Mohon tunggu...
Ben Subchan
Ben Subchan Mohon Tunggu... Penulis - Waktu dapat merubah apa saja, termasuk diri kita

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Angka-angka pada Covid-19 dan "Social Trust"

8 Mei 2020   05:56 Diperbarui: 10 Mei 2020   04:05 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petugas medis. (sumber: Kompas/Heru Sri Kumoro)

Data yang disampaikan Gugus Tugas Covid 19 itu bukan sekedar angka-angka. Ada peristiwa dibalik angka yang cenderung bertambah itu. 

Angka itu menggambarkan jumlah korban yang sudah menemui Tuhannya, ada yang sedang berjuang mempertahankan nyawanya, ada yang gelisah menunggu kepastian terserang, positif ataukah negatif, ada yang sedang dikarantina selama 14 hari dan lain sebagainya. 

Di balik angka-angka itu, juga tersirat ada yang telah menjadi janda, duda, yatim, miskin. Angka-angka itu juga menyiratkan betapa pengorbanan pasukan garda depan berjibaku berjuang untuk menyelamatkan nyawa. 

Angka-angka itu juga menggambarkan kesibukan dan kesulitan mereka yang peduli pada penanganan dan pencegahan penyebaran virus ini.

Angka memang tidak sesederhana yang terlihat. Secara filosofis angka memiliki makna yang berbeda-beda. Memahami angka nol saja ternyata butuh pikiran yang mendalam.

Nol bukan berarti kosong, angka nol diartikan juga sebagai benda nyata yang tidak ada, seperti itu juga angka-angka lainnya. Mampukah itu dipahami? Kembali kita pada data "angka" kasus Covid 19 tadi, seberapa jauhkah ini dipahami. Jika pasar-pasar, tempat kumpul-kumpul dan tempat-tempat lainnya masih ramai maka dapat disimpulkan "angka" yang disampaikan memang tidak dipahami atau memang tidak dianggap.

Kita kaji secara empirik, kenapa masih saja tidak dihiraukan "angka" tersebut?. Penambahan angka kasus Covid 19 itu tidak terlepas dari interaksi sesama atau adanya keramaian. Meskipun penyebab Covid 19 ini tidak dapat dilihat, tapi pencegahannya telah disepakati dengan selalu menjaga jarak. 

Berarti "Nol interaksi langsung, nol keramaian". Masalahnya, Masyarakat itu tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial dan kultural, yang diartikan sebagai makhluk yang berinteraksi dan punya eksistensi. 

Berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjaga silaturahmi, bergotong-royong, berjamaah, memenuhi kegiatan adat dan lainnya, semuanya adalah prosesi kehidupan yang menandai kebutuhan alamiah dari setiap orang yang sulit untuk dilepaskan dari entitas kemanusiaannya. Itulah yang membuat keramaian tetap hadir, yang dulunya disebut juga dengan kebersamaan.

Dimensi sosial memiliki trust (kepercayaan) yang selalu diikuti oleh masyarakat. Trust itu dapat diwakili oleh tokoh yang dipercaya, baik itu pemuka agama, pemuka masyarakat dan kepala suku/ adat.

Saat ini trust bisa juga diwakili oleh tokoh yang diidolakan. Di Sumatera Barat, trust itu masuk pada sistem nilai yang diwujudkan dalam tahapan proses kepemimpinan dengan istilah "kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo, bana manuruik alua jo patuik, manuruik patuik jo mungkin". 

Artinya setiap orang ada tingkatan  kepemimpinan dan pemimpin itu berdiri secara benar. Ada kearifan dalam setiap tahapan kepemimpinan, dan tindakannya harus sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Jika tidak, maka akan muncul persoalan krisis kepercayaan (untrust).

Jadi tidak heran di setiap daerah di sumatera Barat pemimpinnya juga memiliki gelar adat, yang dimaksudkan sebagai simbol bahwa mereka telah mampu melewati tahapan proses kepemimpinan di tingkat suku/ adatnya masing-masing. Mereka sendiri adalah simbol dari social trust sebagai investasi untuk melebarkan kemampuan kepemimpinannya di tingkat daerah.

Kembali ke penanganan masalah "angka" kasus Covid 19 tadi, yang sangat dibutuhkan adalah kepercayaan (social trust) tadi.  Social trust adalah modal yang menjadi perekat. 

Jika tidak ada itu, maka kebijakan akan mudah diintervensi dan diprovokasi, sesama masyarakat juga akan sulit untuk saling mengerti. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan berjalan efektif.

Disamping adanya bantuan lainnya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak, maka sebaiknya juga diikutsertakan para tokoh masyarakat/panutan daerah lokal melalui pendekatan penanganan sesuai dengan kearifan wilayah masing-masing yang dimulai dari tingkat desa.

Pendekatan sosio kultural seperti itu juga menjadi penentu ditengah pandemi ini, bukan hanya pendekatan aturan saja. 

Contoh di Kabupaten Agam Sumatera Barat, disamping penanganan oleh gugus tugas kabupaten, pendekatan penanganan Covid 19 diarahkan juga oleh Bupati Agam dilakukan berbasis nagari (desa). 

Ninik mamak sebagai kepala kaum/suku memiliki peran untuk mengendalikan anak kemenakannya menjaga PSBB, mereka yang di rantau dihimbau oleh ninik mamak agar tetap bertahan tidak pulang kampung terlebih dahulu.

Beberapa nagari memfungsikan rumah gadang sebagai tempat karantina bagi anak kemenakan yang diduga terkena covid 19 dan selama 14 hari kebutuhan mereka dibantu oleh kaum/sukunya, unsur parik paga (pemuda) melaksanakan pemantauan keluar masuknya masyarakat dari dan ke nagari. 

Social trust akan memudahkan terlaksananya kebijakan, karena akan menciptakan kesadaran bersama (collective conciousness). "Angka" Covid 19 ini tidak akan bisa dikendalikan jika tidak dilawan secara bersama. Saatnya semua bekerja secara paripurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun