti tentang bagaimana cara menulis yang baik. Yang penting adalah latihan."Â
"Awalnya, kita mungkin akan meniru orang lain, tetapi seiring berjalannya waktu dan dengan latihan yang konsisten, kita akan menemukan kenyamanan dalam gaya penulisan kita sendiri." Ujarnya. Hazmirullah juga mengingatkan pentingnya bertanggung jawab terhadap apa yang kita tulis. "Setiap tulisan pasti memiliki latar belakang dan konteksnya masing-masing," katanya. Dengan menulis, kita terbiasa untuk bertanggung jawab atas informasi yang kita sampaikan, dan ini adalah hal yang semakin langka saat ini.Â
Selain itu, era digital saat ini banyak orang hanya berbekal FOMO (fear of missing out) yang membagikan informasi tanpa berpikir panjang. Ketika ditanya mengapa mereka membagikan informasi tersebut, sering kali jawabannya hanya "Oh, kata orang" atau "Eh, saya dapat dari grup sebelah." Hazmirullah menegaskan bahwa itu adalah sikap yang tidak bertanggung jawab dan selalu mengingatkan pentingnya menyaring informasi sebelum membagikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H