Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan featured

Bermanfaatkah Penyemprotan Disinfektan di Ruang Publik?

10 April 2020   12:26 Diperbarui: 8 Juli 2021   07:57 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seiring bertambahnya korban Covid-19, pemerintah pun melakukan penyemprotan disinfektan di ruang-ruang publik seperti jalan raya, trotoar termasuk parit, serta gerbang atau pintu rumah penduduk. 

Pertanyaan yang sejak bulan Februari lalu sebenarnya telah dibahas oleh publik internasional, semakin mengganggu benak, "Apakah penyemprotan disinfektan di jalan-jalan itu dapat memperlambat penyebaran virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19?"

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan singkat tetapi harus dengan kombinasi ilmu pengetahuan dan pendapat para ahli yang dicerna dengan logika. Dengan tetap menghargai upaya apapun yang dilakukan berbagai pihak, namun sebagai netizen perlu melakukan check and crosscheck atau riset kecil-kecilan sebelum berkomentar, sebagaimana yang pernah saya bahas di artikel Seandainya Netizen Melek Internet.

Virus SARS-CoV-2

Pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu karakter virus SARS-CoV-2 itu. Diameter virus SARS-CoV-2 adalah 65-125 nanometer (Shereen, Khan, Kazmi, Bashir, and Siddique, 2020). Tidak perlu susah-susah memikirnya, yang jelas virus ini sangat kecil karena 1 milimeter sama dengan 1.000.000 nanometer. Jadi 125 nanometer itu berarti hanya 0,000125 milimeter.

Penyebaran virus ini pada manusia terjadi melalui kontak dekat dengan orang yang terinfeksi, terkena batuk, bersin, tetesan pernapasan atau aerosol. Aerosol adalah campuran partikel yang melayang di udara. 

Jadi selain kontak fisik langsung dengan penderita, Covid-19 juga dapat tertular melalui kontak dengan benda atau permukaan yang telah terdapat partikel virus di atasnya dan kemudian menyentuh mulut, hidung atau mata (Ministry of Health NZ, 2020).

Tetesan virus ini terlalu besar untuk melayang di udara dalam waktu lama, sehingga dengan cepat akan menetap di permukaan sekitarnya. Sepanjang penelusuran, belum ada ahli yang bisa memastikan berapa lama virus SARS-CoV-2 terbang di udara. Tetapi jika terlempar dari bersin, perkiraan jauh jelajah virus ini hanya sekitar dua meter.

Hasil penelitian yang dipublikasi oleh New England Journal of Virus pada 19 Maret 2020 menunjukkan bahwa virus yang terdapat dalam aerosol masih dapat menular selama tiga jam. 

Pada permukaan benda-benda seperti plastik dan baja (permukaan halus dan tidak menyerap) virus dapat bertahan hingga 27 jam. Sementara pada permukaan seperti karton hanya bertahan selama 24 jam. Meski demikian, virus mengalami reduksi yang cukup signifikan selama itu (van Doremalen, dkk., 2020).

Bagaimana ketahanan virus ini terhadap panas? Pada penelitian yang dilakukan Chan, dkk. (2011) terhadap virus corona jenis SARS CoV (penyebab penyakit SARS), infektivitas virus hilang setelah pemanasan pada suhu 56 derajat Celcius selama 15 menit. 

Studi lain menunjukkan bahwa virus SARS CoV juga dinonaktifkan oleh sinar ultraviolet, kondisi basa (pH> 12), atau asam (pH <3). Saya belum menemukan hasil penelitan yang pasti tentang ketahanan virus SARS CoV-2 (Covid-19) terhadap temperatur. Dugaan sementara mungkin sama dengan virus SARS CoV atau mungkin lebih kuat sedikit.

Ilustasi: Pixabay
Ilustasi: Pixabay

Penyemprotan

Kita masuk ke pokok persoalan, yaitu penyemprotan disinfektan di ruang publik. Tindakan menyemprot jalan-jalan dengan truk sudah dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Korea Selatan, Italia dan beberapa negara lain. RTT dan India bahkan sudah melakukan penyemprotan menggunakan drone, dengan maksud agar wilayah sebaran lebih luas.

Para ahli kesehatan mengatakan penyemprotan yang dilakukan di tempat umum mungkin tidak berpengaruh dalam menghentikan penyebaran virus. Disinfeksi seharusnya menargetkan tempat tertentu, seperti ruang gawat darurat, dan permukaan komunal di rumah sakit, di mana lebih banyak virus yang berpotensi tertransmisi.

Menurut ilmuwan kesehatan lingkungan di Universitas Emory, Juan Leon, meskipun disinfektan dapat menghancurkan virus yang berada di permukaan benda, tetapi belum dapat dibuktikan di udara. 

Unsur cairan pemutih (bleach) yang terdapat dalam disinfektan justru rusak terkena sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet seyogyanya bisa menghancurkan virus corona. Pernyataan Leon tersebut dimuat dalam media Sciencmag pada Maret 2020 (Service, 2020)

Pada Februari 2020, Saskia Popescu, seorang ahli epidemiologi pencegahan infeksi senior yang bekerja di sistem perawatan kesehatan berbasis di Phoenix telah mengatakan agar disinfektasi lebih baik dilakukan di rumah sakit dan permukaan sering disentuh daripada menyemprotkan cairan pemutih di jalan-jalan. Karena peluang tangan atau mulut menyentuh aspal cukup kecil (Brueck, 2020).

Peneliti LIPI, Sugiyono Saputra, juga mengakui bahwa penyemprotan disinfektan di jalan perlu dikaji. Menurutnya, virus seyogyanya mati di bawah paparan sinar matahari. Lebih baik desinfeksi diprioritaskan di perkantoran, sekolah, dan tempat indoor lainnya (Novello, 2020). 

Hal yang senada juga disampaikan Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Penanganan COVID-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito kepada media pada 8 April 2020 (Damarjati, 2020).

Mengenai penggunaan drone untuk menyemprotkan disinfektan di ruang publik seperti yang telah dilakukan beberapa negara, Kementerian Kesehatan Inggris telah menyatakan tidak berniat melakukan itu karena dianggap tidak efektif. 

Juru bicara kementerian mengatakan pada awal April 2020, bahwa mereka hanya akan melakukan langkah-langkah yang telah direkomendasikan para ahli.

Logika

Disinfektan yang disemprot dengan sembarangan sebenarnya berpotensi mengganggu kesehatan manusia jika terpapar kulit atau terhirup ke dalam pernafasan. 

Kritik ini dimuat di media internasional Reuters pada 1 April 2020 selepas penyemprotan di Surabaya (Wardoyo and Geddie, 2020). Bahkan hewan-hewan kecil dan mikroorganisme yang masih dibutuhkan dalam ekosistem, juga bisa terkena dampaknya buruknya.

Dengan cara penyemprotan, di mana kemungkinan besar ada celah diantara butiran cairan yang jatuh ke permukaan, dan mengingat ukuran virus yang super kecil, maka peluang bertahannya virus pasca penyemprotan masih cukup besar.

Tetapi anggaplah penyemprotan ke gerbang atau pintu rumah penduduk benar-benar efektif menghancurkan virus yang menempel. Pertanyaannya adalah, berapa seringkah penyemprotan itu dilakukan dalam sehari? Sekali? Atau mungkin sekali dalam dua hari? 

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, berapa kali kemungkinannya seorang penderita Covid-19 datang dan menyentuh gerbang atau pintu rumah tersebut diantara jadwal penyemprotan?

Setiap kali penderita menyentuh sebuah benda, maka virus akan siap untuk ditularkan ke orang lain yang menyentuh benda tersebut. Maka perhitungan sederhananya, diperlukan penyemprotan disinfektan berkali-kali dalam sehari agar berdampak.

Penutup

Melihat karakter virus SARS CoV di atas, jalananan, trotoar, apalagi parit dan pohon bukanlah permukaan dimana virus bisa bertahan lama. Selain virus kemungkinan besar sudah rusak karena sinar ultraviolet dan panasnya aspal, permukaan jalan, trotoar dan pepohonan memiliki probabilitas kecil untuk disentuh tangan atau mulut.

Virus juga belum terbukti bisa mejelajah jauh dan lama di udara karena massanya. Virus ini lebih memungkinkan tertularkan melalui kontak fisik atau benda-benda yang sering disentuh tangan seperti meja, pegangan pintu, telepon, keran air, remot, uang, dan lainnya. Intinya, semakin mungkin sebuah permukaan itu disentuh tangan maka semakin besar peluangnya menularkan virus.

Benar, bahwa virus SARS CoV-2 adalah jenis virus yang baru, meski mirip dengan virus corona sebelumnya. Para ahli dan pemerintah masih berspekulasi sembari melakukan penelitian secara intens. 

Wajar jika RRT mencoba segala cara dalam keadaan yang bisa dianggap panik pada bulan Februari lalu. Tetapi Indonesia beruntung karena diserang belakangan. Sudah ada contoh-contoh yang bisa dijadikan acuan atau pelajaran dari negara-negara lain, baik itu keberhasilan maupun kegagalan.

Sediakan sedikit waktu untuk mengkaji atau riset sederhana. Kemungkinan besar data-data dan contoh kasus telah ada di seluruh dunia. Teknologi internet pun telah mempermudah kita dalam mencari informasi. Jangan beranggapan bahwa kita selalu menjadi pionir atau penemu yang pertama, sehingga melakukan segala sesuatu itu dengan hipotesis.

Tetapi ada ungkapan, "Doing something is better than doing nothing"? Ya, bisa diterima, jika sama sekali tidak ada orang yang tahu harus melakukan apa. Tetapi Otto von Bismarck, negarawan Jerman abad ke-19, pernah berkata, "Fools say that they learn by experience. I prefer to profit by others experience."

"Fools say that they learn by experience. I prefer to profit by others experience." - Otto von Bismarck

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun