Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penyuka seni dan olah raga tetapi belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Penikmat tulisan, foto, dan video

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perjalanan Panjang OSS

29 Agustus 2018   09:24 Diperbarui: 29 Agustus 2018   19:42 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ww.humanresourcessimplified.com

Online Single Submission (OSS) ramai dibicarakan setelah keluarnya Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 pada bulan September 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Usaha. OSS adalah sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik dengan seluruh kementerian atau lembaga (K/L) negara hingga pemerintah daerah (pemda) di Indonesia. 

OSS dimaksudkan untuk memangkas waktu dan birokrasi dalam proses perizinan usaha. Kebijakan ini diambil pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian nasional melalui pertumbuhan dunia usaha yang selama ini mengeluhkan panjangnya waktu dan rantai birokrasi yang harus dilewati untuk memulai suatu usaha.

Sesungguhnya OSS bukanlah barang yang benar-benar baru. Sebelumnya istilah OSS lebih dikenal untuk singkatan One Stop Service (Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Layanan One Stop Service ini sudah diwacanakan pemerintah sejak awal tahun 2000an. 

Berbagai kajian dan seminar sudah diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) lebih-lebih setelah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 yang menginstruksikan kepada dua puluh empat Menteri, Kepala Lembaga Non Departemen dan Bupati atau Walikota untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna meningkatkan iklim investasi yang lebih kondusif. 

Secara ringkas isi instruksi tersebut adalah untuk mempercepat finalisasi Rancangan undang-undang penanaman modal, penyerderhanaan proses perizinan penanaman modal, dan merealisasikan sistem pelayanan terpadu dan membagi kewenangan antara pusat dan daerah.

Pokok pikiran sedari awal memang dalam konteks peningkatan investasi. Pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam PP No. 38 Tahun 2007 itu pun dimaksudkan untuk memperpendek rentang birokrasi, agar tidak semua urusan harus ke Jakarta atau Provinsi. 

Dalam PP 38/2007 memang tidak tertulis bidang pelayanan terpadu sebagai urusan wajib, melainkan hanya bidang penanaman modal. Namun pada tabel pembagian urusan yang terdapat di lampiran PP tersebut jelas disebutkan bahwa pelayanan terpadu merupakan bagian dari urusan bidang penanaman modal. 

Lebih rinci struktur OPD kemudian dituang dalam PP No. 41 Tahun 2007 dengan istilah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang tak lain adalah One Stop Service. 

One Stop Service yang dimaksud dalam konteks ini adalah layanan berbagai perizinan berusaha dan non perizinan untuk kebutuhan masyarakat luas, berbeda dengan One Stop Service yang bersifat khusus seperti yang ada di imigrasi, kepolisian, atau kantor pajak.

Tunggu punya tunggu, penulis yang pada saat itu sudah bertugas di instansi penanaman modal daerah yang memimpikan pelayanan terpadu satu pintu itu segera terlaksana, ternyata harus bersabar untuk waktu yang cukup lama. Peraturan pemerintah tentang struktur OPD itu (PP 41/2007) sulit sekali dilaksanakan oleh pemda-pemda. 

Dua tahun tanpa perkembangan yang signifikan, Presiden SBY mengeluarkan Perpres Nomor 27 Tahun 2009 tentang PTSP dimana poin utamanya adalah bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota harus membentuk perangkat penanaman modal yang menyelenggarakan PTSP. 

Diatur pula bahwa untuk pelayanan perizinan usaha wajib menggunakan aplikasi elektronik dalam jaringan yang dinamai SPIPISE (Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik) yang tanggung jawabnya diserahkan kepada BKPM, sementara perizinan usaha lainnya masih tersebar di berbagai lembaga kementerian/non kementerian yang turunannya ke berbagai OPD.

Perpres 27/2009 yang telah dinanti-nanti selama dua tahun itu ternyata kalah cepat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 yang terbit sembilan bulan sebelumnya. Permendagri 20/2008 malah menginstruksikan daerah untuk membentuk instansi baru dengan nomenklatur Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) dalam rangka melayani perizinan dan non perizinan. 

Terjadilah dualisme perangkat pelayanan perizinan hampir di seluruh daerah di Indonesia. Satu instansi dibentuk khusus untuk melayani izin penanaman modal yang terintegrasi dengan BKPM melalui SPIPISE dan satu instansi lagi untuk izin dan non izin lainnya yang menggunakan aplikasi elektronik yang dikembangkan sendiri tanpa terintegrasi dengan pusat meski ada sedikit daerah yang sudah bertindak benar dengan menyatukannya. Penantian penulis dan para insan pelayanan penanaman modal di seluruh Indonesia pun masih harus berlanjut.

Baru pada September 2014, di penghujung masa jabatannya, Presiden SBY sekali lagi mengeluarkan Perpres yaitu Nomor 97 Tahun 2014 yang isinya kembali memerintahkan pembentukan PTSP yang seragam untuk seluruh daerah di Indonesia dengan nama Badan Penanaman Modal dan PTSP (BPMPTSP). 

BPMPTSP ini pun tetap harus menggunakan SPIPISE dalam pelayanannnya. Presiden Joko Widodo yang menjadi suksesor kemudian bergerak cepat dengan me-launching PTSP (One Stop Service) untuk seluruh perizinan di tingkat pusat yang dikelola oleh BKPM pada awal tahun 2015. Sementara Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dikeluarkan untuk kembali memerintahkan penyelenggaraan BPMPTSP di tingkat daerah yang kali ini dibarengi dengan ancaman pencabutan Dana Alokasi Umum (DAU). 

Nomenklatur BPMPTSP akhirnya direvisi menjadi DPMPTSP melalui PP Nomor 18 Tahun 2016 dan Permendagri Nomor 100 Tahun 2016. Akhirnya mulai tahun 2017 DPMPTSP di berbagai daerah terbentuk melayani hampir semua perizinan meski jumlah dan efektivitasnya berbeda-beda tiap daerah. 

Pada bulan April 2018, Direktur Jenderal Bina Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa sebanyak 377 daerah dari 548 daerah (68,79%) telah menggunakan teknologi informasi dalam penyelenggaraan perizinan dan non perizinan melalui DPMPTSP.

Evalusasi One Stop Service

Mengevaluasi sistem One Stop Service yang sudah berjalan, pemerintah rupanya ingin menerapkan layanan yang lebih ringkas lagi dengan istilah OSS yang baru yaitu One Single Submission yang mulai dijalankan pada akhir bulan Mei 2018 untuk tingkat pusat.

Aplikasi OSS yang baru ini nantinya harus digunakan oleh seluruh PTSP daerah sehingga benar-benar terintegrasi dalam jaringan. Pada pelaksanaan One Stop Service selama ini, SPIPISE hanya bisa digunakan untuk pendaftaran dan izin usaha penanaman modal namun tidak untuk izin usaha lain, semisal Izin Usaha Perdagangan (IUP) atau Izin Usaha Industri (IUI) yang diproses dengan aplikasi berbeda yang dikembangkan oleh masing-masing daerah. 

Tahun 2013 Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) juga sudah membangun Aplikasi Cerdas Layanan Perizinan Terpadu untuk Publik---yang disingkat Si CANTIK---untuk digunakan oleh daerah yang belum memiliki aplikasi perizinan elektronik. Faktanya banyak daerah yang membangun sistem elektronik sendiri. Kondisi ini tentunya jauh dari hakikat "One Stop" yang terintegrasi. 

Oleh karena itu, OSS dimaksudkan sebagai pintu masuk utama untuk para pelaku usaha dan terintegrasi dengan layanan terkait di kementerian dan daerah. Jelas sistem ini akan memberikan kemudahan kepada masyarakat dengan memangkas waktu dan energi pengurusan izin secara signifikan di samping mengurangi celah-celah praktik korupsi dan pungutan liar (pungli). (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun