Aku tertidur di atas papan-papan kayu yang jadi lantai kamarku. Dingin. Tapi setidaknya kering. Di luar sana, di jalanan hujan masih turun rintik-rintik, sisa badai petir tadi malam yang membuatku melolong-lolong ketakutan. Aku kasian pada saudara-saudaraku yang di luar sana. Kehujanan. Kelaparan. Sendirian.
Tapi di rumah ini pun dingin tak hanya di kulit tapi juga di hati. Dingin yang datang bukan bersama angin badai tapi dari dalam diri. Dinginnya sepi. Ya, aku sendiri di rumah ini. Entah sudah berapa lama. Kawan-kawanku pergi sejak sebelim badai menyerang. Seperti biasa mereka mengelus-elus kepalaku saat berjalan keluar, tertawa memandang wajah sedihku yang mengintip dari balik jeruji besi hitam. Aku ditinggal sendiri. Lagi.
Aku harus kuat. Mereka selalu melakukan ini setiap hati, meninggalkanku sendiri. Aku percaya mereka tidak membuangku karena mereka selalu kembali. Ini sarang mereka dan aku dipercaya untuk menjaganya. Aku sudah berjanji, pada diri sendiri dan pada kawan-kawanku walau mereka tidak mengerti. Akan kujaga sarang mereka selama mereka tak ada di sini.
Maka kulakukan rutinitasku setiap hari. Aku keluar kamar. Kuregangkan badan dan bergoyang ke kiri dan kanan untuk mengusir dingin menggigit. Aku keliling lapangan yang mirip hutan kecil ini, mencari tanda-tanda penyusup. Kucing dan tikus, itulah target operasi setiap pagi. Kadang pula kecoa. Hama-hama pengganggu yang hanya mengusik keindahan sarang kawan-kawanku.
Aku patroli dengan setia. Kuusir dua ekor tikus yang sembunyi di ventilasi. Kutangkap tiga ekor kecoa yang sembunyi di tempat sampah. Kutakut-takuti seekor kucing yang hendak berak di depan gerbang. Bahkan aku sempat menantang berkelahi dua orang manusia, lelaki-lelaki menunggang hewan besi yang menggeram menderu di depan gerbang. Kuteriaki mereka hingga hewan besi itu terbirit-birit mengeluarkan asap pekat dari bokongnya. Aku memang hebat.
Mentari sudah turun, siang berganti petang, berlanjut hingga malam. Kawan-kawanku belum pulang. Ingin patroli tapi perutku lapar. Aku kembali menanti, meletakkan badan di atas papan kayu lantai kamarku. Memandang jalan dari balik jeruji besiku. Menunggu.
Aku sudah setengah tertidur ketika mendengar suara itu. Kelontang besi gerbang dan bunyi perut hewan besi yang menderu. Biasanya tanda-tanda ini mendahului kedatangan kawan-kawanku. Aku segera bangun, awas! Kuintip kehadiran mereka dari celah-celah besi gerbang.
Dan... lihat di sana! Tiga manusia berjalan gontai ke arahku. Dari baunya yang terbawa angin malam aku sudah tau siapa itu, kawan-kawanku sudah pulang!
Dengan semangat aku menyambut kedatangan mereka dengan melolong, "Selamat datang! Aku sudah menunggu dengan sabar sepanjang hari, dengan setia berpatroli! Bukankah aku anak yang baik?!" Aku tau mereka tidak mengerti. Tapi aku tidak peduli, aku rindu setengah mati.
Kulihat mereka tergelak melihat tingkah polahku menyambut mereka. Aku makin semangat! Tak hanya bersorak, kini aku pun meloncat-loncat dan menjilat tangan mereka saat mereka sibuk membuka gerbang. Berulang kali aku disuruh duduk, tapi aku tidak peduli. Sudah kubilang, aku rindu setengah mati.
Di dalam rumah kawanku yang termuda, manusia lelaki tambun dengan empat mata, langsung duduk di lantai dingin mengajakku bermain. Ia mengusap-usap rambut kepalaku, tengkukku, punggung dan pinggangku, dan bahkan menggaruk-garuk perutku sambil terus-menerus berkata, "Siapa yang anak baik? Siapa yang pintar jaga rumah?"
Ingin kujawab pertanyaannya, "Aku! Aku! Aku anak yang baik!" Tapi kutahu dia tak bisa mengerti. Jadi aku diam saja, hanya terpingkal hingga kehabisan nafas, geli dan girang.
Geli itu hanya terputus oleh suara manusia wanita yang memanggil dari halaman belakang. Aku tau artinya: jam makan telah tiba! Segera kumeloncat, berlari semangat menyambut makanan. Di sana kawanku yang satu lagi telah menunggu dengan mangkuk di tangan, menguarkan aroma hati ayam.
"Selamat makan, Lucky!" katanya sambil mrletakkan mangkuk. Kulahap mangkuk itu dengan ganas bak menyerang segerombolan tikus. Ia hanya terpingkal melihatku makan. Perut kenyang terisi nasi dan hati, melihat wajah kawanku gembira sekali...
...tak ada yang lebih bahagia dari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H