Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penyuka seni dan olah raga tetapi belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Penikmat tulisan, foto, dan video

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tantangan OSS

29 Agustus 2018   19:41 Diperbarui: 29 Agustus 2018   19:49 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Online Single Submission (OSS) diluncurkan pada 8 Juli 2018 dalam rangka menyederhanakan proses perizinan berusaha. Disebut pertama kali dalam Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017, aturan pelaksanaan OSS tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018.

OSS adalah sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik dengan seluruh kementerian/lembaga (K/L) negara hingga pemerintah daerah (pemda) di Indonesia. Kebijakan ini diambil pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian nasional melalui pertumbuhan dunia usaha yang selama ini mengeluhkan panjangnya waktu dan rantai birokrasi yang harus dilewati untuk memulai suatu usaha.

Peluncuran OSS bukanlah akhir perjalanan panjang yang penuh tantangan (baca "Perjalanan Panjang OSS"). Selain instrumen tingkat pusat yang persiapannya cukup lama, daerah juga membutuhkan waktu terkait sarana-pra sarana, aturan hukum, dan keberadaan Satuan Tugas (Satgas) untuk mengawalnya sebagaimana yang termaktub dalam Peraturan Presiden No 91 Tahun 2017.

Suara-suara penolakan dan pesimistis sudah terlontar di lembaga-lembaga kementerian dan pemda-pemda. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) yang baru saja berhasil dibentuk secara seragam pada 2017 dengan pergulatan alot untuk pelimpahan wewenang perizinannya, kini "terancam" dirampingkan setelah berjalannya OSS.

Betapa tidak, penerbitan TDP, Angka Pengenal Importir (API), dan akses kepabeanan saja secara otomatis melekat pada NIB yang diperoleh dalam waktu sangat singkat dan mudah dari OSS. Belum lagi izin-izin usaha yang dapat menyusul terbit dengan sendirinya jika semua persyaratan dipenuhi pemohon secara online!

Fungsi-fungsi teknis verifikasi perizinan kembali menguat pada OPD-OPD teknis. Ketika para pelaku usaha baru saja memahami bahwa segala urusan izin merupakan kewajiban DPMPTSP, selanjutnya sebagian besar kewenangan itu justru terlepas DPMPTSP. Hal ini ditengarai akan menimbulkan kebingungan dan lempar-melempar bola panas antara OPD teknis dengan DPMPTSP.

Tantangan lain yang juga mungkin timbul adalah pemalsuan dokumen pemohon dan penyimpangan operasional usaha. OSS akan menerbitkan izin-izin secara otomatis jika OPD dan lembaga terkait tidak memrosesnya hingga batas waktu yang ditentukan. Hal ini bisa bukan tidak mungkin akan memunculkan berbagai kasus kekeliruan atas izin yang terbit disebabkan kelalaian OPD atau lembaga terkait dalam memverifikasi.

Akhirnya banyak kalangan berpendapat bahwa OSS terlalu dipaksakan oleh pemerintah secara terburu-buru. Padahal perjalanan OSS ini sudah berlangsung lama. Dimulai dengan Inpres No. 3 Tahun 2006 kemudian dilanjutkan dengan Perpres No. 27 Tahun 2009.

Reka bentuk OSS sendiri muncul sejak tahun 2016 yang secara hukum dituangkan dalam Perpres No. 91 Tahun 2017. Perpres tersebut mengamanatkan pembangunan OSS untuk diluncurkan pada 1 Maret 2018. Ternyata berbagai kendala menunda peluncuran OSS hingga tanggal 8 Juli 2018.

Fakta ini menjelaskan bahwa penerapan OSS yang ideal sudah memakan waktu dua belas tahun sejak diinstruksikan. Launchingnya sendiri mundur empat bulan dari yang dijadwalkan. "Ketidaksiapan daerah" adalah satu dari beberapa alasan yang dikemukakan.

Ketika PTSP dibentuk secara beragam sejak 2009, OPD-OPD teknis yang kewenangannya dilimpahkan ke PTSP bereaksi negatif sehingga proses pelimpahannya memakan waktu lama. Kini setelah OSS dijalankan, giliran PTSP-PTSP yang terdengar berkeberatan. Kesan yang muncul adalah bahwa daerah seakan tidak pernah siap. Saat pemerintah mengambil alih "beban" pelayanan perizinan itu, perihal otonomi daerah yang kemudian diapungkan.

Keberadaan OSS sebenarnya memaksa pelaku usaha mengikuti aturan main, mulai persyaratan izin hingga kepatuhan pajak dan retribusi. Kemudahan yang diberikan kepada pelaku usaha dibarengi dengan tuntutan taat kewajiban, sehingga pendapatan daerah dipastikan akan meningkat seiring dengan menurunnya kebocoran karena sistem secara otomatis akan menolak entry data yang tidak valid. Berbeda jika diproses oleh manusia.

Sistem yang terpadu akan membangun database yang lebih akurat. Data yang akurat ini sangat penting untuk digunakan pada kajian-kajian dalam rangka penyusunan kebijakan publik. Data yang valid nantinya juga akan mempermudah pelaksanaan pengendalian usaha untuk menekan penyimpangan pelaksanaan di lapangan.

Untuk memastikan bahwa operasional usaha berjalan dengan benar sesuai peraturan, maka beban berat ada pada fungsi pengawasan. Pemerintah harus memperkuat instrumen seperti Satgas dengan payung hukum, dan sarana-pra sarana untuk bisa mendeteksi secara dini setiap penyimpangan yang dilakukan pelaku usaha.

Kekhawatiran bahwa aplikasi elektronik tidak bisa mengakomodir karakteristik daerah yang beragam tentu menjadi bahan evaluasi tersendiri bagi pemerintah. Namun tidak bisa dielakkan bahwa dunia menuntut percepatan dan transparansi birokrasi, dalam hal ini proses perizinan usaha.

Tentunya tak ada gading yang tak retak. Dalam sebuah terobosan dan perubahan, selalu terbuka kemungkinan ditemukannya persoalan baru. Kebijakan publik selalu bersifat dinamis. Untuk itulah diperlukan monitoring dan evaluasi yang dilanjutkan dengan kajian-kajian baru. Hal yang terpenting adalah niat para birokrat untuk tetap bergerak maju, bukan stagnan, menunda, apalagi mundur. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun