"Sampah...!" Pengumpul sampah itu menuangkan tong-tong sampah warga ke gerobaknya. Sebagian sampah terbungkus plastik, sebagian lagi berserakan. Sampah-sampah kecil atau cairannya berceceran di sepanjang jalan. Setelah gerobaknya penuh, si pengumpul sampah pergi ke TPS (Tempat Penampungan Sementara) untuk memindahkan isi gerobaknya ke sebuah bak besar. Satu-dua orang biasanya menyambut isi gerobak itu untuk diperiksa kembali.
Beberapa hari sekali truk besar kemudian mengambil bak sampah di TPS dan menuangkannya di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Ada lebih banyak lagi orang yang menanti di TPA. Mereka mengobrak-abrik bukit sampah yang baunya tak terlukiskan itu dan membongkar kantung-kantung sampah. Demikianlah proses pengelolaan sampah di sebagian besar daerah di Indonesia.
Kesehatan dan kemanusiaan
Pernahkah Anda ke TPS atau TPA? Mungkin sesekali Anda perlu ke sana dan mencoba seperti yang mereka lakukan. Anda bagaikan membuka bingkisan kado yang mengejutkan karena Anda tidak tahu apa yang akan Anda temukan di dalam kantung-kantung sampah tersebut. Bisa sisa makanan basi, beling pecahan gelas yang tajam, popok bayi berlumuran tahi, atau tak jarang bangkai hewan yang mulai membusuk. Lalu Anda memilah-milahnya dengan tangan telanjang!
Mengapa para pemilah sampah harus menikmati semua aktivitas itu? Ya, untuk mencari nafkah. Sebenarnya, aktivitas mereka itu juga bagian dari proses pengolahan sampah kita. Seandainya sampah dari rumah kita sudah dipisahkan, mereka tak perlu lagi membongkar semua "bingkisan kado" itu.
Memisahkan sampah sejak dari rumah hanya butuh dua tong sampah atau dua kantung plastik bekas. Lalu aktifkan detektor di otak kita setiap kali hendak membuang sampah, "Apakah ini bisa didaur ulang atau enggak?"
Di Sumatera Utara ada istilah botot, yaitu barang-barang bekas yang laku dijual kembali untuk didaur ulang. Nah, kita hanya perlu memisahkan barang-barang botot di satu tempat. Sehingga sisanya tentu sampah umum yang tak laku dijual ke tukang botot. Orang asing menyebut sampah umum itu rubbish dan yang bisa didaur ulang adalah recycle.
Jika 3 saja dari 10 warga memisahkan rubbish dan recycle, betapa terbantunya para pemilah sampah itu. Nafkah mereka pun lebih "wangi" dan lebih manusiawi. Hidung mereka tak perlu mencium semua aroma dan jari-jari mereka tak perlu menjamah semua bakteri. Dengan cara yang sepele itu, kita juga membantu memelihara kesehatan mereka. Bukankah itu kebaikan?
Memisahkan sampah daur ulang juga berguna untuk memelihara lingkungan. Sampah daur ulang cenderung sulit terurai secara alami sehingga perlu diproses secara khusus. Jika tercampur dengan sampah organik kemudian luput dari sortiran para pemilah maka sampah yang sulit terurai akan tertumpuk di TPA atau tak jarang berakhir di sungai dan laut, entah sampai berapa dekade.
Tanggung jawab siapa?
Memang, upaya paksa memisahkan sampah ini seyogyanya dilakukan oleh pemerintah setempat. Di negara-negara maju, truk pengangkut sampah tidak akan mengambil buntelan sampah yang masih campur sari. Apalagi jika ada beling, zat berbahaya dan bangkai di dalamnya. Warga malah bisa dijatuhi denda. Kebiasaan itu terbangun sejak lama, sehingga tak heran jika masyarakat sudah refleks memisahkan sampah sejak pertama kali membuangnya.
Tetapi tak perlulah selalu mencari kambing hitam. Tak perlu kita berdebat tentang ayam atau telur yang harus ada terlebih dulu. Jika setiap orang mulai berubah dari dirinya sendiri maka perubahan itu akan berjalan lebih cepat dari program yang dicanangkan pemerintah.