Harga jual BBM bersubsidi di Indonesia sudah naik pada 3 September 2022. Namun berminggu-minggu sebelumnya, wacana pembatasan BBM berdasarkan besar mesin kendaraan telah bergulir di publik.Â
Dasar pertimbangan Pemerintah adalah bahwa beban APBN untuk subsidi BBM membengkak akibat kenaikan tajam harga minyak dunia. Besar APBN yang disiapkan untuk subsidi BBM selama tahun 2022 sebenarnya 152,5 triliun namun hingga bulan Agustus 2022 telah mencapai 502,4 triliun. Angka ini masih akan terus bertambah jika harga jual BBM bersubsidi tidak dinaikkan.
Pemerintah kemudian berencana untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi berdasarkan besar kapasitas mesin. Misalnya, mobil berbahan bakar bensin di atas 1500 CC tidak diperkenankan mengonsumsi Pertalite, jenis BBM yang disubsidi negara.
Kebijakan pembatasan ini dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi Pertalite sehingga beban subsidi negara tidak terus bertambah. Pemerintah mengklaim, 70 persen subsidi di BBM selama ini dinikmati oleh golongan orang mampu secara finansial (Farisa, 2022).
Wacana kebijakan ini tentu menuai pro-kontra. Pengguna mobil merasa was-was. Bila tak boleh mengonsumsi Pertalite, maka biaya yang akan mereka keluarkan melonjak drastis sebab harga Pertamax hampir dua kali harga lama Pertalite, pun masih satu setengah kali harga baru.
Memang Pemerintah belum mengeluarkan uraian teknis penerapan kebijakan tersebut. Namun sekedar untuk menambah alas pikir, kebijakan ini bisa diuji dengan model logika (logic model) yang lazim digunakan dalam ilmu kebijakan publik.
Kebijakan publik
Kebijakan publik adalah segala keputusan yang diambil pemerintah yang berdampak pada masyarakat (publik). Kebijakan publik bukan hanya ketika membuat suatu program atau perubahan, tidak membuat perubahan pun merupakan sebuah keputusan dan itu adalah kebijakan.
Idealnya, sebuah kebijakan diambil berdasarkan kajian. Pemerintah tentu punya alasan ketika membuat sebuah keputusan. Semakin faktual dan ilmiah alasan tersebut maka semakin baiklah keputusan yang diambil karena peluang kegagalannya, diharapkan, semakin kecil.
Pada hakikatnya, sebuah kebijakan publik dibuat untuk menyelesaikan permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Ahli kebijakan publik, Lassance Antonio (2010) mengatakan bahwa kebijakan publik adalah proposal yang dilembagakan untuk memecahkan masalah yang relevan dan dunia nyata, dipandu oleh sebuah konsepsi.
Proses pemecahan masalah dengan kebijakan publik itu bisa digambarkan dengan diagram logika (logic model). Pada diagram tersebut, terlihat perjalanan hasil (outcome) hingga dampak (impact) yang terjadi. Dengan demikian, keberhasilannya bisa diproyeksikan dan potensi kegagalannya bisa diidentifikasi sebelum kebijakan tersebut diterapkan.
Proyeksi kebijakan
Secara sederhana, sebuah kebijakan dapat diproyeksikan dengan model logika OUTPUT-OUTCOME-IMPACT.Â
OUTPUT adalah kebijakan yang diterapkan, OUTCOME adalah hasil yang terjadi setelah kebijakan diterapkan, dan IMPACT adalah dampak akhir yang terjadi.
Pada kebijakan BBM bersubsidi ini, IMPACT-nya adalah berkurangnya beban APBN untuk subsidi sementara GOAL yang sebenarnya ada dua: subsidi yang tepat sasaran dan kestabilan ekonomi, sosial, dan politik.
Dana dari pengurangan subsidi BBM diarahkan langsung ke orang yang kurang mampu. Pada akhirnya, kestabilan ekonomi, sosial, dan politik diharapkan dapat terwujud.
Namun sering kali OUTCOME yang terjadi pada penerapan sebuah kebijakan publik, lebih dari satu. Pada contoh kasus kebijakan pembatasan BBM berdasarkan besar mesin kendaraan ini, OUTCOME yang terjadi bukan hanya berkurangnya konsumsi Pertalite. Ada peristiwa lain yang juga terjadi. Salah satunya adalah tekanan pada sebagian masyarakat yang tidak mampu mengonsumsi Pertamax untuk operasional mereka sehari-hari.
Ketidakmampuan mengonsumsi Pertamax ini akan mendorong inflasi dan menciptakan efek psikologis yang buruk. Inflasi meningkat karena pelaku ekonomi menaikkan harga untuk menyesuaikan naiknya biaya produksi yang dipengaruhi oleh harga BBM. Efek psikologis kemudian bisa berdampak (IMPACT) pada aspek sosial dan politik.
Dampak sosial misalnya kenyamanan yang menurun karena harus menggunakan angkutan umum yang tidak representatif dan akomodatif. Beda halnya dengan kondisi transportasi umum di negara maju yang sudah disiapkan kenyamanannya sejak lama.
Anak-anak yang harus berpisah dengan orang tuanya karena kendaraan umum yang berbeda. Belum lagi memperhitungkan faktor kriminalitas terhadap si anak. Tekanan sosial ini kemudian berdampak pula pada keamanan dan aspek politik jika protes membesar dan meluas. Peluang penyimpangan pembelian Pertalite pun terbuka lebar karena orang yang terdesak secara finansial akan berpotensi melakukan kecurangan.
OUTCOME yang lain, orang yang mampu menyesuaikan mobilnya agar boleh mengonsumsi Pertalite. Fenomena yang sama ketika orang menyiapkan dua mobil, masing-masing berplat ganjil dan genap, supaya tetap bisa membawa mobil setiap hari ke wilayah pembatasan kendaraan.
Jika demikian, pada akhirnya, tujuan untuk menggeser subsidi agar tepat sasaran dan menciptakan kestabilan ekonomi, sosial, dan politik, diperkirakan tidak tercapai. Berikut diagram alur logikanya:
Titik masalah kebijakan
Dari model logika pada Diagram 2, dapat dilihat titik permasalahan kebijakan, yakni pada IMMEDIATE OUTCOME 2, INTERMEDIATE OUTCOME 2, dan ULTIMATE OUTCOME 3. Mengapa hal itu terjadi? Karena sejumlah masyarakat yang memiliki kendaraan diatas 1500CC ternyata tidak mampu membeli Pertamax. Kemudian, transportasi umum belum mampu memberikan kenyamanan, layanan rute, bahkan kapasitas untuk menampung penumpang yang beralih dari mobil pribadi.
Di tempat lain, orang yang tergolong mampu tetap mengonsumsi Pertalite karena dengan mudahnya memiliki mobil 1500CC ke bawah yang harganya juga tidak murah. Padahal rata-rata mobil hemat bahan bakar dan produksi tahun tinggi dilarang pabrikan untuk diisi Pertalite.
Ada penggunaan asumsi yang kurang tepat dalam pembuatan kebijakan ini. Asumsi bahwa pengguna kendaraan diatas 1500 CC merupakan orang yang berpenghasilan cukup sehingga mampu mengonsumsi Pertamax.
Faktanya, banyak orang yang membeli mobil berkapasitas diatas 1500 CC justru karena keterbatasan kemampuan finansial. Harga mobil ber-CC besar dengan usia di atas sepuluh tahun, pada umumnya, jauh lebih murah dibanding mobil ber-CC kecil dengan tahun yang lebih tinggi.
Contoh mobil 2000 CC seperti Honda CRV tahun 2005, Toyota Kijang tahun 2000, atau Ford Escape tahun 2005, harga pasarannya sekitar 60-70 juta rupiah. Sementara mobil 1500 CC seperti Avanza Veloz 2021, Mistubishi Expander 2021, dan Hyundai Stargazer 2022, harganya diantara 230-300 juta rupiah. Bahkan mobil 1000 CC seperti Toyota Raize pun berharga di atas 200 juta rupiah.
Artinya, banyak pemilik kendaraan 1500 CC kebawah yang merupakan orang mampu yang seharusnya mengonsumsi Pertamax. Sebaliknya, banyak orang yang kurang mampu terpaksa menggunakan mobil 2000 CC tetapi harus pula mengonsumsi Pertamax padahal konsumsi mobil 2000 CC justru lebih boros.
Dalam kondisi seperti ini, kriteria fairness (rasa keadilan) di masyarakat justru tidak terwujud. Sebab sangat mungkin terjadi dimana orang yang mampu justru membeli BBM bersubsidi sementara mobilnya hemat pula. Sebaliknya, besar kemungkinan orang yang tidak mampu diharuskan membeli BBM Nonsubsidi sementara mobilnya boros. Padahal, fairness adalah salah satu kriteria penting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan sebuah kebijakan publik.
Kesimpulan
Kebijakan pemerintah untuk mengurangi beban subsidi BBM sudah tepat, mengingat harga minyak dunia yang terus naik. Bila tidak, beban APBN akan terus membengkak padahal subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh orang mampu.Â
Namun membatasi penggunaannya dengan pelarangan berdasarkan besar mesin mobil pada akhirnya tidak tepat sasaran karena besar mesin mobil tidak berkorelasi dengan tingkat kemampuan finansial pemiliknya.
Perlu dilakukan analisa lebih lanjut menggunakan theory of change, dimana dilakukan intervensi kebijakan lanjutan agar perubahan hasil (Outcome) yang terjadi tetap mencapai tujuan akhir. Namun jika perubahan Outcome tidak bisa diintervensi sehingga tujuan diperkirakan tidak tercapai, maka Output harus dibatalkan. Output dalam contoh kasus ini adalah kebijakan pembatasan BBM berdasarkan kapasitas mesin kendaraan.
Ada beberapa kebijakan alternatif untuk mengurangi beban subsidi BBM yang salah sasaran yang dapat dikaji lebih lanjut.Â
Pertama, menaikkan harga jual BBM bersubsidi secara bertahap sambil meningkatkan kapasitas dan kenyamanan transportasi umum dan mempercepat peralihan ke kendaraan listrik.Â
Kedua, melarang mobil bersubsidi atau yang hemat BBM untuk mengonsumsi BBM bersubsidi.Â
Ketiga, memberikan subsidi langsung kepada orang yang kurang mampu.Â
Referensi:
Antonio, L. (2020, November 26) What is a policy and what is a government program? A simple question with no clear answer, until now. Rochester, NY.
Farisa, F. C. (2022, September 3). Harga BBM Naik, Jokowi: 70 persen subsidi justru dinikmati kelompok mampu pemilik mobil. Kompas.Â
Montano, P. (2016). A start to developing a logic model.Â
What is theory of change? (n.d.) Theoryofchange.org.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H