Sayup irama dangdut menghangati sudut remang warung kopi, seputaran Taman Andang, Kota Purwokerto, dengan canda tawa di antara denting gelas kopi dan kumpulan asap rokok, menyelimuti samar batre emergency pengganti lentera
Adalah Sum (nama samaran) wanita usia 55 tahunan asal Ajibarang, yang menghabiskan waktunya selama kurang lebih 25 tahun hidup sebagai pelacur jalanan wilayah ini dan pemilik warung kopi itu
"Dulu ramai mas, waktu taman itu masih jadi terminal bus, sekitar tahun 1985-an pelanggan juga banyak, tiap malam bisa dapat Rp 200.000." katanya sambil menyeduh kopi pelanggannya. "Sekarang boro-boro dapat segitu, dapat 50rb aja sudah syukur."
Ya, jaman tahun 1983-1990 Â memang banyak pelacur-pelacur liar jalanan di wilayah Terminal Bus Purwokerto ini sebelum pindah ke wilayah timur dan menjadi Taman Andang.
Berbagai macam karakter mereka, secara sosial mereka saling menyadari kepribadian sendiri. Ada yang lebih suka melayani pelanggannya di lahan sawah-sawah kering beralaskan tikar atau koran, ada yang lebih suka menunggu pelanggan di losmen-losmen
Pun dengan pelanggan-pelanggan lokal, dari anak muda hingga usia lanjut, ada yang bermotor maupun bersepeda, mereka layani, lepas dari resiko 'penyakit kelamin'.
Nampak sesosok lelaki tua, berusia 70 tahunan, menyenderkan sepedanya, duduk menyapa 3-4 orang lainnya, termasuk aku. Sum terlihat sigap menyeduh teh tubruk, hapal akan selera tamunya.
Sepuluh menit berselang, setelah menyeruput minumannya lelaki tua itu bangkit dan berjalan ke arah losmen sebelah barat warung. Tak lama Sum bergegas menyusul lelaki tua itu.
"Itu pak No, langganan setia mba Sum dari dulu," tutur Wati (nama samaran) yang menggantikan Sum berjualan.
Wati sama profesinya hanya dia lebih muda dibandingkan Sum.
"Saya ikut mba Sum lima tahun lalu, sebelumnya mangkal di losmen itu," jelasnya, "tapi karena banyak pendatang lain yang suka mabuk, saya ngga betah."