Apa yang membuat anak-anak bersemangat selama di sekolah adalah (mungkin) proses belajar yang tidak monoton. Ruangan kelas mereka mirip kelas anak TK di Indonesia, penuh warna, karya yang ditempel di dinding, dan posisi bangku yang fleksibel. Metode belajar mengkombinasikan penggunakan audio visual dan aktivitas di luar kelas, mirip sekolah alam di Indonesia.Â
Semua sekolah dasar di Selandia Baru juga dilengkapi dengan satu set taman bermain yang lazimnya ada di sekolah TK Indonesia. Di sanalah murid-murid berlatih otot-otot dan mengendurkan pikiran setiap jam istirahat. Bagi mereka, School is fun! Studying is fun-learning. Anak-anak, pada umumnya, justru tidak suka masa liburan, tetapi sangat bergembira waktu kembali ke sekolah. Penulis melihat sendiri reaksi anak-anak penulis dan anak-anak tetangga.
Hal paling mendasar adalah mengenai standar pelajaran. Di Kindergarten (usia empat tahun kebawah) anak sama sekali tidak diajar calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Mereka berpendapat bahwa anak balita tidak seharusnya dibebani calistung namun menikmati fase untuk belajar bersosialisasi, bermain dan merangsang kreativitas.
Calistung dikenalkan dengan halus pada kelas Year 1. Secara umum matematika diajarkan dengan pendekatan logika dan tematik bukan dengan cara menghapal. Contoh-contoh atau praktek didesain sedemikian rupa untuk mengajarkan anak berhitung.
Alih-alih mengejar kemampuan matematika dan sains, sekolah dasar di Selandia Baru memberikan pendidikan pokok tentang kehidupan. Sejak usia dini, anak-anak diedukasi tentang keselamatan diri, baik di darat maupun di air. Keselamatan di air diajarkan, misalnya, dengan latihan mengapung untuk bertahan di air. Sementara keselamatan di darat diajarkan dengan simulasi menghadapi gempa, bagaimana bereaksi terhadap pelecehan dan kekerasan, hingga edukasi lalu lintas seperti menyeberang, berskuter dan bersepeda.
Pendidikan pokok tentang kehidupan nyata sehari-hari ini menjadi catatan penting bagi penulis. Tak heran jika anak-anak tumbuh dengan pemahaman yang benar, misalnya, penggunaan helm dan taat berlalu-lintas. Mungkin karena itulah pekerjaan negara tidak terlalu sulit untuk mengatur warganya setelah dewasa.
Dibalik keunggulan sistem pendidikan Selandia Baru tersebut, tak seimbang rasanya jika tak meindentifikasi kelemahannya, setidaknya dari perspektif pribadi penulis dalam bingkai norma-norma di Indonesia. Selandia Baru menerapkan sistem pendidikan non-religius, sehingga pelajaran agama tidak diwajibkan.Â
Beberapa sekolah memang menggelar sesi pelajaran agama namun sifatnya pilihan dan atas seizin orang tua. Faktanya, kelas agama sepi karena mayoritas orang tua tidak memberi persetujuan atau karena si anak yang tidak mau. Sekolah pun tidak boleh memaksa.
Hal lain yang mungkin bisa dianggap kelemahan adalah budaya santun yang berbeda dengan kebiasaan di dunia timur. Seperti lazimnya di negara-negara barat, anak-anak sering menyela dan membantah, bahkan meluapkan kemarahan kepada guru. Sementara itu, guru tidak boleh menghukum secara verbal apalagi secara fisik.
Penutup
Demikianlah sekilas sistem pendidikan dasar di Selandia Baru. Menarik, bukan? Rasanya kelebihannya jauh lebih banyak dari kekurangannya. Dari segi waktu belajar dan pembagian tahun ajaran saja sudah terasa menyenangkan. Anak-anak dapat menikmati proses belajar yang tidak terkesan marathon. Orang tua juga dapat menyesuaikan waktu dengan nyaman seperti persiapan berangkat sekolah hingga masa libur panjang yang relatif serentak dengan dunia kerja.