Salamun, lelaki kelahiran Purwokerto tepatnya 22 Juni 1950, memiliki segudang cerita. Dan siapa warga Kota Purwokerto yang tak mengenal dia, sebagai 'penambal ban' kawakan yang mempunyai bengkel di Pasar Kebondalem depan Toserba Matahari Purwokerto.
Salamun, sebagai putra sulung 5 bersaudara pasangan Almarhum Sardja dan Almarhumah Parni, memulai mengenal tambal ban tahun 1966 dengan membantu almarhum bapaknya, dan pada tahun 1969 dia memulai pekerjaannya sendiri.
Loyalitas dan disiplin selalu diterapkan dalam jiwa lelaki tangguh ini.
"Kunci hidup itu selalu semangat, yakin pada diri sendiri," filosofi pribadi dia.
Usia pasca 70 tahun bukanlah usia yang mudah, rentan dengan penyakit. Namun dia selalu disiplin, berangkat jam 06.00 pagi hingga tutup bengkel jam 23.00 malam.
"Kalau bangun kesiangan, kasian orang-orang yang mau mompa ban sepeda, sepeda motor atau mobil. Apalagi yang bocor ban nya, mereka jadi terhambat aktifitasnya," katanya
" Jam-jam pagi justru sangat ramai orang datang ke bengkel, saya memang mencari uang, tetapi bukan uangnya, tujuan saya adalah membantu perjalanan mereka," imbuhnya.
Sebagai orang Jawa, Salamun juga memegang teguh prinsip 'tepo-sliro' pada sesama, sering saat hendak tutup bengkelnya, tiba-tiba datang orang minta tolong ditambal ban, dia pun lalu membuka bengkelnya kembali.
Dan dia pun sering tidak meminta upah atau pengganti ban jika orang yang datang benar-benar tidak punya uang.
"Rejeki sudah diatur Tuhan, yang penting yakin dan ikhlas menolongnya," tambahnya.
Tak terasa 50 tahun sudah dia mengabdikan diri sebagai penambal ban, tanpa terasa dia telah memiliki sebidang rumah cukup besar hasil dari jerih payahnya serta tanpa dirasakan olehnya bisa menafkahi 6 putra-putrinya hingga memberikan 9 orang cucu. Di antara 3 orang anak lelakinya mewarisi profesi yang sama dan kerap membantu dia.