Kualitas pendidikan biasanya dinilai dari skor PISA (Programme for International Assessment) yang dikeluarkan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). PISA mengukur kualitas pendidikan berdasarkan survei kemampuan siswa pada tiga bidang, yaitu literasi, matematika, dan sains (Dewabrata, 2019). Meski bisa dijadikan patokan, tetapi penulis melihat ada hal-hal lain, di luar tiga bidang tersebut, yang layak diperhitungkan dalam menilai sistem pendidikan.
Finlandia, misalnya. Negara ini sering disebut memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia meski menempati peringkat ketujuh pada survei PISA 2018. Kalah dari Republik Rakyat Tiongkok bahkan Singapura, namun bagusnya sistem pendidikan Finlandia telah diakui banyak kalangan dan sudah diangkat dalam berbagai artikel dan buku.
Sama seperti Finlandia, sistem pendidikan New Zealand atau Selandia Baru juga memiliki beberapa kelebihan, di luar matematika dan sains, yang layak dicermati. Berikut hasil pengamatan penulis selama tinggal dan menyekolahkan anak di Selandia Baru.
Waktu
Kewajiban bersekolah di Selandia Baru diberlakukan untuk anak berusia 6-16 tahun. Meski demikian, anak umur 5 tahun dapat diterima di sekolah dasar ("Education," n.d.). Pendidikan dasar dan menengah berlangsung hingga tiga belas kelas, yakni Year 1 sampai Year 13 atau sampai pelajar berusia 19 tahun.
Uniknya, anak-anak masuk ke sekolah dasar (primary school)Â berdasarkan tanggal ulang tahun kelimanya. Jadi misalnya, si anak berulang tahun ke-5 pada tanggal 10 April, maka ia pindah ke primary school pada tanggal 10 April sementara pada tanggal 9 April ia masih berada di taman kanak-kanak (kindegarten). Begitu pula saat pelajar berulang tahun ke-19, ia boleh meninggalkan bangku sekolah meski tahun ajaran belum usai.
Tahun ajaran di Selandia Baru sendiri dimulai pada akhir bulan Januari atau awal Februari dan berakhir pada pertengahan bulan Desember (Government of New Zealand, n.d.). Tahun ajaran dibagi dalam empat masa (Term). Lamanya satu Term berkisar 2 hingga 2,5 bulan dan diantara Term ada libur selama 2 hingga 3 minggu.
Jam pelajaran primary school dimulai pada pukul sembilan pagi dan berakhir pada pukul lima belas sore. Anak diperbolehkan datang lebih lama atau pulang lebih cepat tanpa dikenakan sanksi. Aturan ini sangat menguntungkan anak-anak karena tidak perlu bangun dini hari lalu terburu-buru berangkat ke sekolah. Anak-anak punya cukup banyak waktu untuk melakukan ibadah, sarapan dengan santai, bahkan untuk bermain.
Sebagai informasi, pada musim panas, matahari terbit sekitar pukul enam dan pada musim dingin sekitar pukul tujuh. Artinya ada rentang waktu sekitar 2-3 jam dari sejak matahari terbit sampai waktu masuk ke kelas. Cukup santai. Orang Selandia Baru konon sangat mengutamakan kualitas hidup, tak berbeda dengan prinsip yang dianut orang Finlandia.
Biaya
Pendidikan Selandia Baru terdiri dari tiga tingkatan: early childhood education (sampai usia 5 tahun), primary and secondary education (usia 5-19 tahun), dan further education (pendidikan tinggi). Primary School menyelenggarakan kelas Year 1 hingga kelas Year 6, kemudian Intermediate School melanjutkan kelas Year 7 dan Year 8, dan Secondary School untuk kelas Year 9 hingga Year 13.
Pemerintah menggratiskan biaya pendidikan primary dan secondary school pada sekolah-sekolah negeri. Sementara untuk sekolah swasta, biaya pendidikan mengikuti kebijakan sekolah masing-masing. Layanan sekolah gratis ini bisa dinikmati oleh seluruh warga negara Selandia baru dan pendatang yang telah memiliki status penduduk tetap (Permanent Residents).
Menariknya, pengunjung atau turis sekalipun diperbolehkan mencicipi sekolah selama maksimal tiga bulan meski tanpa mengantongi visa pelajar! Sementara anak-anak yang orang tuanya mendapat visa tinggal sementara juga dipersilakan belajar di taman kanak-kanak dan sekolah dasar negeri secara gratis selama visa berlaku. Ya, gratis alias tanpa biaya, kecuali untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang juga tidak jadi kewajiban.
Seragam dan zonasi
Sekolah-sekolah negeri di Selandia Baru pada umumnya tidak memberlakukan seragam. Anak-anak bebas menggunakan pakaian apa saja ke sekolah, bahkan sepatu pun tidak wajib. Hanya pada musim panas, para murid diinstruksikan untuk menggunakan topi saat berada di luar gedung.
Selandia Baru juga menerapkan sistem zonasi sekolah. Artinya, anak dianjurkan bersekolah di sekitar tempat tinggal mereka. Setiap sekolah wajib menyediakan tempat bagi anak-anak di lingkungannya. Jika ingin sekolah di luar zona tempat tinggal, boleh saja, tetapi anak harus mengajukan permohonan dan sekolah yang dituju juga tidak wajib memberi tempat melainkan tergantung ketersediaan kapasitas.
Kurikulum
Satu hal yang unik adalah bahwa Selandia Baru memiliki dua kurikulum nasional. Kurikulum pertama disebut The New Zealand Curriculum yang diterapkan oleh sekolah-sekolah berbahasa Inggris secara umum, sementara sekolah berbahasa Maori (suku asli Selandia Baru), menggunakan kurikulum berbasis filosofi Maori yang disebut Te Marautanga o Aotearoa.
Pada pendidikan dasar, kurikulum pendidikan di Selandia Baru fokus pada dasar pembelajaran di berbagai mata pelajaran dan kompetensi tetapi terutama dalam literasi dan berhitung. Kemudian pada pendidikan menengah, mereka belajar kurikulum yang luas dan seimbang, dengan beberapa spesialisasi di Year 11-13.
Sederhananya, anak-anak di sekolah dasar diajarkan hal-hal dasar dari setiap ilmu. Tidak melebar kesana-kemari tetapi fokus pada hal-hal mendasar yang perlu diketahui anak pada setiap tingkatan usianya.
Guru meminimalisir pekerjaan rumah alias PR. Kalau pun ada, biasanya berupa proyek menulis, membaca dan membuat resensi buku atau proyek kreativitas. Prinsipnya, anak belajar akademik, ya, di sekolah. Sementara rumah adalah tempat untuk belajar kehidupan bersama keluarga.
Anak-anak tidak pernah membawa tas berat. Semua buku-buku pelajaran dan alat tulis disimpan di kelas. Anak hanya perlu membawa perlengkapan diri seperti topi, jaket, makanan, minuman dan kebutuhannya yang lain setiap kali berangkat ke sekolah.
Visi kurikulum pendidikan Selandia Baru terasa impresif, yaitu "Orang muda yang percaya diri, terhubung, terlibat secara aktif, dan pembelajar seumur hidup" (Ministry of Education, 2015).
Prinsip dasar yang ditetapkan adalah "Harapan tinggi, Perjanjian Waitangi, Keanekaragaman budaya, Inklusi, Belajar untuk belajar, Keterlibatan komunitas, Koherensi, Fokus masa depan".
Kompetensi kunci pendidikan Selandia Baru juga sangat riil: "Kemampuan untuk hidup dan belajar seumur hidup". Menurut mereka, ada lima kompetensi kunci pendidikan:
- berpikir;
- menggunakan bahasa, simbol, dan teks;
- mengatur diri sendiri;
- berhubungan dengan orang lain;
- berpartisipasi dan berkontribusi.
Penulis melihat langsung bagaimana pola pengajaran di kelas sekolah dasar di Selandia Baru benar-benar mengejawantahkan pokok-pokok kurikulum tersebut. Anak-anak dipersiapkan untuk menjadi orang yang mampu berpikir, mengendalikan diri, percaya diri, suka belajar, terlibat dan berkontribusi terhadap masyarakat. Bukankah itu kemampuan yang paling penting dimiliki seorang manusia?
Kompetensi "berkontribusi terhadap masyarakat" diharapkan terwujud dengan belajar menghargai keanekaragaman dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial.
Singkatnya, murid-murid tidak dibentuk menjadi orang pintar yang terisolir dan tidak memberi manfaat pada lingkungannya. Keterlibatan dalam lingkungan sekitar yang majemuk dipercaya akan membentuk pikiran positif. Dengan memahami orang-orang disekelilingnya, anak diharapkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungannya.
Keunggulan dan kelemahan
Pendidikan di Selandia Baru juga terlihat unggul dalam pembentukan karakter anak. Kalau soal mengantri tak perlu dibahas lagi ya, sepertinya sudah otomatis sejak lahir atau mungkin meng-copy-paste perilaku orang tuanya.
Ada karakter lain yang terlihat dibangun sejak dini, yaitu memahami bahwa manusia itu berbeda-beda. Berbeda ras, budaya, agama bahkan kondisi kesehatan yang berbeda. Soal alergi misalnya, pihak sekolah di Selandia Baru sangat memperhatikan kondisi anak yang mengidap alergi sehingga perlakuan ke murid tidak semua sama.
Selandia Baru memang memiliki keanekaragaman budaya karena banyaknya pendatang yang tinggal di sana. Hampir di setiap kelas terdapat murid dari berbagai negara, ras dan agama. Namun dibalik perbedaan itu, anak-anak juga diajak mencari kesamaan melalui permainan. Bahwa dengan orang yang berbeda ras dan budaya pun ternyata terdapat kesukaan yang sama, sifat yang sama dan kesamaan-kesamamaan lainnya. Hal ini dilakukan terus-menerus dan dipercaya memperkuat rasa kebersamaan dan mengikis intoleransi.
Sekolah mengajarkan anak-anak untuk saling memberi manfaat kepada rekan-rekannya dan bukan saling bersaing apalagi menjatuhkan.
Sebagai contoh, anak-anak sering belajar dalam kelompok kecil. Keberhasilan kelompok adalah keberhasilan bersama. Lalu anak-anak yang sudah paham diwajibkan untuk mengajari temannya yang belum paham dan bukannya merahasiakan pengetahuannya untuk dirinya sendiri.
Tidak ada ranking kelas dan ujian yang berujung nilai angka. Tidak ada pula rapor yang berhias angka-angka. Gantinya, "Rapor" siswa adalah sebuah laporan kualitatif tentang perkembangan anak yang dibandingkan dengan periode sebelumnya. Laporan singkat itu juga memberitahu orang tua tentang kelebihan dan kekurangan si anak.
Kepercayaan diri anak-anak dipupuk sejak kecil, persis seperti visi kurikulum. Mereka dibiasakan untuk menyampaikan pendapat, pidato singkat, atau menceritakan resensi buku yang dibaca. Porsi belajar satu arah diminimalisir. Sebaliknya, metode dialog dan diskusi yang sering dilakukan. Guru terbiasa menghargai setiap pertanyaan dan bantahan anak, sebodoh apa pun itu.
Hal ini terbangun terus hingga dewasa, dimana penulis mengalami sendiri bagaimana para dosen di perguruan tinggi selalu menyambut pertanyaan mahasiswa dengan ekspresi "Good question!".
Apa yang membuat anak-anak bersemangat selama di sekolah adalah (mungkin) proses belajar yang tidak monoton. Ruangan kelas mereka mirip kelas anak TK di Indonesia, penuh warna, karya yang ditempel di dinding, dan posisi bangku yang fleksibel. Metode belajar mengkombinasikan penggunakan audio visual dan aktivitas di luar kelas, mirip sekolah alam di Indonesia.Â
Semua sekolah dasar di Selandia Baru juga dilengkapi dengan satu set taman bermain yang lazimnya ada di sekolah TK Indonesia. Di sanalah murid-murid berlatih otot-otot dan mengendurkan pikiran setiap jam istirahat. Bagi mereka, School is fun! Studying is fun-learning. Anak-anak, pada umumnya, justru tidak suka masa liburan, tetapi sangat bergembira waktu kembali ke sekolah. Penulis melihat sendiri reaksi anak-anak penulis dan anak-anak tetangga.
Hal paling mendasar adalah mengenai standar pelajaran. Di Kindergarten (usia empat tahun kebawah) anak sama sekali tidak diajar calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Mereka berpendapat bahwa anak balita tidak seharusnya dibebani calistung namun menikmati fase untuk belajar bersosialisasi, bermain dan merangsang kreativitas.
Calistung dikenalkan dengan halus pada kelas Year 1. Secara umum matematika diajarkan dengan pendekatan logika dan tematik bukan dengan cara menghapal. Contoh-contoh atau praktek didesain sedemikian rupa untuk mengajarkan anak berhitung.
Alih-alih mengejar kemampuan matematika dan sains, sekolah dasar di Selandia Baru memberikan pendidikan pokok tentang kehidupan. Sejak usia dini, anak-anak diedukasi tentang keselamatan diri, baik di darat maupun di air. Keselamatan di air diajarkan, misalnya, dengan latihan mengapung untuk bertahan di air. Sementara keselamatan di darat diajarkan dengan simulasi menghadapi gempa, bagaimana bereaksi terhadap pelecehan dan kekerasan, hingga edukasi lalu lintas seperti menyeberang, berskuter dan bersepeda.
Pendidikan pokok tentang kehidupan nyata sehari-hari ini menjadi catatan penting bagi penulis. Tak heran jika anak-anak tumbuh dengan pemahaman yang benar, misalnya, penggunaan helm dan taat berlalu-lintas. Mungkin karena itulah pekerjaan negara tidak terlalu sulit untuk mengatur warganya setelah dewasa.
Dibalik keunggulan sistem pendidikan Selandia Baru tersebut, tak seimbang rasanya jika tak meindentifikasi kelemahannya, setidaknya dari perspektif pribadi penulis dalam bingkai norma-norma di Indonesia. Selandia Baru menerapkan sistem pendidikan non-religius, sehingga pelajaran agama tidak diwajibkan.Â
Beberapa sekolah memang menggelar sesi pelajaran agama namun sifatnya pilihan dan atas seizin orang tua. Faktanya, kelas agama sepi karena mayoritas orang tua tidak memberi persetujuan atau karena si anak yang tidak mau. Sekolah pun tidak boleh memaksa.
Hal lain yang mungkin bisa dianggap kelemahan adalah budaya santun yang berbeda dengan kebiasaan di dunia timur. Seperti lazimnya di negara-negara barat, anak-anak sering menyela dan membantah, bahkan meluapkan kemarahan kepada guru. Sementara itu, guru tidak boleh menghukum secara verbal apalagi secara fisik.
Penutup
Demikianlah sekilas sistem pendidikan dasar di Selandia Baru. Menarik, bukan? Rasanya kelebihannya jauh lebih banyak dari kekurangannya. Dari segi waktu belajar dan pembagian tahun ajaran saja sudah terasa menyenangkan. Anak-anak dapat menikmati proses belajar yang tidak terkesan marathon. Orang tua juga dapat menyesuaikan waktu dengan nyaman seperti persiapan berangkat sekolah hingga masa libur panjang yang relatif serentak dengan dunia kerja.
Materi pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan anak sesuai usianya. Pendidikan karakter dan keselamatan menjadi poin yang krusial. Pengetahuan tersebut benar-benar berguna bagi anak-anak dalam menghadapi dunia nyata. Pelajaran yang variatif dan seimbang membuat anak-anak malah lebih suka sekolah daripada libur.
Selandia Baru memang tidak mengejar kemampuan matematika dan sains pada usia muda seperti yang mungkin dianggap oleh sebagian orang sebagai hal yang penting. Toh dengan sistem pendidikan seperti itu, Selandia Baru menempati ranking yang cukup baik berdasarkan skor PISA 2018, yakni peringkat ke-11, jauh di atas Indonesia yang ada di posisi 74.
Perlu dicatat bahwa PISA melakukan survei terhadap pelajar berusia lima belas tahun, setara murid kelas 9 di Indonesia atau Year 11 di Selandia Baru. Hal ini menunjukkan bahwa usia dini bukanlah saat yang tepat untuk mengukur kemampuan literasi, matematika dan sains. Meskipun, barangkali, kualitas akademik anak-anak sekolah dasar Selandia Baru diasumsikan tertinggal, tetapi pada akhirnya mereka unggul secara keseluruhan. Bukankah ini baik sebagai bahan pertimbangan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H