Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Indonesia Belum Serius Sikapi KDRT?

9 Juni 2021   11:31 Diperbarui: 8 Desember 2022   09:29 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika pun tidak menghilangkan nyawa, fakta juga menunjukkan bahwa pelaku kriminal kebanyakan dihasilkan dari KDRT yang dialaminya pada masa lalu. Kita mungkin tidak sadar kalau kerusakan mental itu justru sering terjadi di dalam rumah tangga.

Para pelanggar hukum dan psikopat diproduksi dari dalam keluarga, juga sebaliknya, manusia-manusia yang penakut, tidak kreatif, dan tidak percaya diri. Pada akhirnya mereka menjadi "beban" masyarakat generasi berikutnya.

Sayangnya, kita, masyarakat, belum bisa ikut campur lebih banyak dalam kasus KDRT terkait aturan perundang-undangan dan kultur sosial-budaya. Beberapa ajaran agama juga dijadikan tameng untuk pengesahan aksi KDRT.

Negara Harus Hadir

Perlu ada payung hukum dan respon penegak hukum yang lebih memberi kesempatan bagi masyarakat untuk saling mengontrol satu sama lain. Ada hak bagi setiap orang untuk mencampuri suatu peristiwa KDRT sebelum penegak hukum mengambil alih perkara. Kemudian diharapkan adanya respon cepat oleh para penegak hukum ketika menerima laporan masyarakat.

Instansi sosial atau perlindungan perempuan dan anak harus menjadi aparatur terdepan sebagai tempat aduan, konseling, dan penindakan KDRT.

Lagi-lagi seperti di negara maju, sanksi terhadap tindakan KDRT harus lebih tegas dan "menakutkan" sehingga membawa efek pencegahan. Misalnya seperti penarikan hak asuh anak dari orang tua atau pidana bagi individu yang melakukan KDRT.

Bos, kita bukan negara maju. Kultur kita juga berbeda. Lho, kenapa kita tidak mau belajar menjadi negara maju? Hal-hal yang baik dari kultur lain kenapa kita hempang demi membenarkan perilaku kita yang belum tentu dihasilkan kultur kita sendiri?

Ilustrasi KDRT | Pixabay/Tumisu
Ilustrasi KDRT | Pixabay/Tumisu
Jika hukum dan respon pihak berwenang meningkat lebih baik, maka setiap individu akan takut melakukan KDRT. Pelaku takut dilaporkan masyarakat karena laporan masyarakat cepat direspon pihak berwenang dan bisa berujung pada sanksi hukum. Orang tua takut menganiaya anaknya karena Dinas Sosial bisa menarik anaknya ke rumah perlindungan. Ketakutan-ketakutan yang saat ini belum berada di benak setiap keluarga.

Semoga pada masa mendatang, pemerintah bersama masyarakat Indonesia bisa menyikapi KDRT dengan lebih serius lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun