"Saat itulah aku tahu: ajaran surga dalam kitab suci tak ada maknanya. Ia hanya belenggu, tak ubahnya dinding dan jendela berjeruji di rumah bajingan itu yang membelenggu tubuhku, ajaran surga itu membelenggu jiwaku. Dan manusia-manusia yang beribadah setiap minggu itu hanyalah sipir bagi penjara hatiku. Aku tak pernah bebas, hanya meloncat dari penjara ke penjara," kata Narsih mengakhiri kisahnya.
Asih masih menatapnya. Matanya nanar. Apakah yang ada di bening mata adiknya, Narsih membatin. Sedihkah itu? Ataukah sesal? Apa ia iba akan nasib kembarannya ini?
Kedua kembar itu membisu bak bayangan cermin, simetris berhadapan. Narsih menatap keluar jendela memandang kegiatan jalanan dari antara dua mobil yang terparkir. Asih masih menatapnya, sesekali menundukkan kepala, larut dalam pikirannya sendiri. Pelayan datang dan pergi membersihkan sepiring sayuran yang nyaris utuh. Di sekeliling mereka suasana kafe masih hidup dengan hiruk pikuk orang yang makan, minum, dan bercengkrama. Tapi meja mereka bak tergantung tak tersentuh waktu dengan dua wanita kembar yang berhadapan membisu.
"Suatu malam," kata Narsih lagi, kembali berkisah, "ia menuntutku melayaninya. Mencumbunya. Saat itu aku sudah lelah. Lelah menjadi babunya, lelah disakitinya. Aku menolak. Ia tak menyerah begitu saja. Aku ingat rambutku dijambaknya, bajuku dirobeknya, pahaku dibukanya dengan paksa dan ia menyeruak ke dalamku tanpa membasahinya lebih dulu. Aku masih ingat nyerinya dan cairan yang menetes di selangkanganku ketika itu merah bercampur darah.
"Kau tahu apa yang dikatakannya setelah itu? Dalam mabuknya mengataiku 'Dasar jalang murahan. Kalau tidak karena selangkanganmu sudah kubuang kau sedari dulu!'
"Jalang, ia memanggilku. Gombal rayunya dahulu rupanya hanya tipu daya untuk membujukku. Yang ia inginkan bukan hatiku tapi hanya apa yang ada di antara kedua pahaku. Baginya aku hanya kelaminku. Ia merasa memilikiku dan sekehendak hatinya aku bisa dijual atau dibeli, mencampakkanku dan memungutku kembali.
"Aku harus membuktikan, setidaknya pada diriku sendiri, bahwa kelaminku adalah milikku seorang. Dengan menggunakannya semauku, mencumbu siapapun yang kumau, sedikit demi sedikit aku mengambil kembali kepemilikan atas liang senggamaku, atas birahiku. Dengan menjualnya pada pria yang kumau aku mengambil kembali kuasa atas diriku, atas hidupku. Dan aku terkejut, tapi senang, ketika kudapati aku dapat pula berkuasa atas pria-pria lain. Semua hanya dengan merebut kembali kendali atas tubuhku ini.
"Aku harap kau dapat mengerti itu," kata Narsih pada distorsi bayangan cerminnya yang masih menatap dalam bisu.
Lama kedua saudara itu terdiam. Narsih tampak lebih tenang, damai dalam pilihannya. Sepotong demi sepotong ia habiskan kue brownies yang telah dipesannya. Teguk demi teguk ia habiskan sisa cappucinonya. Kopi itu sudah tidak dingin, esnya telah lama mencair mengencerkan pahitnya rasa kopi menjadi tawar. Sementara Asih larut dalam perenungannya sendiri. Teh yang dipesannya tak tersentuh sama sekali. Butiran embun menetes di tepi gelas membasahi meja tanpa ada yang peduli.
Waktu terus berjalan seiring putaran jarum jam. Terik mentari siang telah berganti menjadi jingga cahaya senja. Mentari sudah nyaris terbenam ketika Asih memecah bisunya dan berkata,
"Bagaimana dengan Adinda? Apa kau ingin ia mengikuti jejakmu?"