Mohon tunggu...
Bergman
Bergman Mohon Tunggu... -

A dreamer who likes writing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Danau Toba dan Teori Kebiasaan

5 Juli 2018   11:11 Diperbarui: 5 Juli 2018   14:43 2784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Lebih dari dua puluh tahun saya mengendarai mobil dengan transmisi manual. Ketika kemudian saya mengganti kendaraan yang bertransmisi otomatis, pada mulanya saya sedikit kagok. Beberapa kali kaki kiri terayun untuk menginjak pedal kopling yang ternyata tidak terdapat pada mobil metik. Begitulah perihal kebiasaan bagi manusia.

Kebiasaan adalah sesuatu yang biasa dikerjakan atau pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan dilakukan secara berulang untuk hal yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Tindakan yang dilakukan dalam konteks kebiasaan tak selamanya diperintah otak secara sadar namun pada hal-hal tertentu telah menjadi gerakan di bawah sadar yang disebut refleks. Sebuah kebiasaan terbentuk dalam waktu relatif lama. Menurut penelitian di London, dibutuhkan rata-rata 66 hari untuk membentuk satu kebiasaan.

Sumber lain menyebutkan bahwa 98% manusia akan mengulangi kebiasaannya di pagi hari. Jika Anda perhatikan cara Anda mengenakan kemeja atau celana, maka Anda akan mendapati bahwa Anda akan hampir selalu memasukkan lengan atau kaki yang sama lebih dahulu. Misalnya lengan atau kaki kiri, baru kemudian lengan atau kaki yang satunya lagi. 

Untuk memakai kaos mungkin sebagian orang lebih dulu memasukkan kepalanya baru kemudian kedua tangannya secara bersamaan. Saya bisa pastikan bahwa tidak  ada orang yang memasukkan kedua kakinya sekaligus secara bersamaan ketika mengenakan celana.

Dalam hidup manusia, dikenal istilah kebiasaan baik dan kebiasaan buruk. Keduanya diukur secara relatif dan subjektif. Satu kebiasaan disebut buruk di suatu tempat, bisa jadi tidak buruk di tempat lain. Bagi adat timur, menerima dan memberi sesuatu kepada orang lain harus menggunakan tangan kanan. Ini disebut kebiasaan baik. Tetapi tidak demikian halnya di budaya barat. Sebaliknya bersendawa merupakan kebiasaan buruk di barat tetapi tidak di belahan timur.

Kebiasaan bukan saja terbatas pada gerakan-gerakan ringan dan sederhana. Kebiasaan juga menyangkut perilaku dan sikap yang lebih kompleks lagi. Menyikat gigi sebelum tidur misalnya, adalah soal kebiasaan. Menyikat gigi tentu bukan gerakan di bawah sadar, bukan? Perlu usaha yang lebih besar dan waktu yang lebih lama untuk menyikat gigi. Ada juga orang yang memiliki kebiasaan harus beraktivitas fisik pada pagi hari, apakah itu berkebun atau berolahraga.

Kebiasaan bukan hanya terbentuk secara tidak sengaja atau berdasarkan kemauan sendiri (faktor internal). Kebiasaan juga terbentuk karena situasi yang memaksa (faktor eksternal). Seorang yang terlahir kidal di dunia timur meski lebih suka menggunakan tangan kirinya untuk berbagai hal tetapi akan secara refleks bersalaman dengan tangan kanan atau makan dengan tangan kanan jika tidak menggunakan sendok atau sumpit. Hal itu terbentuk karena paksaan norma dan etika yang berkembang di sekelilingnya selama bertahun-tahun.

Jika Anda terbiasa menggunakan mobil dengan posisi setir di kanan dan berkendara di jalur kiri, Anda pasti akan merasa kesulitan saat pertama kali harus mengendarai mobil dengan posisi setir di kiri dan melaju di sebelah kanan jalan. Tetapi dari generasi ke generasi manusia telah membuktikan bahwa manusia adalah mahluk dapat membentuk kebiasan baru sesuai tuntutan kehidupan meski membutuhkan waktu yang relatif lama.

Perilaku individu selain mempengaruhi individu itu sendiri juga dapat mempengaruhi lingkungan. Demikian pula lingkungan dapat mempengaruhi perilaku individu (Walgito, 2003).

Di Kota Medan dan secara umum di daerah Sumatera Utara (saya tidak bisa memastikan untuk daerah lain), membuang sampah secara sembarang merupakan sebuah kebiasaan. Bukan hanya di jalanan, bahkan juga di sungai. Masih banyak warga yang beranggapan sungai itu tempat sampah paling praktis dan efektif karena sampah yang dibuang ke sana seakan-akan bisa hilang dalam sekejap. Apakah sampah itu tenggelam atau hanyut, si pembuang tidak terlalu ingin mengkajinya lebih jauh.

Menariknya, orang yang sama ketika bepergian ke luar negeri, katakanlah Malaysia atau Singapura, mendadak mengalami perubahan perilaku dengan tidak membuang sampah sembarangan. Ini adalah bukti bahwa kebiasaan itu dipengaruhi oleh lingkungan.

Di sebuah kota kecil, para pengendara sepeda motor lalu lalang ke sana kemari tanpa menggunakan helm karena sudah menjadi kebiasaan bagi warga setempat. Polisi ikut memberikan dispensasi, mungkin karena jalanan tidak ramai dan pendek-pendek. Malah akan terlihat lucu jika ada pengendara yang menggunakan helm di sana.

Di daerah tempat tinggal saya, ada bis yang menuju Kabupaten Karo. Karo adalah sebuah daerah di dataran tinggi yang dicapai melalui jalanan berliku serupa jalanan menuju Ciwidey di Jawa Barat atau Batu di Jawa Timur. Sudah menjadi pemandangan umum bahwa para remaja ramai-ramai duduk di atap bis sepanjang perjalanan. Bahaya keselamatan tak lagi menjadi perhitungan. Pengelola bis pun mengizinkannya karena sudah terbiasa.

Begitulah yang terjadi pada perairan Danau Toba selama ini. Kapal-kapal yang saban hari hilir mudik mengarungi danau yang dalam itu sering kali mengangkut muatan yang melebih kapasitas maksimumnya. 

Kapal-kapal penumpang juga sudah biasa mengangkut sepeda motor yang dijejer di koridor dan anjungan kapal. Menjadi hal biasa juga bahwa pelampung tidak tersedia dalam jumlah yang cukup. Begitu pula dengan ketiadaan radio komunikasi. Boro-boro pemantauan keadaan cuaca sebagai syarat untuk berlayar.

Terjadilah peristiwa mengenaskan pada Juni 2018. KM Sinar Bangun terbalik dan menyeret hampir seratus lima puluh penumpangnya ke dasar Danau Toba.

Salah seorang penumpang yang selamat justru mengaku sempat ditertawain teman-temannya karena mencoba menggunakan life jacket sesaat sebelum kapal bertolak dari dermaga. Seperti itulah dampaknya kebiasaan, selalu dipakai sebagai alat ukur penilaian.

Lingkungan mempengaruhi kebiasaan dan manusia sangat adaptif terhadap lingkungan. Maka untuk membentuk kebiasaan yang positif akan perilaku suatu masyarakat, perlu dibentuk sebuah lingkungan yang akan mendorong terbentuknya kebiasaan yang positif itu.

Siapa yang mampu membentuk kebiasaan? Seluruh elemen. Tetapi harus dimulai oleh pihak berwenang karena pihak berwenanglah yang bisa menetapkan aturan dan rambu-rambu untuk kemudian diikuti oleh masyarakat. Meski pada awalnya terpaksa, namun jika diulang dan diulang, akhirnya menjadi terbiasa.

Proses pembentukan kebiasaan memang tidak terjadi serta merta. Butuh waktu dan tahapan. Dalam konteks transportasi di Danau Toba, kebiasaan bisa dimulai dari tidak membawa penumpang melebihi kapasitas maksimum dan menyediakan pelampung dengan jumlah maksimum. 

Jika kebiasaan ini bisa dibiasakan dalam satu hingga dua tahun, maka kebiasaan lain bisa ditingkatkan seperti penggunaan radio komunikasi, peralatan SOS seperti flare gun, mekanisme pemantauan cuaca, sertifikasi perawatan berkala kapal, dan izin berlayar dari pelabuhan. Semoga.

Kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang dimiliki. Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain (B.F. Skinner).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun