Penulis melihat langsung bagaimana pola pengajaran di kelas sekolah dasar di Selandia Baru benar-benar mengejawantahkan pokok-pokok kurikulum tersebut. Anak-anak dipersiapkan untuk menjadi orang yang mampu berpikir, mengendalikan diri, percaya diri, suka belajar, terlibat dan berkontribusi terhadap masyarakat. Bukankah itu kemampuan yang paling penting dimiliki seorang manusia?
Kompetensi "berkontribusi terhadap masyarakat" diharapkan terwujud dengan belajar menghargai keanekaragaman dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial.
Singkatnya, murid-murid tidak dibentuk menjadi orang pintar yang terisolir dan tidak memberi manfaat pada lingkungannya. Keterlibatan dalam lingkungan sekitar yang majemuk dipercaya akan membentuk pikiran positif. Dengan memahami orang-orang disekelilingnya, anak diharapkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungannya.
Keunggulan dan kelemahan
Pendidikan di Selandia Baru juga terlihat unggul dalam pembentukan karakter anak. Kalau soal mengantri tak perlu dibahas lagi ya, sepertinya sudah otomatis sejak lahir atau mungkin meng-copy-paste perilaku orang tuanya.
Ada karakter lain yang terlihat dibangun sejak dini, yaitu memahami bahwa manusia itu berbeda-beda. Berbeda ras, budaya, agama bahkan kondisi kesehatan yang berbeda. Soal alergi misalnya, pihak sekolah di Selandia Baru sangat memperhatikan kondisi anak yang mengidap alergi sehingga perlakuan ke murid tidak semua sama.
Selandia Baru memang memiliki keanekaragaman budaya karena banyaknya pendatang yang tinggal di sana. Hampir di setiap kelas terdapat murid dari berbagai negara, ras dan agama. Namun dibalik perbedaan itu, anak-anak juga diajak mencari kesamaan melalui permainan. Bahwa dengan orang yang berbeda ras dan budaya pun ternyata terdapat kesukaan yang sama, sifat yang sama dan kesamaan-kesamamaan lainnya. Hal ini dilakukan terus-menerus dan dipercaya memperkuat rasa kebersamaan dan mengikis intoleransi.
Sekolah mengajarkan anak-anak untuk saling memberi manfaat kepada rekan-rekannya dan bukan saling bersaing apalagi menjatuhkan.
Sebagai contoh, anak-anak sering belajar dalam kelompok kecil. Keberhasilan kelompok adalah keberhasilan bersama. Lalu anak-anak yang sudah paham diwajibkan untuk mengajari temannya yang belum paham dan bukannya merahasiakan pengetahuannya untuk dirinya sendiri.
Tidak ada ranking kelas dan ujian yang berujung nilai angka. Tidak ada pula rapor yang berhias angka-angka. Gantinya, "Rapor" siswa adalah sebuah laporan kualitatif tentang perkembangan anak yang dibandingkan dengan periode sebelumnya. Laporan singkat itu juga memberitahu orang tua tentang kelebihan dan kekurangan si anak.
Kepercayaan diri anak-anak dipupuk sejak kecil, persis seperti visi kurikulum. Mereka dibiasakan untuk menyampaikan pendapat, pidato singkat, atau menceritakan resensi buku yang dibaca. Porsi belajar satu arah diminimalisir. Sebaliknya, metode dialog dan diskusi yang sering dilakukan. Guru terbiasa menghargai setiap pertanyaan dan bantahan anak, sebodoh apa pun itu.
Hal ini terbangun terus hingga dewasa, dimana penulis mengalami sendiri bagaimana para dosen di perguruan tinggi selalu menyambut pertanyaan mahasiswa dengan ekspresi "Good question!".