"Tapi mengapa kivan belum juga masuk sekolah?" tanya Bu Guru lagi. "Apa dia sakit?"
Agatha menggeleng.
"Kalau begitu, tolong berikan surat Bu Guru kepada orang tuanya sepulang sekolah nanti. Mungkin surat yang kemarin belum sempat mereka baca." Kata Bu Guru.
Agatha mengeluh dalam hati. Lagi-lagi dia tidak punya keberanian untuk menolak. Kini pun kakinya gemetaran saat dia melangkah memasuki halaman rumah Gedung yang bagus itu.
"Surat lagi?" tegur Kivan yang sedang asyik bermain dengan anjingnya. "Sini biar ku robek."
Sesaat Agatha kaget mendengar sambutan Kivan. Ia tersinggung. Rasa marahnya timbul sehingga lupa pada ketidakberaniannya.
"Sombong!" katanya geram.
Dilemparnya surat Bu Guru ke kaki Kivan. "Tuh! Robek-robek sepuasmu. Agar besok aku lagi yang disuruh mengantar surat ketiga ke sini. Apa kamu tidak tahu kalau waktu ku terbuang gara-gara surat itu? Aku harus membantu ibuku, tahu! Orang tuaku tidak kaya. Karena itu, ibuku harus berjualan agar aku bisa sekolah. Tak seperti kamu. Kamu masih sanggup cari sekolah lain kalau kamu dikeluarkan dari sekolah kita. Orang tuamu, kan, kaya. Bisa membayar berapa saja untuk membayar sekolahmu!" tanpa Agatha sadari ia sudah menangis tersedu-sedu.
Kivan terpaku mendengarnya. Dia tidak mengerti mengapa Agatha bersikap seperti itu. Dia lebih tidak mengerti lagi ketika Agatha tiba-tiba lari meninggalkan rumahnya. Hatinya jadi tidak enak.
Semalaman dia tidak tidur. Bayangan Agatha yang menangis sesudah berteriak-teriak tadi terus mengganggunya.
Agatha juga tidak bisa tidur semalaman. Dia menyesal karena telah melampar surat itu ke kaki Reza. Seharusnya ia menyerahkan surat itu langsung kepada orang tua Kivan. Bukan membiarkan Kivan merobek-robeknya. Apa yang harus dikatakannya nanti kepada Bu Guru, bila beliau menanyakan surat itu? Ah....