(Renjana, yang sejati tersimpan di dalam rasa, GPU 2013)
Â
Dari awal "beraja" lahir, sama sekali tidak terpikirkan oleh saya untuk membuat serialnya. Tetapi, cerita tentang Romo Daus dan Ola yang memang dibuat ngambang, membuat orang banyak bertanya. Bahkan, percaya tidak percaya, "beraja" menjadi pengawal beberapa Frater (calon Pastor Katolik) yang sedang menempuh pendidikan imamatnya hingga menajadi seorang Imam. Maka mereka pun ingin cerita dari "beraja" itu dilanjutkan.
Ketika memutuskan untuk membuat "Renjana" sudah bilang kepada para pembaca, bahwa cerita itu sudah cukup sampai di situ saja. Tidak ada kelanjutan kisah Romo Daus yang memesona para pembacanya itu.
Tapi... Seorang pembaca sempat kirim pesan begini, "Njar, kan di Renjana lebih ke Romo Dausnya nih. Tokoh lain gimana? Apalagi Ola... Sayang loh klo nggak dilanjutin."
Pesan itu membuat saya berpikir betul. Menimbang perlu tidaknya dilanjutkan. Termasuk juga pesan dari seorang adik yang sedang meneruskan kuliah di China, penggemar "Neng Ola", agar saya menuliskan sekali lagi tentang tokoh idolanya itu. "Neng Olanya digarap dong, Mbak... Dia itu presentasi baik dari sebuah arti persahabatan antara laki-laki dan perempuan terutama antara biarawan dan awam."
Didukung oleh seseorang yang sangat berarti yang saya panggil  Mas Renjana, jadilah #daksa awal saya buat. Benar-benar untuk menjawab keinginan orang-orang yang demikian memerhatikan dan mencintai "beraja" dan "Renjana". Cerita awal #daksa itu bisa dibilang imajinasi saya dengan tambahan masukan dari mereka yang mengusulkan, terutama sang pecinta "Neng Ola".
Seiring novel semakin bertambah halamannya, saya justru menemukan banyak peristiwa yang membuat saya lebih dalam berefleksi dan merenung tentang kehidupan. Kisah Romo Firdaus yang seolah dari luar selalu penuh berkat dan rahmat, mendadak saya dapati dari seorang biarawan yang kala itu juga sedang gundah. Memilih untuk hidup di luar biara sementara supaya bisa menentukan bagaimana kelanjutan panggilannya. Nasib Wyllie Samudra alias Wie yang sedang berbahagia dengan istri dan anak-anaknya, tiba-tiba saya lihat sebagai cermin dari sebuah keluarga yang ternyata tidak selamanya harmonis. Ada ego manusia bermain diantara komitmen hidup perkawinann mereka.
Demikian juga cerita Tra Laksmi, gadis lugu yang rajin membuat puisi, pekarya biasa yang kadang dilupa keberadaannya, ternyata layak menemukan kebahagiaan pribadi. Meski tetap saja keluguannya itu membuatnya tak sepenuhnya mengerti, hidup Tra malah menjadi refleksi tersendiri.
Lalu, Carolina Wibowo alias Ola, perempuan nyaris sempurna itu bagaimana?
Tetap kekeuh tidak mau menikah sebagai bukti cintanya pada Romo Daus? Padahal ada Faiz, mantan santri yang selalu bisa membuatnya tertawa dan menghidupkan dunianya yang sempat tak berwarna, sedang mendekati dengan keberanian menerjang segala perbedaan suku, agama dan usia.