Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Indonesia Belum Serius Sikapi KDRT?

9 Juni 2021   11:31 Diperbarui: 8 Desember 2022   09:29 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdengar suara bentakan dari seorang lelaki, yang sepertinya berstatus bapak, kepada seorang anak perempuan. Adegan itu terjadi di pinggir jalan dekat kediaman saya. Si anak menjerit dan menangis sambil mengatakan bahwa ia tidak mau akan sesuatu hal yang saya tidak ketahui dengan jelas.

Penasaran saya melongokkan kepala dari pagar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Tepat di saat itu, si lelaki menempeleng si anak perempuan sambil berteriak, sejurus kemudian lelaki itu melayangkan sebuah tendangan ke punggung si anak yang kelihatannya baru berusia sekitar tujuh tahunan.

Darah saya serasa mendidih. Bergegas saya lari ke gerbang dan keluar. Tetapi saat saya berada di luar, si anak sudah pergi berlari dan si lelaki berjalan menjauh.

Sejujurnya, saya sendiri pun bingung hendak berbuat apa. Saya hanya berpikir untuk berusaha mencegah jika kekerasan berlanjut lebih parah. 

Kita mungkin sering melihat adegan tersebut di lingkungan kita. Suami memukul istri, ibu menyiksa anak, atau pun sebaliknya, istri menganiaya suami dan anak melakukan kekerasan terhadap orang tua.

Kita punya rasa enggan untuk ikut campur. Budaya kita seakan-akan membatasi urusan rumah tangga sebagai hal tertutup untuk orang luar. Bahwa orang tua berhak memukul anaknya dengan alasan pendidikan dan istri harus tunduk pada perintah suami berikut sanksi yang mengikutinya.

Ketika kita mendengar teriakan histeris suami-istri yang bertengkar di rumah sebelah atau jerit tangis anak-anak tetangga yang memilukan hati, apakah kita mau dan berani untuk memeriksanya? Mungkin kita takut dilabrak dengan tuduhan mencampuri urusan rumah tangga orang atau menganggu proses pendidikan anak mereka.

Hukum KDRT di Indonesia

Kalau kita tidak bisa bertindak berdasarkan pandangan pribadi, apakah kita bisa berharap pemerintah untuk turut campur? 

Indonesia sebenarnya punya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), namun pelaksanaannya terlihat kurang efektif.

Salah satu sebabnya adalah bahwa undang-undang tersebut hanya membolehkan pelaporan ke Polisi dilakukan oleh si korban sendiri. Orang lain atau keluarga, termasuk tetangga hanya dapat melapor jika memiliki surat kuasa (pasal 26). Meski memang di pasal 30 ada pengecualian, seperti misalnya si korban pingsan atau terancam nyawanya.

Waduh... Siapa yang mau membuat surat kuasa kepada tetangga dan kapan baru bisa dilaporkan? Hampir semua korban KDRT enggan melaporkan pelaku yang notabene adalah keluarganya sendiri. Lalu bagaimana dengan korban anak? Tentu sulit bagi seorang anak untuk melapor ke Polisi.

Belajar dari Negara Maju

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun