Mengingat data bahwa 1 dari 5 anak kesulitan pangan, maka program makan siang ini ditujukan pada 25% murid yang menghadapi tantangan sosio-ekonomi. Ada banyak faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan partisipasi sekolah dalam program tersebut. Pertimbangan utamanya mengacu pada Indeks Ekuitas.
Indeks Ekuitas (EQI) adalah model statistik yang digunakan untuk mengidentifikasi hambatan sosio-ekonomi murid di sekolah. Indeks ini digunakan dalam menentukan tingkat bantuan operasional, tambahan keuangan, termasuk program makan siang ini.
EQI memperkirakan sejauh mana siswa menghadapi hambatan sosio-ekonomi yang dapat berdampak pada prestasi mereka di sekolah. Sekolah dengan angka EQI yang lebih tinggi menghadapi tantangan sosio-ekonomi yang lebih besar dibandingkan sekolah lain. Dengan demikian, distribusi makan siang tidak sama untuk semua daerah di New Zealand.
Distribusi
Sekolah diberi kebebasan untuk melakukan swakelola atau menggunakan penyedia lain dalam mengadakan makan siang tersebut. Jika menggunakan penyedia, penunjukkannya dilakukan melalui sistem pengadaan barang jasa elektronik, seperti LPSE atau e-catalog yang digunakan di Indonesia.
Berhubung New Zealand merupakan negara kecil, operasional program ini langsung ditangani oleh Kementerian Pendidikan. Sekolah pun tidak terbebani dengan proses kontrak dan pembayaran namun punya keleluasaan untuk memilih menu, menambah dan menentukan waktu pengantaran.
Pembiayaan
Uniknya, biaya per makanan yang ditetapkan berbeda-beda menurut kelas murid. Porsi makan anak yang lebih tua diasumsikan lebih banyak dibanding anak yang usianya lebih muda sehingga biayanya sedikit lebih mahal.
Harga yang dibayarkan pemerintah jika sekolah melakukan swakelola juga sedikit di bawah harga jika disediakan oleh pihak ketiga. Pada anggaran tahun 2024, biaya makanan per anak ditetapkan antara 5,78 hingga 8,29 dolar atau sekitar 55 hingga 79 ribu rupiah.
Pemerintah New Zealand juga menghitung biaya tenaga kerja yang menyiapkan makanan. Tenaga kerja tersebut dibayar minimal 26 dolar per jam, atau sekitar 250 ribu rupiah. Total anggaran tahun 2024 untuk program sekitar 325 juta dolar atau senilai lebih dari 3 triliun rupiah.
Dampak
Setelah berjalan selama tiga tahun, program ini diapresiasi berbagai pihak, terutama pihak sekolah dan akademisi. Seorang kepala sekolah di Auckland, Arihia Stirling, mengatakan di televisi bahwa program ini membuat anak-anak lebih fokus dan jumlah siswa yang harus bekerja untuk membantu membiayai kebutuhan pokok keluarga telah menurun.
Penelitian di Auckland University juga menunjukkan bukti manfaat pelaksanaan program ini. Kelly Garton dkk., yang melakukan penelitan itu mengatakan bahwa program Ka Ora, Ka Ako lebih dari sekedar mengisi perut anak-anak yang lapar.
Mereka menunjukkan bukti bahwa program itu menawarkan banyak hal bagi murid, sekolah, komunitas, dan sistem pangan secara lebih luas. Dampak di berbagai tingkat ini kemudian bergulir dan mempengaruhi satu sama lain, seperti meningkatkan ekonomi lokal dan lingkungan sekolah.