Biarkan, Kamu Cukup Tau Saja!
Aku tak pernah menyangka ini terjadi padaku, tak pernah terfikirkan dalam benakku tentang hal ini, tapi ini terjadi juga, aku tak mempu membendungnya, aku telah melepaskan yang lainnya dan pandanganku hanya tertuju padamu, entah kenapa aku tak tau kenapa aku seperti ini, aku merasa sangat heran dengan diriku sendiri, aku mengalami hal yang sangat aku tentang dahulu setelah aku melanggarnya sekali. Aku berusaha menjaga segalanya setelah hari itu, tapi kini itu terjadi lagi. Entah harus aku berbuat apa.
Aku mengenalmu sejak tiga tahun lalu, sejak saling tau satu dengan  lainnya tak ada hal spesial yang aku nilai darimu, kau tidaklah cantik seperti Cinderella, ataukah gadis-gadis lain yang sering jadi bahan pembicaraan teman-teman dikampus, kau juga bukanlah gadis cerdas seperti gadis-gadis aktivis dikampus, atau akademisi yang begitu kuat berteori dalam kelas. Bagiku kau hanyalah seorang gadis yang ingin terus bersama teman-temanmu, kadang kau mengikuti temanmu dalam kegiatan kampus namun dengan kondisi terpaksa.
Kita tidaklah sering berjumpa, bertatap muka, ataupun berbicara langsung. Sebab akupun berpikir apa bagusnya berurusan dengan gadis sepertimu, seorang yang jarang menebar senyum dari bibirnya, yang hanya selalu memasang muka datar yang entah bagaimana orang disekitarmu bisa memaknainya, termasuk aku.
Pelan namun pasti aku melihat ada sisi lain dari dirimu, kau punya semangat yang tinggi untuk belajar. Aku menyadari itu ketika kau juga terlibat dalam organisasi kampus yang pernah aku tempati juga untuk belajar. Kau begitu gigih, seolah kau ingin merubah segalanya yang tak kau anggap sesuai dengan yang seharusnya.
Kita berkenalan memang sejak tiga tahun lalu, namun seingatku barulah dua tahun terakhir kita saling memiliki kontak masing-masing, mungkin juga sebab kau telah terlibat dalam organisasi kampus, sejak saat itu kita mulai berinteraksi secara pribadi, kau mulai bertanya tentang organisasi itu, tentang kampus, dan beberapa hal lainnya meskipun itu hanya sesekali, namun aku melihat setidaknya ada yang maju dalam komunikasi kita.
Semakin hari aku merasa kita semakin akrab, banyak hal yang sering kita bicarakan, kita diskusikan. Aku telah menganggapmu sebagai adikku sendiri, begitupun denganmu telah menganggapku sebagai kakakmu, sebab memang kita telah diajarkan menjadi sebuah keluarga oleh kakak-kakak kita terdahulu.
Aku berusaha menjaga jarak, bukan hanya denganmu, dengan teman-temanmu yang lain pun begitu utamanya yang perempuan, sebab aku tak ingin merasakan kebersamaan yang begitu berlarut sebab aku tak ingin lagi menaruh hati pada perempuan yang telah aku anggap sebagai adikku sendiri.
Aku pernah melakukannya, aku menganggapnya kesalahan sebab aku menaruh hati bahkan menjalin hubungan dengan adikku sendiri. Awalnya aku sangat malu namun aku tak mampu menghalanginya, Ia juga seperti itu terhadapku, pelan-pelan aku dan dia menjalaninya hingga akhirnya hubungan kami berakhir juga.
Aku tak pernah merasakan sebelumnya, kita sudah sering berjumpa, berdiskusi dan bercerita bersama, namun kali ini aku merasa berbeda, hari itu aku melihat kau tersenyum, aku tak pernah menyangka senyum yang kau lemparkan hari itu membuatku begitu khawatir sebab aku merasakan sesuatu yang berbeda, hampir saja aku melihatmu sebagai seorang perempuan, bukan lagi sebagai adikku. Aku berusaha keras menutupnya, aku menguncinya, mungkin hanya sementara dan tak akan lama, ini hanya sesaat pikirku saat itu.
Hari-hari selanjutnya kau semakin membuatku khawatir tehadap diriku sendiri, kau terus tersenyum padaku tanpa aku bisa bendung, perasaanku seolah mengalami cuaca yang selalu berbeda-beda, kau terus membuatku gugup setiap kali kau tersenyum walau bukan kepadaku, entah kenapa aku benar-benar kagum akan senyummu.
Aku terus bertanya apakah hatiku tertaut padamu, benakku selalu muncul bayangmu, apakah itu merindu namanya?, aku semakin tidak memahami diriku, aku selalu terbayang olehmu, setiap waktu, entah dari mana, kenapa aku merasakannya sekarang padahal aku mengenalmu sekian lama namun aku baru merasakannya kini, merasakan hal yang tak pernah aku inginkan dan harapkan sebelumnya.
Sekuat tenaga aku berusaha menghindari segalanya, aku berusaha menundukkan kepalaku bahkan mengalihkan pandanganku walaupun kau terlihat jauh, sebab aku tak kuasa, dadaku berdebar begitu cepat ketika mataku tertuju padamu, mungkin aku hanyalah seorang pengecut yang mengangkat kepala dihadapanmupun aku tak mampu.
aku berusaha membatasi komunikasi denganmu, agar rasaku yang terlanjur mulai tumbuh bisa aku matikan, aku ingin membunuhnya, aku tak ingin merasakannya, namun semakin aku melakukannya aku semakin tak bisa lari dari kenyataan bahwa aku benar-benar merindukanmu, merindukan senyummu. Namun aku terus berusaha menahannya sekuat teanga yang masih kumiliki.
Aku masih teringat bagaimana kau terus berusaha memujiku, dengan berbagai kelebihan yang kau lihat dari diriku, walaupun aku menganggap pandanganmu terhadapku masihlah sangat subjektif, setidaknya aku memahami bahwa selama ini kau tetap belajar, kau memperhatikan sekitarmu.
Bagiku kau masihlah seorang gadis polos hingga kini masih itu yang aku tau tentangmu, kau masih sering resah dan bingung dengan hal-hal yang sebenarnya belum terjadi, bahkan kau sering berpikir terlalu jauh tentang hal yang sebenarnya tidaklah pasti, kau selalu penuh dengan harapan, namun masih selalu mudah goyah, meskipun kau selalu membantah itu ketika aku mengucapkannya dihadapanmu namun aku melihatnya.
Malam itu begitu sulit aku lupakan, untuk kesekian kalinya aku tak bisa menghindarinya, kita berangkat bersama kesebuah kegiatan salah satu organisasi kampus, aku tak mengharapkan ditempat itu kita duduk berhadapan, aku sama sekali tak mengharapkannya, namun itu terjadi, kau duduk tepat dihadapanku, berkali-kali senyummu terlempar begitu saja, aku sangat tidak kuat untuk itu, aku berusaha terus bersembunyi dibalik punggung orang yang duduk disebelahku agar aku tak melihat senyummu lagi. Aku takut kau melihat itu saat aku tak menghindarinya.
Hingga akhir pertemuan kita malam itu aku masih terus tertunduk saat aku melihat kau memandangku juga, kau berdiri diantara celah pintu. Aku tak kuasa, ingin aku berlari dan menjauh secepanya namun akupun tak bisa, aku terlalu malu, aku tak ingin semuanya jelas.
Aku hanya membiarkannya saja, aku senang ketika hal semacam itu aku katakana padamu kau anggap itu candaan, setidaknya itu bisa memberi sedikit ruang rasaku bernafas lega, sebab aku begitu takut, takut kau merasakan hal yang sama terhadapku, apa yang harus aku lakukan jika itu terjadi?
CHUNK ND
Makassar, 19 April 2017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI