Jika pun tidak menghilangkan nyawa, fakta juga menunjukkan bahwa pelaku kriminal kebanyakan dihasilkan dari KDRT yang dialaminya pada masa lalu. Kita mungkin tidak sadar kalau kerusakan mental itu justru sering terjadi di dalam rumah tangga.
Para pelanggar hukum dan psikopat diproduksi dari dalam keluarga, juga sebaliknya, manusia-manusia yang penakut, tidak kreatif, dan tidak percaya diri. Pada akhirnya mereka menjadi "beban" masyarakat generasi berikutnya.
Sayangnya, kita, masyarakat, belum bisa ikut campur lebih banyak dalam kasus KDRT terkait aturan perundang-undangan dan kultur sosial-budaya. Beberapa ajaran agama juga dijadikan tameng untuk pengesahan aksi KDRT.
Negara Harus Hadir
Perlu ada payung hukum dan respon penegak hukum yang lebih memberi kesempatan bagi masyarakat untuk saling mengontrol satu sama lain. Ada hak bagi setiap orang untuk mencampuri suatu peristiwa KDRT sebelum penegak hukum mengambil alih perkara. Kemudian diharapkan adanya respon cepat oleh para penegak hukum ketika menerima laporan masyarakat.
Instansi sosial atau perlindungan perempuan dan anak harus menjadi aparatur terdepan sebagai tempat aduan, konseling, dan penindakan KDRT.
Lagi-lagi seperti di negara maju, sanksi terhadap tindakan KDRT harus lebih tegas dan "menakutkan" sehingga membawa efek pencegahan. Misalnya seperti penarikan hak asuh anak dari orang tua atau pidana bagi individu yang melakukan KDRT.
Bos, kita bukan negara maju. Kultur kita juga berbeda. Lho, kenapa kita tidak mau belajar menjadi negara maju? Hal-hal yang baik dari kultur lain kenapa kita hempang demi membenarkan perilaku kita yang belum tentu dihasilkan kultur kita sendiri?
Semoga pada masa mendatang, pemerintah bersama masyarakat Indonesia bisa menyikapi KDRT dengan lebih serius lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H