Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Covid-19 Indonesia: Sekarang Fase Memperkecil Dampak, Bukan Lagi Pencegahan

6 Juli 2021   15:35 Diperbarui: 15 Agustus 2021   07:20 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurva kasus baru Covid-19 di Indonesia menanjak tajam sejak Juni 2021. Data dari John Hopkins Whiting School of Engineering (CSSGISandData) menunjukkan angka 24.836 kasus hanya pada tanggal 3 Juli 2021.

Total kasus menurut Komite Penangangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Indonesia ada sebanyak 2.284.084 orang (data diakses pada 5 Juli 2021). Situs Worldometer pun menempatkan Indonesia di urutan ke-16 sebagai negara dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak di dunia.

Pemerintah kemudian memberlakukan PPKM di pulau Jawa dan Bali terhitung sejak 3 Juli 2021 dan menyusul PPKM mikro di berbagai daerah. Kasus baru memang melonjak selama Juni, khususnya di Jawa. Rumah sakit penuh, tenda-tenda darurat pun harus dibangun untuk menampung pasien. Peralatan, obat, dan oksigen serba terbatas. Tenaga kesehatan sudah kewalahan.

Kita mulai ribut lagi. Sebagian menyalahkan pemerintah karena tidak menerapkan lockdown sejak lama, sebagian lagi menuduh masyarakat yang tidak taat protokol kesehatan dan vaksinasi jadi penyebab. Pertanyaan besarnya adalah kebijakan apa yang harus diambil pemerintah ke depannya?

Kurva kasus baru COVID-19 di Indonesia|JHU CSSE COVID-19
Kurva kasus baru COVID-19 di Indonesia|JHU CSSE COVID-19

Fase pencegahan

Penulis berada di New Zealand saat pandemi COVID-19 merebak di tahun 2020. Karena mengalami langsung keberhasilan mereka menekan kasus, penulis pun mempublikasi poin-poin yang bisa dipelajari dari cara New Zealand menghadapi COVID-19 pada Mei 2020.

(Tautan artikel: Mengapa Selandia Baru Berhasil Menekan Kasus Covid-19?)

Ternyata cara-cara yang dilakukan New Zealand itu sulit diterapkan di Indonesia. Penduduk kita lima puluh kali lipat lebih banyak dan luas negara kita tujuh kali luasnya New Zealand.

Para ahli internasional kemudian mempelajari kebijakan di berbagai negara yang dianggap berhasil menekan kasus COVID-19.  Tujuh langkah kemudian disimpulkan sebagai kunci keberhasilan menghadapi pandemi. 

Ketujuh langkah itu adalah jaga jarak, pelacakan riwayat kontak, tes, kapasitas rumah sakit, ketersediaan ADP (Alat Pelindung Diri), pesan yang jelas, dan tindakan cepat. Penulis juga telah mempublikasikan ini pada bulan Oktober 2020.

(Tautan artikel: Mengapa Kurva Covid-19 Indonesia Masih "Naik-naik ke Puncak Gunung"?)

Sayangnya, setahun berlalu, Indonesia tak bisa menerapkan ketujuh langkah tersebut dengan maksimal. Karakter demografi dan geografi kita menjadi tantangan yang berat. 

Masyarakat tetap beraktivitas karena harus memutar perekonomian untuk menyambung hidup. Adat-istiadat harus tetap jalan, sehingga sulit menjaga jarak. Persepsi yang berbeda terhadap vaksin dan tes PCR menjadi faktor disrupsi lain. 

Pada saat yang sama, pelaksanaan tes dan pemberian vaksin kesulitan mengejar jumlah penduduk. Kapasitas rumah sakit tidak dikembangkan secara drastis. Berharap virus dapat ditahan sehingga fasilitas dan tenaga kesehatan mencukupi. 

Memang di Jakarta ada tambahan fasilitas seperti Wisma Atlet, namun tidak terjadi di daerah-daerah lain. Jeritan pasien kerap terdengar karena tidak mendapat ruangan dan perawatan dengan alasan rumah sakit penuh.

Sebagai upaya menekan pertambahan kasus, pemerintah kemudian melarang mudik lebaran dan menerapkan isolasi daerah semodel PSBB dan PPKM. Medan misalnya, mengisolasi lingkungan-lingkungan yang warganya banyak terpapar selama enam hari. Apa daya, selepas lebaran, tepatnya akhir Mei 2021, kasus baru mulai meningkat dan terus menanjak. Kita mulai panik.

Gagalkah kebijakan larangan mudik itu? Tak berdampakkah PSBB, PPKM, dan model-model isolasi lainnya? Sia-siakah teriakan kampanye 3M dan 5M dimana-mana? 

Fakta mengatakan, iya. Statistik tidak bisa bohong. Bahkan angka kasus yang sebenarnya pun diperkirakan melebihi angka yang ada di statisik. Lalu kita bisa apa?

Apakah lockdown efektif?

Tujuh langkah tepat untuk menghadapi Covid-19 yang diklaim para ahli di atas tidak mengikutkan kebijakan lockdown, mengapa? Kebijakan lockdown memiliki potensi bahaya terhadap ekonomi yang berujung pada kesejahteraan penduduk.

India telah mengalami dampak buruk lockdown yang tergesa-gesa tanpa perhitungan matang. New Zealand berani melakukan lockdown karena mampu mengganti 80 persen penghasilan warganya yang cuma lima juta orang, plus struktur ekonomi non formal mereka yang kecil.

Pun demikian, New Zealand tidak lantas steril dari virus Sars-CoV-2. Transmisi tetap terjadi berkali-kali setelahnya dan lockdown dilakukan berulang. Satu-satunya kunci New Zealand bisa menahan kasus di angka yang sangat kecil adalah penutupan pintu masuk internasional. Dampaknya, pariwisata ambruk. Resesi terburuk dalam beberapa dekade terjadi dengan PDB menyusut hingga 12,2 persen.

Peneliti dari Aarhus University Denmark, Christian Bjornskov, tidak menemukan korelasi antara pemberlakuan lockdown di negara-negara Eropa terhadap penurunan kematian akibat Covid-19. Penelitian itu dilakukan pada 24 negara Eropa di pertengahan tahun 2020.

Lockdown bukan aspirin, kata peneliti Vinay Prasad. Menurutnya, lockdown bisa menimbulkan permasalahan yang kompleks tergantung kondisi daerah. Lagi pula, lockdown hanya berdampak pada daerah yang jumlah kasusnya sedikit dan kepadatan penduduk yang rendah.

Mengingat kondisi demografi Indonesia, sulit rasanya memberlakukan lockdown atau pun sejenisnya, tanpa mengorbankan masyarakat ekonomi lemah lalu memicu kekacauan. Pekerja sektor informal kita lebih banyak dari sektor formal. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut ada 78,14 juta pekerja informal pada Februari 2021.

Masih banyak masyarakat kita yang mencari makan dengan pendapatan hari itu juga. Negara jelas tidak mampu mengganti pendapatan penduduk yang hilang. Lockdown berarti tidak makan. 

Belum lagi jika menghitung pelanggaran-pelanggaran pada masyarakat kita yang sulit dikendalikan, seperti yang terjadi selama ini. Dengan demikian, lockdown atau pun sejenisnya, diprediksi tidak akan signifikan menekan kasus baru.

Fase memperkecil dampak

Dalam manajemen gawat darurat, langkah-langkah yang disarankan para ahli di atas bisa digolongkan pada fase pencegahan, dalam hal ini terhadap ancaman tsunami Covid-19. 

Jika menggunakan analogi bencana banjir, upaya-upaya ideal untuk pencegahan memang bisa dilakukan dengan reboisasi di daerah hulu, mengubah aturan perlindungan hutan, normalisasi atau naturalisasi sungai, sembari menggiatkan kampanye dan pengawasan terhadap pembalakan liar dan pembuangan sampah sembarangan.

Tetapi upaya-upaya tersebut butuh waktu yang tidak sebentar. Jika musim hujan terlanjur tiba dan upaya-upaya tersebut tidak berjalan maksimal sesuai rencana, apa yang terjadi? Air akan langsung diteruskan ke hilir.

Kota yang terletak di hilir tidak punya pilihan selain menerima banjir kiriman tersebut. Fase pencegahan sudah lewat, saatnya fase memperkecil dampak. Konsentrasi bisa dialihkan pada penyiapan waduk-waduk untuk menampung air atau codetan-codetan untuk mengatur aliran air.

Pompa-pompa diperbanyak untuk mengeluarkan air dari cekungan. Bahan kebutuhan pokok disiapkan bagi warga yang kehilangan nafkah. Petugas dan peralatan pun disiagakan untuk mengevakuasi warga yang terjebak dan selanjutnya untuk proses pemulihan pascabanjir.

Begitulah pandemi ini. Virus Sars-CoV-2 sudah menyebar dalam jumlah besar. Jumlah yang terkonfirmasi positif itu belum termasuk para OTG (orang tanpa gejala) yang berkeliaran seperti biasa sambil menulari orang lain. Metode penghitungan epidemiologi menggambarkan pola penularannya seperti pohon dimana virus tersebar secara berlipat ganda.

Benar bahwa masker dan jaga jarak bisa menghambat penularan virus, tetapi penularan juga banyak terjadi dari pintu, kursi, meja, dinding, pulpen, paket, makanan, intinya semua benda yang tersentuh tangan. Sementara itu, vaksin tidak serta-merta memberikan kekebalan tubuh, malah varian-varian virus baru sudah bermunculan.

Kita bisa terpapar virus Sars-CoV-2 di mana saja dan kapan saja. Kita tak pernah tahu kapan kita lengah. Observasi penulis menunjukkan bahwa banyak orang yang disiplin menjalankan 5M juga terpapar virus, termasuk penulis sendiri.

Mungkin saat ini kita harus lebih fokus untuk memperkecil dampak virus korona itu. Bagaimana bereaksi setelah terjangkit menjadi sangat penting. Kurangnya informasi dan layanan kesehatan membuat penderita panik dan depresi. Padahal kemungkinan sembuh besar jika kondisi tubuh baik dan terapinya tepat.

Hanya saja, bagi orang-orang yang kondisinya kurang baik, rawatan rumah sakit menjadi sangat vital. Ruangan rawat inap, tes PCR, rontgen, obat-obatan, oksigen, dan ventilator menjadi pertahanan terakhir untuk menyelamatkan nyawa penderita.

Jika pun tidak tertolong, peti jenazah dan makam-makam juga harus tersedia. Kita harus punya ketahanan sampai skenario terburuk sekali pun.

Penutup

Kita mungkin naif untuk berharap aliran air tertahan di hulu sehingga sedikit lengah mempersiapkan pertahanan terakhir di hilir. Mungkin ini saatnya memfokuskan anggaran dan energi untuk menghadapi terjangan di pertahanan terakhir.

Jangan ada lagi kepedihan karena rumah sakit yang menolak, kehabisan tabung oksigen, kekurangan tenaga kesehatan, kelangkaan ventilator dan obat-obatan, atau terlantarnya jenazah akibat antrean pemulasaraan dan pemakaman.

Meski sulit menahan pertambahan kasus baru tetapi kita masih bisa menekan angka kematian. Kajian-kajian teknis tentu saja diperlukan untuk mengkalkulasi rincian kebijakan yang harus diambil berbagai pihak. Badai pasti berlalu. Namun seberapa banyak kita yang bertahan ketika badai usai, itu tantangan terbesarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun