Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Air Tersedia Gratis di Alam tetapi Sulit Mengelolanya?

22 November 2023   01:47 Diperbarui: 22 November 2023   15:37 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waduk penampungan dan pengambilan air Kaitoke Regional Park, New Zealand (Dokumentasi Pribadi)

Air adalah kebutuhan dasar manusia untuk hidup karena memiliki banyak fungsi. Air melarutkan berbagai gizi dan mengalirkannya ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Air juga berfungsi untuk menjaga suhu tubuh, kelembaban, melubrikasi sendi, melancarkan metabolisme, dan menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh.

Air menempati porsi 50-60 persen dalam tubuh manusia, itu sebabnya air perlu selalu dikonsumsi. Praktisi medis sepakat bahwa air sebaiknya dikonsumsi sekitar enam hingga delapan gelas sehari, tergantung aktivitas seseorang.

Hampir sama dengan oksigen, air adalah kebutuhan dasar setiap mahluk untuk tetap hidup. Bedanya, oksigen tersedia secara otomatis di udara sementara air harus ditemukan untuk diminum. 

Sejak awal peradaban, manusia mencari air di sungai, danau, mata air, atau menampung embun dan hujan. Air kemudian disimpan dalam wadah untuk dapat diminum sewaktu-waktu.

Demikianlah air sudah tersedia di alam yang pada hakikatnya disediakan Tuhan secara gratis. Keajaiban alam memproduksinya terus-menerus untuk menunjang kehidupan manusia di planet bumi. Namun peradaban bergerak ke masa dimana air bersih menjadi sulit ditemukan sehingga dikembangkanlah teknologi untuk mengolah air agar baik untuk dikonsumsi.

Memang tidak semua wilayah di muka bumi memiliki ketersediaan air yang cukup dan dengan kondisi baik. Menurut situs GlobalCitizen, negara-negara di Timur Tengah dan Afrika cenderung minim bahkan tidak memiliki sumber air terbarukan, seperti Bahrain, Kuwait, dan Maladewa.

Tetapi negara-negara di Amerika, Eropa, dan Asia memiliki sumber air bersih yang terbarukan. Negara yang paling banyak sumber air bersih terbarukan adalah Brasil. Rusia dan Kanada di tempat kedua dan ketiga. Dimana posisi Indonesia? Keempat! Situs WorldAtlas mencantumkan 8,233 kilometer kubik air tawar terbaharui ada di Brasil dan 2,019 kilometer kubik ada di Indonesia.

Kita seyogyanya tidak terkejut. Alam Indonesia dialiri air dimana-mana. Dari gunung hingga ke laut, air sungai mengalir jauh. Tentu saja ada beberapa wilayah di Indonesia yang kesulitan air bersih karena faktor musim dan infrastruktur, tetapi secara keseluruhan nusantara cukup berlimpah air tawar.

Ironisnya, penduduk di kota-kota besar malah bergantung pada air olahan atau air minum dalam kemasan (AMDK). Fenomena yang sama terjadi juga di banyak negara lain.

Air minum dalam kemasan

Sebuah artikel di WorldAtlas pada tahun 2017 menunjuk Republik Rakyat Tiongkok sebagai konsumen AMDK terbesar di dunia, yaitu mengkonsumsi 10,42 miliar galon. 

Amerika Serikat ada di urutan kedua dengan 10,13 miliar galon dan Brasil di urutan kelima dengan 4,8 miliar galon. Indonesia sendiri berada di urutan keempat dengan konsumsi 4,82 miliar galon!

Jumlah itu ternyata dikonsumsi nyaris separuh penduduk Indonesia, tepatnya 40,6% (DataBoks, Maret 2023). AMDK menjadi pilihan air minum tertinggi di Indonesia, melewati sumber lain seperti ledeng, sumur pompa, atau mata air.

Bisnis AMDK memang meningkat tajam dalam sepuluh tahun terakhir. Pertumbuhan produksi AMDK diperkirakan sebesar 5-7 persen atau lebih dari 30 miliar liter per tahun. Bisnis AMDK besar tentu dikuasai oleh konglomerat Indonesia dan perusahaan asing.

Mengapa bisnis AMDK meningkat tajam di daerah yang berlimpah air bersih terbarukan? 

Pada umumnya alasan masyarakat memilih AMDK karena alasan kebersihan dan kualitasnya. Ada keyakinan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat bahwa AMDK lebih aman untuk dikonsumsi. Entah itu akibat iklan atau bukti empiris.

Klaim AMDK lebih bersih dan berkualitas sebenarnya masih menjadi perbebatan para ahli. Sebagian produk AMDK mungkin benar dalam kondisi bersih namun sebagian lain tidak, apalagi jika mengikutkan air isi ulang yang diproduksi para pelaku usaha kecil.

Kalau pun kualitas AMDK itu sangat baik, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: jika swasta bisa mengolah air sedemikian baik untuk diminum, mengapa pemerintah tidak bisa? 

Pihak swasta membebankan biaya pengambilan hingga pemrosesan air minum kepada konsumen. Bukankah pemerintah bisa mengambil biaya yang sama, atau lebih rendah, melalui pajak dan retribusi?

Meski pada hakikatnya air disediakan Tuhan secara gratis, tampaknya kita mengalami kesulitan untuk mengelolanya. Untuk itu, praktik pengelolaan air minum di New Zealand mungkin bisa menjadi pembanding atau sebagai inspirasi atau setidaknya menyederhanakan cara berpikir kita.

Prinsip ketersediaan air

Pemerintah New Zealand sepertinya mempertahankan prinsip ketersediaan air di alam sehingga mereka menyediakan keran-keran air siap minum di berbagai tempat secara gratis. Anda dengan mudah menemukan keran air minum di taman, kampus, terminal dan ruang-ruang publik lainnya. Jika air di keran tidak layak diminum, tulisan peringatan pasti terpampang dengan jelas.

Jaringan air siap minum dialirkan ke rumah-rumah penduduk secara gratis. Jaringan yang serupa dengan air ledeng di Indonesia. 

Sebagai sampel, Pemerintah Daerah Greater Wellington, menyuplai 140 juta liter air minum kepada warganya setiap hari. Jika dibagikan jumlah penduduk, maka setiap orang disediakan sekitar 358 liter air dalam sehari, entah untuk minum ataupun keperluan lain seperti mencuci.

Bagi warga, tersedianya air siap minum yang gratis menjadi salah satu faktor yang meringankan beban hidup. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika tinggal di sana. Padahal sebenarnya saya tetap membayar air itu tetapi melalui pajak penghasilan tetapi rasanya lebih menyenangkan karena terkesan gratis.

Air benar-benar dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat

Kebersihan dan kualitas air

Standar kualitas air minum di New Zealand diatur secara nasional dalam Amandemen Undang-Undang Kesehatan (Air Minum) 2007, sementara standar penanganan sumber air minum diatur dalam Undang-Undang Manajemen Sumber Daya 1991.

Standar Air Minum New Zealand dipantau oleh Kementerian Kesehatan. Pasokan air minum diuji secara teratur untuk mengetahui kandungan bakteri, protozoa, dan kontaminan kimia untuk memastikan keamanannya.

Pengambilan dan pengolahan air minum dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menjaga kebersihan dan kualitasnya. Program pengendalian hama dan hewan dilakukan secara aktif guna menjaga kesehatan air. Lokasi pengambilan air pun steril alias tertutup untuk umum.

Waduk penampungan dan pengambilan air Kaitoke Regional Park, New Zealand (Dokumentasi Pribadi)
Waduk penampungan dan pengambilan air Kaitoke Regional Park, New Zealand (Dokumentasi Pribadi)

Sebagai contoh, jalan sudah ditutup untuk umum menjelang dua kilometer dari lokasi pengambilan air di Sungai Wainuiomata di daerah Wellington. Meski demikian, warga masih bisa berjalan kaki untuk menikmati alam, termasuk menyusuri sungai, tetapi tidak dimasuki kendaraan bermesin.

Mobil petugas yang masuk ke lokasi pun harus dibersihkan dengan semprotan. Sumber resmi pemerintah menyebutkan bahwa kebijakan itu diterapkan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hama atau penyakit tumbuhan yang menempel di mobil.

Di samping melindungi sumber air dari kontaminasi, area yang steril itu pada saat yang sama memberi ruang tinggal yang kondusif bagi flora dan fauna untuk menjaga kelestariannya. Suasana yang asri dengan kelestarian hewan dan tumbuhan kemudian menjadi tempat aktivitas rekreasi yang menyenangkan. Begitulah semua aspek saling mendukung dan menguntungkan satu dengan yang lain.

Prinsip yang dipedomani mereka adalah: "memaksimalkan kualitas sumber air untuk meminimalkan pengolahan air.

Semakin banyak pengolahan yang dilakukan dengan keterlibatan teknologi, termasuk zat kimia, tentu semakin tidak baik untuk kesehatan tubuh disamping memakan biaya lebih besar.

Oleh karena itu, kebersihan air dijaga sejak awal agar tidak memerlukan terlalu banyak pengolahan di akhir. Logika yang sederhana sebenarnya.

Ketahanan menghadapi bencana

Hal lain yang menarik adalah antisipasi bencana berikut sosialiasi panduan bagi warga. Saat piknik ke sebuah taman, saya melihat sebuah Stasiun Air Komunitas atau Air Darurat. Poster panduan berbentuk infografis dipajang di sana.

Stasiun Air Komunitas atau Air Darurat adalah cadangan air yang dibangun rata-rata di setiap radius 1-2 kilometer di pemukiman penduduk. Sebagian stasiun menggunakan sumur dan sebagian lagi mengambil air sungai.

Stasiun ini disiapkan sebagai cadangan untuk menyuplai air kepada warga jika terjadi keadaan darurat. Poster besar terpajang, berisi hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dan dilakukan warga saat terjadi bencana.

Misalnya jika terjadi gempa, warga diperingatkan untuk menyimpan air sekitar 20 liter per orang per hari, setidaknya untuk tujuh hari pertama. Selanjutnya di hari kedelapan, Stasiun Air Komunitas akan mulai menyuplai warga.

Mengingat sumber air tawar yang melimpah di sebagian besar wilayah Indonesia, rasanya metode dan strategi pengelolaan air minum seperti New Zealand bisa dilakukan. Setidaknya untuk beberapa kota yang masih mudah untuk ditata. Butuh waktu, pasti. Keseriusan adalah kunci. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun