Disinfektan yang disemprot dengan sembarangan sebenarnya berpotensi mengganggu kesehatan manusia jika terpapar kulit atau terhirup ke dalam pernafasan.Â
Kritik ini dimuat di media internasional Reuters pada 1 April 2020 selepas penyemprotan di Surabaya (Wardoyo and Geddie, 2020). Bahkan hewan-hewan kecil dan mikroorganisme yang masih dibutuhkan dalam ekosistem, juga bisa terkena dampaknya buruknya.
Dengan cara penyemprotan, di mana kemungkinan besar ada celah diantara butiran cairan yang jatuh ke permukaan, dan mengingat ukuran virus yang super kecil, maka peluang bertahannya virus pasca penyemprotan masih cukup besar.
Tetapi anggaplah penyemprotan ke gerbang atau pintu rumah penduduk benar-benar efektif menghancurkan virus yang menempel. Pertanyaannya adalah, berapa seringkah penyemprotan itu dilakukan dalam sehari? Sekali? Atau mungkin sekali dalam dua hari?Â
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, berapa kali kemungkinannya seorang penderita Covid-19 datang dan menyentuh gerbang atau pintu rumah tersebut diantara jadwal penyemprotan?
Setiap kali penderita menyentuh sebuah benda, maka virus akan siap untuk ditularkan ke orang lain yang menyentuh benda tersebut. Maka perhitungan sederhananya, diperlukan penyemprotan disinfektan berkali-kali dalam sehari agar berdampak.
Penutup
Melihat karakter virus SARS CoV di atas, jalananan, trotoar, apalagi parit dan pohon bukanlah permukaan dimana virus bisa bertahan lama. Selain virus kemungkinan besar sudah rusak karena sinar ultraviolet dan panasnya aspal, permukaan jalan, trotoar dan pepohonan memiliki probabilitas kecil untuk disentuh tangan atau mulut.
Virus juga belum terbukti bisa mejelajah jauh dan lama di udara karena massanya. Virus ini lebih memungkinkan tertularkan melalui kontak fisik atau benda-benda yang sering disentuh tangan seperti meja, pegangan pintu, telepon, keran air, remot, uang, dan lainnya. Intinya, semakin mungkin sebuah permukaan itu disentuh tangan maka semakin besar peluangnya menularkan virus.
Benar, bahwa virus SARS CoV-2 adalah jenis virus yang baru, meski mirip dengan virus corona sebelumnya. Para ahli dan pemerintah masih berspekulasi sembari melakukan penelitian secara intens.Â
Wajar jika RRT mencoba segala cara dalam keadaan yang bisa dianggap panik pada bulan Februari lalu. Tetapi Indonesia beruntung karena diserang belakangan. Sudah ada contoh-contoh yang bisa dijadikan acuan atau pelajaran dari negara-negara lain, baik itu keberhasilan maupun kegagalan.
Sediakan sedikit waktu untuk mengkaji atau riset sederhana. Kemungkinan besar data-data dan contoh kasus telah ada di seluruh dunia. Teknologi internet pun telah mempermudah kita dalam mencari informasi. Jangan beranggapan bahwa kita selalu menjadi pionir atau penemu yang pertama, sehingga melakukan segala sesuatu itu dengan hipotesis.