Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Narsih, Bagian Dua

30 Januari 2019   16:30 Diperbarui: 30 Januari 2019   16:32 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari sudah siang. Jam dinding menunjukkan sudah lewat lima menit dari jam dua. Mentari terik menyinari jalan di luar, sinarnya terpantul ke dalam kafe tempat Narsih duduk menunggu. Di atas meja di depannya segelas iced cappucino dengan ekstra espresso sudah setengah terminum. Ia perlu ekstra kafein itu. Kemarin malam ia kerja lembur. Steven, pelanggan setianya, tiba dari Australia. Katanya ia rindu dan Narsih terpaksa bertempur semalam suntuk. Tapi janji tetap janji dan Asih akan menemuinya disini hari ini. Jam dua siang tepat, itu janjinya.

Sudah satu minggu berlalu sejak Narsih menelepon Asih di telepon malam hari itu. Besok datang dan pergi, Asih menepati janji mengabari bisa bertemu seminggu lagi. Hari berganti, malam terlewati. Tiap malam ia tetap berjibaku mencumbu kekasih baru. Ridwan datang lagi, dua kali. Agus pun berkunjung, membawa teman yang mengharuskan Narsih main depan belakang. Rudi dan Anton mengisi dua malam lagi hingga semalam ia bercinta dengan Steven hingga pagi jam enam.

Enam pria dalam enam malam, tentu saja siang ini ia lelah, tapi lumayan mengisi tabungan. Selain itu pria-pria itu membantunya mengalihkan pikiran dari rindu karena menunggu. Bercinta dengan pria-prianya tentu lebih menyenangkan dari pada hanya termangu menunggu seminggu penuh. Apalagi salah satu pria itu adalah Agus, salah satu pecinta favoritnya. Sudah nikmat dicumbu, ia dibayar pula. Bukankah enak hidup sebagai pelacur?

Sedang ia melamun tiba-tiba jendela yang tadinya terang mendadak gelap. Sebuah mobil kini terparkir di depan jendela menghalangi terang sinar mentari. Dari jenis mobil dan nomor polisinya Narsih mengenali mobil itu. Asih sudah tiba.

Orang yang melihat Asih mungkin tidak akan menebak bahwa ia adalah adik kembar Narsih. Kemiripan keduanya memang masih terlihat, tapi mereka tak bisa lagi dibilang bak pinang dibelah dua. Di ujung mata dan bibir Asih terlihat samar keriput yang menandakan ia banyak tertawa. Perut dan pinggangnya yang dulu selangsing Narsih kini sudah sedikit kendur. Belasan tahun perbedaan cerita hidup tak hanya membekas pada ingatan dan kepribadian tapi juga pada gurat wajah dan badan.

Narsih menyambut kembarannya dengan sumringah. Ia bangkit dari duduknya, mengecup pipi kanan dan kiri. Mereka bertukar sapa dan menanyakan kabar masing-masing. Narsih menanyakan kabar Adinda dan Mas Bram, suami Asih. Sementara Asih balas menanyakan kesehatan kakaknya itu. Mereka menghindari topik-topik berat, tentang orang tua dan keluarga, tentang masa depan, dan terutama tentang pekerjaan Narsih. Mereka masih melepas rindu, terlalu awal untuk itu. Jika obrolan mengalir mungkin nanti satu dua masalah itu akan disinggung. Mungkin. Nanti.

"Maafkan aku mengajak bertemu sesiang ini," kata Asih.

"Tidak apa. Justru aku bersyukur tidak perlu bangun pagi hari ini," jawab Narsih tersenyum. "Kau pasti juga sibuk. Apa kau sudah sempat makan siang?"

Narsih memanggil pelayan meminta dibawakan menu. Asih yang belum makan memesan seporsi cesar salad ditemani jus buah mangga. Ia sedang ingin makan sehat, katanya. Sementara Narsih memesan sepotong brownies cokelat untuk menemani sisa cappucinonya.

"Kau tidak berubah setahun ini," setelah pelayan pergi. "Seperti kau luput dari waktu."

"Tampang bisa menipu. Wajah tanpa cela bisa menyembunyikan hati penuh luka," jawab Narsih, tersenyum. "Tapi terima kasih atas pujianmu. Kau pun masih cantik seperti dulu."

"Tak usah berbohong. Kalau orang melihat kita sekarang tak akan ada yang menebak kita kembar. Aku terlihat lima tahun lebih tua, padahal kau lah yang kakak," kata Asih menggoda.

"Hanya lima menit," jawab Narsih, sedikit tertawa.

Keduanya terdiam. Walau banyak yang ingin mereka bicarakan tak ada yang tahu bagaimana caranya memulai. Jam dinding berdetak detik demi detik sambil kecanggungan menggantung di antara kedua kembar itu.

"Jadi," kata Narsih memecah kecanggungan, "apa saja kegiatanmu seminggu ini?"

"Sama saja seperti biasa," jawab Asih, lega kakaknya bicara lebih dulu. "Pagi aku membuatkan sarapan untuk Mas Bram dan Adinda lalu kami semua berangkat. Mas Bram ke kantornya, aku pun bekerja setelah mengantar Adinda."

"Malam harinya? Bagaimana usahamu membuatkan adik kecil untuk Adinda?" tanya Narsih menggoda. Asih tertawa kecil dibuatnya.

"Masih berusaha. Aku dan Mas Bram bekerja keras untuk itu," kata Asih tertawa.

"Semoga usahamu segera berhasil. Aku tak sabar menjadi tante."

"Amin," kata Asih.

Kesunyian kembali menguasai meja itu, sunyi yang canggung. Beberapa saat sunyi berkuasa hingga akhirnya diinterupsi pelayan yang datang membawa pesanan. Asih melipat tangan dan menundukkan kepala, berdoa syukur pada Tuhan atas berkat makanan, sementara Narsih melihat sambil memotong-motong kuenya. Narsih sudah tidak pernah berdoa, mungkin sudah lupa bagaimana caranya.

"Omong-omong kegiatan," Asih membuka pembicaraan sambil mengaduk saladnya, "apa kau ada rencana hari Minggu ini?"

"Sepertinya tidak. Belum ada klien yang menghubungi. Ada apa?" tanya Narsih, penasaran. Asih biasanya berusaha tidak membahas kegiatannya. Ia tahu Asih masih tidak nyaman mendengarnya.

Asih terdiam sejenak, ragu-ragu. Akhirnya ia bertanya, "Apa kau mau pergi ke gereja bersamaku?"

"Aku sudah lama tidak berdoa, apalagi ke gereja. Aku sudah lupa caranya ibadah," jawab Narsih, tertawa.

"Kalau lupa mari kuingatkan," jawab Asih, ikut tertawa. Ia terlihat bersyukur Narsih menanggapinya dengan santai.

"Kalau tidak ibadah pun tak apa. Gereja tak hanya untuk menyembah, kau pun tahu itu. Setidaknya datanglah untuk bertemu sanak dan handai taulanmu," tambah Asih lagi.

"Handai taulan yang melaknati aku dan mengkavlingkan rumah bagiku di neraka? Buat apa mereka mau bertemu aku?" kata Narsih lagi, masih tergelak.

"Mereka mungkin akan berubah pikiran setelah melihatmu. Bukankah kesal akan semakin menumpuk jikalau tak pernah bertemu?"

"Hmm, aku ragu," kata Narsih seolah bepikir. Sebenarnya ia yakin sanaknya masih sama seperti dulu, suka menghakimi dan merasa benar sendiri, merasa suci karena sudah beribadah seminggu sekali dan berdoa sepanjang hari. Oh ya, mereka juga tidak berzinah, maka mereka menjadi suci. Katanya. Narsih ingat ada sembilan perintah lain selain larangan berzina dan ia tak yakin penghujatnya sudah menaati semuanya.

"Apa kau masih sakit hati karena perbuatan mereka dahulu?" tanya Asih pelan.

"Sejujurnya aku sudah tak peduli. Aku yang dulu, yang mereka sakiti hatinya, sudah tak ada lagi. Aku yang sekarang sudah bukan yang dahulu, aku tak lagi mengingat ikatan diriku yang lampau. Hanya kaulah yang tersisa," terang Narsih.

"Apa yang kau maksud hidup baru? Bukankah gaya hidupmu masih sama seperti dahulu?" tuntut Asih.

"Apa kau juga akan menghakimiku?" Narsih balas bertanya, ada ancaman dan sakit hati pada nada suaranya. Sepertinya basa-basi sudah usai.

"Tidak... bukan itu maksudku. Aku hanya ingin tahu. Hidup baru yang ku tahu tidak seperti ini. Kitab suci dan pendeta mengajarkan hidup baru berarti melepas dosa, bebas dari nafsu daging. Aku menyayangimu Narsih, akan selalu begitu, tapi yang ku tahu kau tidak hidup baru," Asih berusaha menerangkan pada kakaknya.

"Siapa bilang hidup baru harus seperti itu? Aku hidup baru, menjadi pribadi yang baru. Aku bukan lagi Narsih yang dulu, Narsih yang bimbang dan ragu-ragu, Narsih yang lemah dan selalu jadi korban. Kalau mau dibilang bebas, sekarang pun aku pun bebas. Aku bebas dari belenggu aturan-aturan manusia yang tidak kupercaya. Aku bebas menjadi diriku, mengikuti aturan yang kumau," Narsih berargumen.

"Jangan bicara begitu, Tuhan bisa marah padamu," jawab Asih tak terima. "Aturan Tuhanlah yang kau sangkal. Aku yakin kau berpikir begitu karena merasa sudah telanjur berdosa. Kisah ini sering kudengar, orang yang merasa berdosa dan tak layak diampuni Tuhan lalu berlanjut menyangkal-Nya.

"Tapi Tuhan tidak begitu. Tuhan maha pengampun, seberapa besar pun dosamu. Aku pun berdosa, tak sempurna. Tapi aku menerima ampunan Tuhan itu dan mensyukurinya. Ayo Narsih, kau pun belum terlambat. Tak pernah ada kata terlambat hingga maut menjelang."

"Kau masih salah paham. Aku tak tahu lagi apa kau memang tak mengerti atau tak mau mengerti. Sudah berapa kali kubilang, ini pilihanku, tidak terpaksa orang ataupun keadaan.

"Coba biarkan aku yang bertanya. Mengapa kau menjadi istri yang setia bagi Mas Bram, ibu angkat yang baik bagi Adinda? Mengapa kau berdoa tiap pagi dan malam, menyembah di gereja setiap akhir pekan? Tidakkah itu semua terpaksa keadaan, karena kau takut hukuman Tuhan dan pengucilan dari sanak dan rekan?"

"Tentu tidak!" jawab Asih, makin tak terima. "Kau pun tahu betapa aku percaya sedari dulu, betapa salehnya dan taatnya aku. Tak pernah aku merasa terancam atau terpaksa."

"Aku tahu Asih. Itulah sebabnya aku sangat menyayangi dan menghormatimu. Kau tidak munafik seperti orang lain yang menghakimiku. Maafkan jika aku menyinggung," jawab Narsih menenangkan.

"Kau percaya Tuhan dan dosa sedari awal dan tidak pernah punya alasan untuk tidak percaya. Itu pilihanmu. Sama seperti ith, ini pun pilihanku. Pilihan yang kuambil saat sadar dan sehat walafiat lahir dan batin. Kita memang kembar, tapi hidup yang kita lalu tidak sama. Pengalaman hidupku membawaku pada pilihan yang berbeda darimu. Dapatkah kau mengerti itu?" tanya Narsih lagi.

Narsih mulai putus asa membuat adiknya mengerti. Ia ingin adiknya paham dan menghormati pilihannya. Ia tak ingin adiknya ikut menghakiminya, mengucilkannya. Ia ingin adiknya menerima bahwa mereka berbeda. Tapi Asih tak juga menunjukkan tanda-tanda paham. Setelah semua yang meninggalkannya, ia tak mau kehilangan kembarannya juga. Narsih takut.

Hening kembali merajalela. Makanan dan minuman mereka tak tersentuh. Jam dinding masih berdetik dan es dalam gelas mereka habis mencair. Lapar dan haus terlupa dalam keseriusan percakapan mengenai masa lalu dan masa depan.

"Kau berkata aku tak punya alasan untuk tak percaya," kata Asih akhirnya, tidak menjawab pertanyaan. "Lalu apa alasanmu memilih jalanmu?"

Narsih terdiam sejenak. Ini adalah luka hatinya yang paling dalam, paling membekas dan membentuk dirinya. Bisa dibilang luka inilah yang membunuh Narsih yang lama, melahirkan Narsih yang baru. Ia belum pernah menceritakan ini pada siapapun juga, bahkan tidak pada Asih yang adalah bayangan cerminnya. Yang Asih tahu hanyalah bahwa suatu hari ia datang di depan pintu rumah membawa Adinda dan dengan tiba-tiba pula ia pergi dan menjadi pelacur. Hingga sekarang.

"Kau tahu aku memang ragu sedari dahulu," akhirnya Narsih perlahan buka suara. "Jika tidak tentu aku tidak melahirkan Adinda ataupun menikah dengan bajingan itu. Tapi saat itu aku masih percaya, aku masih berharap pada Yang Mahakuasa. Aku masih berdoa untuk masa depan Adinda dan meminta agar dikirimkan penolong yang membebaskan aku dari bajingan itu.

"Kau tak tahu penderitaanku ketika itu. Sebelas tahun pernikahan itu... bukan, perbudakan... rasanya seperti siksa neraka yang terdalam. Setiap hari aku dijadikan babu: memasak untuknya, membersihkan rumahnya, mencucikan bajunya. Uang dapur yang diberikannya tak pernah cukup tapi ia meminta jamuan bak raja setiap malam. Ia merokok dalam rumah, membuang abunya sembarangan. Tapi ia selalu mengamuk jika menemukan sedikit debu di lantai atau secercak noda pada tembok dan perabotan.

"Dan ia mabuk. Ia jarang pulang, kalaupun pulang selalu lewat tengah malam dan menguar dengan bau minuman. Tak jarang ia bawa cairan keparat itu ke rumah. Botol-botol kaca, kosong dan berisi, berjejer di dalam kamar kami seperti trofi penghargaan atas kekejiannya. Ketika ia minum amuknya semakin beringas, buas. Hampir tak ada hari wajahku tak memar membiru dan luka setengah sembuh menjadi perhiasan tubuhku.

"Adinda pun tak luput darinya. Anak kecil itu belum mengerti dunia, hanya haus kasih sayang kedua orang tuanya. Kadang ia mengganggu ayahnya ketika mabuk atau menangis sepanjang pagi dan siang saat ayahnya tertidur mabuk. Bajingan itu akan mengamuk, berusaha memukuli darah dagingnya bagaikan ia hanya seonggok tahi. Aku berusaha mencegahnya, melindungi Adinda. Tak jarang Adinda kukunci di kamar ketika ayahnya pulang dalam keadaan mengamuk setengah sadar.

"Itu bukan hidup. Bahkan seekor kecoa pun bisa hidup lebih bahagia dariku ketika itu," kata Narsih akhirnya.

Luapan memori dan emosi berkecamuk dalam otaknya. Bak episode dalam serial televisi semuanya berkelabat berlalu. Pertengkaran dan perkelahian, bogem dan piring terbang, sundutan rokok dan pemerkosaan. Juga emosi yang terpendam kini meluap ke permukaan. Marah dan takut, sedih dan sesal, semua berputar dalam pusaran memori dan emosi.

Ia menggenggam gelas cappucino dengan erat hingga buku-buku tangannya memutih dan ujung jarinya terasa kebas. Ia bisa merasakan butiran air mata mulai menumpuk di pelupuk. Diambilnya selembar tisu dan disekanya air mata itu, hati-hati agar tidak merusak riasannya. Ia sudah berjanji pada diri sendiri tak akan menangis lagi. Sudah cukup sebelas tahun ia memerah air mata.

Asih hanya bisa memandangnya prihatin dari seberang meja. Alisnya berkerut, mulutnya sedikit menganga. Dari dalam matanya bisa Narsih liat bayangan sedih, prihatin, dan tidak percaya.

"Kenapa kau tak pernah menghubungiku?" tanya Asih akhirnya. "Yang aku tahu saat itu hanyalah kau bunting dengan seorang yang kau temui di kelab malam. Lalu kau menikah dan tak pernah berkabar sebelas tahun lamanya. Kukira selama itu kau hidup bahagia dan masalah baru muncul beberapa saat sebelum kau kabur."

Narsih hanya tersenyum dengan mata berkaca, menyembunyikan luka. Ia sering mendengar pertanyaan itu dari polisi dan aparat lain yang menguruskan perceraiannya ketika itu. Kenapa tak meminta bantuan? Mengapa tak lapor tetangga, aparat desa? Ia sudah muak mendengarnya. Tapi demi kasihnya pada Asih ia berusaha sabar.

"Aku tak bisa cerita," jawan Narsih perlahan. "Aku selalu dikurungnya dalam rumah, tak pernah diijinkan keluar kecuali saat pergi ke pasar. Itu pun hanya ketika ia tak mabuk dan dapat mengantarkanku, seperti sipir mengantar tahanannya. Hidupku seperti campuran anjing dan budak, kegiatanku hanya makan, berak, dan melakukan pekerjaan rumah."

"Lalu mengapa baru kini kau cerita padaku? Bukankah kau sudah lepas darinya sejak enam tahun lalu?" tuntut Asih lagi. "Bahkan ketika kau kembali kau tak bercerita sebanyak ini. Kau hanya berkata kau menderita dan disiksa, nyawa anakmu terancam. Kau tak pernah cerita sudah terjadi berapa lama."

"Bagaimana aku bisa cerita? Ayah dan ibu sudah memperingatkanku sedari dahulu: jangan pergi ke kelab malam, jangan dekati lelaki itu, jangan percaya bujuk rayu. Aku membangkang lalu seketika itu juga aku menderita. Aku sudah tau reaksi mereka jika kuberitahu itu. Tak mungkin simpati yang kudapat, atau belas kasihan. Yang akan kudapat hanya wejangan dan penataran."

Asih terdiam tak mampu berkata-kata. Matanya menatap Narsih, nanar dan prihatin. Alisnya ditekuk, seperti berpikir serius. Mungkinkah Asih mulai memahami pilihannya?

"Itukah alasan kau meninggalkan Tuhan dan bekerja seperti sekarang? Penderitaan?" tanya Asih akhirnya, pelan.

Narsih menggeleng. "Bukan hanya penderitaan. Awalnya aku masih berharap, bukankah sudah kukatakan padamu? Saat itu aku kira ini adalah hukuman. Aku berdosa, saat itu pun aku sudah tahu. Aku berzina dan melawan orang tua, itu sudah dua dari sepupuh hukum Tuhan yang kulanggar. Belum lagi aku tidak pernah menguduskan Sabatnya. Lalu aku percaya bahwa penderitaan yang kutanggung, siksa yang kujalani adalah hukuman. Bajingan itu kulihat seperti malaikat Tuhan yang menjatuhkan hukum keadilan-Nya. Jika aku sabar dalam menanggungnya suatu saat Tuhan akan mengampuniku dan membebaskanku dari belenggu, begitu pikirku

"Tapi hari menjadi minggi, minggu menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun. Waktu berlalu dan Adinda sudah tumbuh dari bayi menjadi balita, lalu menjadi anak sekolah. Hukuman itu terasa panjang dan semakin panjang saja, tak kunjung terlihat tanda akan usai. Aku mulai kehilangan harapan. Jika ini hukuman di mana adilnya? Apakah kesalahanku, bersenang-senang dan bercinta tanpa kehendak-Nya, layak dihukum seberat ini? Jika ini bukan hukuman, Tuhan mana yang setega ini membiarkanku menderita seorang diri?

"Setelah sepuluh tahun akhirnya harapan itu benar-benar pupus. Malam itu dengan, satu lagi lebam baru di tubuh, kuputuskan ini bukanlah hukuman atau kehendak-Nya. Ini hanyalah hasil perbuatan lelaki jahanam dan kebodohan seorang anak perempuan yang termakan bujuk rayunya. Setelah itu selama setahun aku berusaha melarikan diri mencari celah, sedikit saja, untukku dan Adinda lepas dari belenggu bajingan itu.

"Akhirnya aku berhasil. Dengan tubuh dan jiwa terluka aku mencari satu-satunya sisa harapanku akan Tuhan dan manusia: ayah dan ibu. Ketika malam itu kuketuk pintu depan rumah masa kecil kita dan kulihat wajah ayah yang membukakan pintu, aku tahu Tuhan dan manusia tak bisa diandalkan. Aku bayangkan akan disambut seperti anak yang hilang dalam kitab Lukas tapi ternyata ia memandangku seperti anjing kudis yang terdampar di selasarnya, menajiskannya. Aku yakin jika bukan karena kau yang meyakinkannya untuk membantuku ketika itu tentu aku sudah diusirnya.

"Saat itulah aku tahu: ajaran surga dalam kitab suci tak ada maknanya. Ia hanya belenggu, tak ubahnya dinding dan jendela berjeruji di rumah bajingan itu yang membelenggu tubuhku, ajaran surga itu membelenggu jiwaku. Dan manusia-manusia yang beribadah setiap minggu itu hanyalah sipir bagi penjara hatiku. Aku tak pernah bebas, hanya meloncat dari penjara ke penjara," kata Narsih mengakhiri kisahnya.

Asih masih menatapnya. Matanya nanar. Apakah yang ada di bening mata adiknya, Narsih membatin. Sedihkah itu? Ataukah sesal? Apa ia iba akan nasib kembarannya ini?

Kedua kembar itu membisu bak bayangan cermin, simetris berhadapan. Narsih menatap keluar jendela memandang kegiatan jalanan dari antara dua mobil yang terparkir. Asih masih menatapnya, sesekali menundukkan kepala, larut dalam pikirannya sendiri. Pelayan datang dan pergi membersihkan sepiring sayuran yang nyaris utuh. Di sekeliling mereka suasana kafe masih hidup dengan hiruk pikuk orang yang makan, minum, dan bercengkrama. Tapi meja mereka bak tergantung tak tersentuh waktu dengan dua wanita kembar yang berhadapan membisu.

"Suatu malam," kata Narsih lagi, kembali berkisah, "ia menuntutku melayaninya. Mencumbunya. Saat itu aku sudah lelah. Lelah menjadi babunya, lelah disakitinya. Aku menolak. Ia tak menyerah begitu saja. Aku ingat rambutku dijambaknya, bajuku dirobeknya, pahaku dibukanya dengan paksa dan ia menyeruak ke dalamku tanpa membasahinya lebih dulu. Aku masih ingat nyerinya dan cairan yang menetes di selangkanganku ketika itu merah bercampur darah.

"Kau tahu apa yang dikatakannya setelah itu? Dalam mabuknya mengataiku 'Dasar jalang murahan. Kalau tidak karena selangkanganmu sudah kubuang kau sedari dulu!'

"Jalang, ia memanggilku. Gombal rayunya dahulu rupanya hanya tipu daya untuk membujukku. Yang ia inginkan bukan hatiku tapi hanya apa yang ada di antara kedua pahaku. Baginya aku hanya kelaminku. Ia merasa memilikiku dan sekehendak hatinya aku bisa dijual atau dibeli, mencampakkanku dan memungutku kembali.

"Aku harus membuktikan, setidaknya pada diriku sendiri, bahwa kelaminku adalah milikku seorang. Dengan menggunakannya semauku, mencumbu siapapun yang kumau, sedikit demi sedikit aku mengambil kembali kepemilikan atas liang senggamaku, atas birahiku. Dengan menjualnya pada pria yang kumau aku mengambil kembali kuasa atas diriku, atas hidupku. Dan aku terkejut, tapi senang, ketika kudapati aku dapat pula berkuasa atas pria-pria lain. Semua hanya dengan merebut kembali kendali atas tubuhku ini.

"Aku harap kau dapat mengerti itu," kata Narsih pada distorsi bayangan cerminnya yang masih menatap dalam bisu.

Lama kedua saudara itu terdiam. Narsih tampak lebih tenang, damai dalam pilihannya. Sepotong demi sepotong ia habiskan kue brownies yang telah dipesannya. Teguk demi teguk ia habiskan sisa cappucinonya. Kopi itu sudah tidak dingin, esnya telah lama mencair mengencerkan pahitnya rasa kopi menjadi tawar. Sementara Asih larut dalam perenungannya sendiri. Teh yang dipesannya tak tersentuh sama sekali. Butiran embun menetes di tepi gelas membasahi meja tanpa ada yang peduli.

Waktu terus berjalan seiring putaran jarum jam. Terik mentari siang telah berganti menjadi jingga cahaya senja. Mentari sudah nyaris terbenam ketika Asih memecah bisunya dan berkata,

"Bagaimana dengan Adinda? Apa kau ingin ia mengikuti jejakmu?"

"Tentu tidak. Aku tak ingin ia menghadapi pilihanku. Aku bahkan tak ingin ia merasakan kehidupanku. Ia sudah cukup menderita dalam sebelas tahun pertama hidupnya," jawab Narsih.

"Lalu apa kau keberatan jika ia kubesarkan menjadi cerminanku, taat dan patuh pada aturan surga dan manusia?"

"Aku keberatan," jawab Narsih singkat.

"Lalu apa yang kaumau untuknya?"

"Aku mau ia memilih sendiri jalannya. Aku mau ia sendiri yang berkuasa atas nasibnya," terang Narsih.

Kedua kembarannya itu tak banyak berkata setelah itu. Asih masih bungkam, tak mengungkapkan pendapatnya atas dasar pilihan hidup Narsih sebagai pelacur. Tak pula ia mengungkapkan isi hatinya mengenai pesan Narsih untuk membiarkan Adinda memilih jalan hidupnya sendiri. Narsih tak bisa berbuat banyak menghadapi bisu adiknya. Ia hanya bisa berharap, semoga tak akan kehilangan manusia terakhir yang masih dicintanya dari hidupnya yang lama.

Tak lama kemudian Asih pamit. Malam sudah turun ketika itu dan ia harus menyiapkan makan malam bagi Mas Bram katanya. Mereka berpelukkan, mencium pipi kanan dan kiri sambil mengucapkan pesan agar menjaga kesehatan. Mereka saling mengucapkan salam perpisahan dan harapan agar segera berjumpa kembali. Akhirnya Asih pergi tanpa menyatakan isi hatinya, tanpa menanggapi curahan kisah Narsih.

Setelahnya Narsih pergi ke kamar mandi wanita. Ia pulas kembali riasannya yang sedikit rusak karena genangan air mata dan emosi yang meluap. Sedikit pupur dan pemerah pipi, sedikit penggaris alis dan gincu di bibir. Ia tatap bayangannya di dalam cermin. Cantik.

"Apa yang kau inginkan sekarang?" tanya Narsih pada bayangan cerminnya.

Tak ada jawaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun