Teringat Hikayat Malin Kundang, sebuah cerita rakyat yang sangat melegenda. Konon seorang anak lelaki yang dulunya dekil di kampung, sukses di rantau hingga memiliki kapal sangat megah, punya kekayaan dan puluhan anak buah serta istri yang sangat cantik.Semua itu membuat Malin Kundang tidak bersyukur, malah jumawa.Â
Kedudukan sosialnya yang tinggi sampai menyentuh nadir kesombongannya mengangkangi etika moral masyarakat yang ada. Cerita berakhir dengan tragis, Malin Kundang menjadi "batu" akibat doa Mande Rubayah, ibu kandung yang tidak diakui sebagai ibunya hanya karena rasa malu. Padahal, Mande Rubayah sangat mencintai anak satu-satunya ini.
Cerita ini sangat terkenal dan tersebar ke seluruh nusantara, bahkan sampai ke Negeri Jiran, Malaysia. Kala kanak-kanak, cerita ini sering didengar, diceritakan oleh guru dan orang tua. Indah saat itu, kita disantuni oleh cerita moral yang cukup menarik.Â
Jangankan durhaka, khilaf kepada ibu saja telah terasa menggerus nilai moral kepribadian kita, agama pun juga mengajarkan seperti itu. Setidaknya, dalam situasi apapun, pesan itulah yang selalu terngiang ketika sedang berhadapan dengan ibu.
Bukan hanya di Ranah Minang saja, cerita yang sama juga terdapat di beberapa wilayah nusantara seperti Hikayat Batu Menangis di Kalimantan Barat, Si Lancang di Riau, Batu Bangkai di Kalimantan Selatan, Dempu Awang di Bangka Belitung dan lainnya.Â
Banyaknya cerita ini adalah bentuk kelincahan berimajinasi dari masyarakat kita, sembari menitipkan pesan moral pada generasi berikutnya untuk menjaga sikap dan etika di hadapan orang tua, khusus dihadapan ibu.
Terlepas dari itu hanya sebuah cerita, ada semacam disain yang bernuansa sama dan instuitif bahwa orang tua itu adalah contoh sosok yang bisa menempati apa saja, tetapi apa saja tidak bisa menempati sosoknya.Â
Pesan moral ini harus dijaga, sebelum moral ini menjadi hal langka. Saat ini, Kita bisa saja mengintip dengan jelas kasus demi kasus yang terjadi antara anak dan orang tua.Â
Tidak lama ini, Saya membaca sebuah kasus di salah satu media online, seorang anak berinisial M (40), yang ingin memenjarakan ibunya berinisial K (60) hanya karena permasalahan sepele. M keberatan karena sepeda motornya dipakai ibunya bersama dengan saudaranya yang lain.Â
Ada juga kasus TH (17) menganiaya ibu kandungnya AH yang telah sering dilakukan, terungkap karena ada warga yang mengambil video dan memviralkan penganiayaan tersebut.Â
Banyak lagi kejadian kasus lain yang korbannya adalah seorang ibu kandung. Terlepas dari justifikasi apapun, saya melihat ini sangat di luar batas dan sangat keterlaluan.
Kasus itu mengingatkan pada dekade kehidupan saya sebelum masuk pada Tahun 2000-an di Ranah Minang. Bagaimana saat itu masih kental, kita selalu diajarkan dengan "Kato Nan Ampek", yaitu cara bertutur kata ala orang minang dan sangat melembaga pada lingkungan keluarga dan masyarakat.Â
Ada "kato mandaki" yaitu cara berbicara dengan orang yang lebih tua; "kato malereang" yaitu cara berbicara dengan orang yang dituakan secara adat; "kato mandata" yaitu cara berbicara dengan orang yang seusia; dan "kato manurun" yaitu cara berbicara dengan orang yang lebih muda.Â
Saya tidak berusaha untuk menyampaikan budaya dari satu daerah agar terlihat lebih ekslusif, namun inilah cerminan (pasti ada juga di daerah lain) bagaimana sebuah nilai etika masuk pada ranah sosial yang diadatkan.Â
Nampak pada "kehalusan jiwa" masyarakat, Â tergambar pada karakteristik suatu daerah, tercermin pada sikap moral, termasuk juga dalam etika penghormatan baik pada orang lain maupun kepada orang tua kita.
Sungguhpun dunia telah berubah, namun posisi ibu adalah nomor satu. Menghargai ibu adalah bahasa yang universal. Bahkan Presiden Amerika pertama, George Washington, menyatakan "Ibu saya adalah orang yang paling cantik yang pernah saya lihat.Â
Kesuksesan saya saat ini adalah hutang saya padanya. Segala kemampuan, intelektual, fisik, moral dan peran yang saya curahkan, semua berasal darinya".Â
Lebih hebat lagi, konon seseorang pernah bertanya kepada Rasullullah, siapa yang harus dihormati ya Rasullullah? Jawab Beliau; "Ibumu, lalu siapa lagi "Ibumu", lalu siapa lagi  "Ibumu", lalu siapa lagi "Ayahmu".
Lalu bagi saya... Ibu (Mande)adalah sosok hebat yang dengan tangannya memegang cinta dan dengan hatinya bersemayam doa, semuanya cuma satu untuk anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H