"Yah namanya lagi Kasmaran. Hu huiii,,,"
Gerejanya megah. Di pintu masuk kita disalamin. Ramah dan bersahabat. Sampai ditempat duduk kita juga salaman. Yang di samping kiri punya pabrik minuman gelas. Yang duduk di kanan sudah jadi dokter gigi sedang ambil S2 di Trisakti. Yang depan orang Serpong, punya toko perlengkapan mancing. Semuanya orang sukses dan tajir.
Saya jadi rendah diri dibuatnya, waktu itu saya sendiri mahasiswa kere, belom tamat kuliah pula. Bila ambil positifnya wah saya bisa dibilang beruntung bisa kenalan dengan mereka. Orang orang hebat dan berkelimpahan. Kalo rajin menjalin hubungan, wah bisa cepat ketularan tajirnya juga.
Setelah itu desakan untuk dibabtis ulang jadi semakin kencang. Hal ini juga separuhnya salah saya juga kepada dia.
Saya bersyukur meskipun iman saya belum bisa memindahkan gunung tapi saya diberikan kesadaran pada detik2 terakhir sehingga tidak tergoda untuk dibabtis ulang.
Dia percaya Tuhan itu baik. Ya sama, saya juga percaya Tuhan itu baik, tapi ketika dia percaya dan takut Tuhan akan menghukum saya di akhirat karena pikiran saya tentang Tuhan itu berbeda dengan pikiran dia. Itu sudah suatu kesalahan berpikir.
Itu sebabnya dia selalu terobsesi untuk menyelamatkan saya, berusaha dengan segala kebaikannya sampai berputus asa hingga memusuhi saya.
Saya telah sadar selama ini mengikutinya, bersedia menghabiskan waktu bersamanya karena saya tertarik pada wajahnya, terutama bibirnya saat berbicara. Saya tidak pernah tertarik dengan segala apa yang dia bicarakan tentang Tuhan.
"Semoga dia bisa menyadari bahwa kasih Tuhan yang begitu besar tidak akan menghukum kita karena pandangan kita berbeda."
Kupang 24 Agustus 2017. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H