Mentari masih tertidur di peraduannya. Terang yang tampak hanya kilatan dari bias kedatangannya. Namun orang-orang telah sibuk dengan rutinitasnya. Penjual abrak1 telah mengumpulkan barang dagangannya di depan rumah. Penjual sayur dan buah masih memindahin pisang, pepaya, kacang dan ganyong2 yang baru diterimanya dari petani.
Begitupun dengan keluarga Yani, yang masih menjalankan sembahyang dan doa. Ayahnya duduk di tempat paling depan, di sisi kanannya terdapat ibunya yang masih mengenakan mukena dan membawa tasbih kesayangannya yang terbuat dari kayu cendana. Yani, duduk tepat disamping pintu mendongakkan mukanya ke arah genting.
Yani tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya, walaupun suara zdikir ayahnya yang terdengar semakin kencang sehingga menyerupa seorang yang sedang menyoraki klub sepak bola  kesayangannya, "Hu, Hu, Hu". Suara ibunya membaca bacaan hariannya dengan suara setengah lantang, sehingga mungkin jika saja ada seseorang tidur di sampingnya akan terbangun.Â
Yani hanya peduli pada apa yang ada dalam pikirannya. Tentag sebuah pendulum sederhana yang tidak akan pernah berhenti bergerak, tentang rumus gaya Newton yang tidak memasukka faktor gesekan dan tekanan udara kedalam persamaannya atau tentang Tuhan yang masih diperdebatkan oleh para penyembahnya.
**
Bel sekolah baru saja berbunyi saat aku masuk ke kelas bersama dengan Yani yang mengenakan seragam tanpa bet sekolah dan sebuah bolpoin yang ditaruh melintang diantara bibirnya sehingga tampak seluruh bibirnya menempel pada bolpoin tersebut.Â
Dia berjalan begitu tenang sambil menyaksikan beberapa teman kami yang berlarian ketakutan. Aku sendiri yakin mereka talah mengetahui kedatangan kepala sekolah yang sangat ditakuti.
Yani tidak pernah takut. Begitulah jawab atas pertanyaanku mengenai ketenangan dirinya pagi itu. Dengan berlagak layaknya seorang preman di Televisi-televisi, dia terus berjalan menerobos gerombolan anak-anak lelaki yang menggoda teman sekelas mereka di teras sekolah. Suara mobil Feroza kepala sekolah dengan kenalpot yang terbuka tiba-tiba terdengar keras di samping kami.
 Aku dan murid-murid lain berlarian ketika menyadari keberadaannya, Namun Yani masih tetap berjalan seperti semula.
Kepala sekolah itu turun dari mobilnya dan kemudian menghampiri Yani. " Kau berani ya berangkat ke sekolah dengan pakaian seperti ini?" Bentaknya.
Yani menghentikan langkahnya dan kemudian menatap mata kepala sekolah tajam-tajam. Merasa ditantang oleh Yani, kepala sekolah yang tempramen itu segera naik darah. Ditariknya Baju seragam Yani hingga seluruh kancingnya lepas. Kurang puas dengan itu, kedua tangannya mepukuli pipi Yani hingga tampak memerah. Kakinya kemudian diangkatnya dan tendangkan pada dada Yani hingga terpental kebelakang.Â