Seorang pria berjalan gontai, terhuyung memasuki pelataran gereja. Rambutnya panjang, mencuat kesana kemari seperti sarang burung kenari. Wajahnya tirus dan badannya kurus, seperti orang yang belum makan berhari-hari. Ia memandang ke depan dengan tatapan nanar. Seperti orang yang akan bunuh diri.
Paling tidak mungkin itu yang akan dikatakan orang-orang yang melihatku di gereja pagi itu. Setelah dua bulan tidak beribadah, dua minggu terakhir bahkan tak keluar rumah, akhirnya aku menginjakkan kaki di pelataran suci ini. Masa berkabung sudah usai, brahmacariku sudah selesai.
Hari Senin dua bulan lalu aku mengalami nahas di atas segala nahas. Cintaku pupus, diputuskan oleh mantanku. Lagi. Dengan yang waktu itu maka sudah sebelas kali aku patah hati dalam usia yang belum lagi kepala tiga. Enam kali cinta ditolak, tiga kali diputuskan, dua kali gagal saat sudah menjelang naik pelaminan. Nahas.
Penyebabnya pun klasik dan itu-itu saja. Hanya dua kata: 'berbeda' dan 'terlalu'. Diulang-ulang dengan berupa-rupa kombinasi hingga aku muak mendengarnya. Aku sudah pernah patah hati karena beda agama, beda suku, beda partai politik, dan beda capres ketika pemilu. Cintaku bahkan pernah ditolak karena beda jenis kelamin sebab ternyata aku jatuh cinta pada seorang lesbian. Jika bukan berbeda, maka masalahnya adalah 'terlalu'. Aku terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu kaya, terlalu miskin, dan terlalu-terlalu yang lainnya. Nahas.
Tapi nahas tiga kali nahas adalah yang terakhir ini. Dari awal aku sudah ragu. Bagaimana tidak, mantan pacarku yang terakhir itu banyak sekali 'berbeda' dan 'terlalu'. Ia wanita jenius, kaya, dan jelita. Belum lagi beda suku dan agama. Aku beruntung ketika itu tidak pemilu sehingga tidak perlu ada beda capres dan parpol. Tapi tetap saja. Apalah dayaku yang idiot, melarat, dan buruk rupa ini. Belum lagi aku setengah gila.
Ajaibnya kami pacaran selama satu tahun, delapan bulan, dan sebelas hari tanpa masalah. Tambah satu bulan lagi jika menghitung masa pendekatan. Akhirnya datang tiba-tiba. Malam itu, tanpa didahului semilir sepoi apalagi hujan dan angin, datang sebuah pesan berbunyi, "Aku sudah tidak mencintaimu. Kita beda agama dan suku, orang tua kita sama-sama tidak setuju. Kau juga terlalu bodoh, miskin, dan buruk rupa untukku. Lagipula aku lesbian."
Lengkap. Dalam satu wanita aku mengalami semua 'berbeda' dan 'terlalu' yang ada dalam bayanganku. Nahas, tiga kali nahas.
Jika patah hati menyisakan hati setengah, maka hatiku tinggal tersisa setengah pangkat sebelas. Itu kurang dari nol koma nol nol nol lima. Demi mencegah hatiku jadi setengah pangkat dua belas, aku bertapa. Selama empat belas hari mengunci diri hanya ditemani sebotol arak dan sebungkus kuaci. Setiap hari kerjaku hanya makan kuaci, minum arak, dan berak. Juga berpikir. Merenung.
Awalnya kubebankan nahasku pada wanita. Wanita-wanita keparat, menolak cintaku yang tulusnya kuadrat. Tapi saat kucoba mencinta pria pun cintaku kandas. Itulah patah hati yang keenam dan kedelapan, saat-saat aku putus asa mencinta wanita dan mencoba birahi pada pria. Jadi kusimpulkan masalahnya bukan wanita.
Berikutnya kusalahkan semesta. Sudah tentu nahasnya cintaku karena nasib terlahir melarat, idiot, dan buruk rupa. Tapi kulihat kawan-kawanku yang terlahir lebih celaka toh berhasil bercinta. Walau pernah patah hati setidaknya tidak sampai sebelas kali. Jadi ini bukan salah nasib atau semesta.
Maka kusimpulkan pelakunya adalah cinta. Ya, cinta. Jika aku tak pernah mencinta tentu hatiku tak pernah terluka. Ia akan tetap utuh seperti sediakala. Cinta itu sakit hati. Cinta itu dikhianati. Cinta itu menanggung sengsara. Maka kupuskan untuk berhenti mencinta. Selamanya.