Mohon tunggu...
Benny Tjundawan
Benny Tjundawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemilik Maale

Belanja, Jalan jalan, baca buku, masak, nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Rokok

24 Agustus 2017   11:08 Diperbarui: 24 Agustus 2017   16:49 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dok.pribadi

Cerita Rokok. By, Benny Tjundawan.

"Hidup adalah pilihan, mati juga bisa jadi pilihan." Setiap hari kita menentukan pilihan, namun terkadang pilihan itu dipaksakan. Hal ini nyata seperti bungkus rokok yang beredar di Indonesia.

Coba lihat gambar jelek itu, bisa-bisanya menyatu pada bungkusan rokok lengkap dgn nada ancamannya.

Hebatnya rokok meskipun dipaksa memilih untuk menjelek-jelekan dirinya sendiri, tapi tetap saja bisa laku, tetap saja ada yang nyari dan butuh, bahkan manusia2 yang sudah jadi arwah pun tetap butuh rokok, minta disajikan rokok.

Rokok ini pajaknya besar sekali, gaji orang-orang di pemerintah dibayar oleh orang-orang penikmat rokok loh, tapi toh selalu diperlakukan tidak adil. Keterlaluan.

Karena kehebatan rokok yang terlihat nyata menurut saya produk rokok ini tidak perlu'lah beriklan. Lah sudah jelek masih tetap laku toh. Tidak perlu jauh ambil contoh tetangga saya saja, daripada duitnya dipakainya beli daging kiloan, mending dibeliin rokok. "Yah kan?"

Mending dana yang besar untuk beriklan di stasiun Tv, di koran, di papan reklame itu semua dialokasikan buat pedagang pedagang kecil pengecer rokok. Iya toh, lah pedagang kecil inilah ujung akar akar halus pemasaran rokok yg dapat menjangkau sampai ke masyarakat penikmat rokok kelas dasar. Dasar segala yang kurang mampu beli rokok bungkusan.

Mengapa? Sebab pedagang kecil ini nasibnya lebih parah dari bungkus rokok. Sudah kecil diinjak injaknya pula dan sering dikadalin oleh pedagang besar. Kasihan deh.

Pedagang pedagang kecil ini kuat kuatan sampai mana toh kalo tidak ada yg membantu? Rokok ini harga modalnya saja mahal namun untungnya tipis banget bos, jual satu bungkus untungnya sebatang. Hari ini bisa jual habis empat apa lima bungkus, mau kembali lagi beli ke pedagang besar eh setannya tolak malaikatnya tendang harganya sudah naik. 3X seperti itu habislah modalnya.

Paling kurang ajarnya pedagang besar itu yah gini. Kita sudah lama kenal sama dia, sudah enak enakkan percaya eh tanpa pemberitahuan harganya naik di nota belanja yg telah lunas. Ketahuannya tuh pas maen serong ke toko sebelah. loh ko bisa lebih murah dari harga cintaku langganan lama???

Jengkelnya lagi bagi nasib pedangang kecil, info bisnisnya itu sering telat bahkan tidak sampai, tapi kalo rugi yah cepet sampainya. Misalnya begini, hari ini ada informasi yg berhenti total dalam kuping pedagang besar, "Minggu depan harga akan naik." Lah hari ini juga harga mereka naikan. Kita nekat beli pake nombokin, setelah terbeli hari ini tahu2 harganya itu besoknya turun lagi. Rupanya harga naik karena isu. "Waduhhhh!!!"  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun