Kasus itu mengingatkan pada dekade kehidupan saya sebelum masuk pada Tahun 2000-an di Ranah Minang. Bagaimana saat itu masih kental, kita selalu diajarkan dengan "Kato Nan Ampek", yaitu cara bertutur kata ala orang minang dan sangat melembaga pada lingkungan keluarga dan masyarakat.Â
Ada "kato mandaki" yaitu cara berbicara dengan orang yang lebih tua; "kato malereang" yaitu cara berbicara dengan orang yang dituakan secara adat; "kato mandata" yaitu cara berbicara dengan orang yang seusia; dan "kato manurun" yaitu cara berbicara dengan orang yang lebih muda.Â
Saya tidak berusaha untuk menyampaikan budaya dari satu daerah agar terlihat lebih ekslusif, namun inilah cerminan (pasti ada juga di daerah lain) bagaimana sebuah nilai etika masuk pada ranah sosial yang diadatkan.Â
Nampak pada "kehalusan jiwa" masyarakat, Â tergambar pada karakteristik suatu daerah, tercermin pada sikap moral, termasuk juga dalam etika penghormatan baik pada orang lain maupun kepada orang tua kita.
Sungguhpun dunia telah berubah, namun posisi ibu adalah nomor satu. Menghargai ibu adalah bahasa yang universal. Bahkan Presiden Amerika pertama, George Washington, menyatakan "Ibu saya adalah orang yang paling cantik yang pernah saya lihat.Â
Kesuksesan saya saat ini adalah hutang saya padanya. Segala kemampuan, intelektual, fisik, moral dan peran yang saya curahkan, semua berasal darinya".Â
Lebih hebat lagi, konon seseorang pernah bertanya kepada Rasullullah, siapa yang harus dihormati ya Rasullullah? Jawab Beliau; "Ibumu, lalu siapa lagi "Ibumu", lalu siapa lagi  "Ibumu", lalu siapa lagi "Ayahmu".
Lalu bagi saya... Ibu (Mande)adalah sosok hebat yang dengan tangannya memegang cinta dan dengan hatinya bersemayam doa, semuanya cuma satu untuk anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H