Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Narsih, Bagian Dua

30 Januari 2019   16:30 Diperbarui: 30 Januari 2019   16:32 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hening kembali merajalela. Makanan dan minuman mereka tak tersentuh. Jam dinding masih berdetik dan es dalam gelas mereka habis mencair. Lapar dan haus terlupa dalam keseriusan percakapan mengenai masa lalu dan masa depan.

"Kau berkata aku tak punya alasan untuk tak percaya," kata Asih akhirnya, tidak menjawab pertanyaan. "Lalu apa alasanmu memilih jalanmu?"

Narsih terdiam sejenak. Ini adalah luka hatinya yang paling dalam, paling membekas dan membentuk dirinya. Bisa dibilang luka inilah yang membunuh Narsih yang lama, melahirkan Narsih yang baru. Ia belum pernah menceritakan ini pada siapapun juga, bahkan tidak pada Asih yang adalah bayangan cerminnya. Yang Asih tahu hanyalah bahwa suatu hari ia datang di depan pintu rumah membawa Adinda dan dengan tiba-tiba pula ia pergi dan menjadi pelacur. Hingga sekarang.

"Kau tahu aku memang ragu sedari dahulu," akhirnya Narsih perlahan buka suara. "Jika tidak tentu aku tidak melahirkan Adinda ataupun menikah dengan bajingan itu. Tapi saat itu aku masih percaya, aku masih berharap pada Yang Mahakuasa. Aku masih berdoa untuk masa depan Adinda dan meminta agar dikirimkan penolong yang membebaskan aku dari bajingan itu.

"Kau tak tahu penderitaanku ketika itu. Sebelas tahun pernikahan itu... bukan, perbudakan... rasanya seperti siksa neraka yang terdalam. Setiap hari aku dijadikan babu: memasak untuknya, membersihkan rumahnya, mencucikan bajunya. Uang dapur yang diberikannya tak pernah cukup tapi ia meminta jamuan bak raja setiap malam. Ia merokok dalam rumah, membuang abunya sembarangan. Tapi ia selalu mengamuk jika menemukan sedikit debu di lantai atau secercak noda pada tembok dan perabotan.

"Dan ia mabuk. Ia jarang pulang, kalaupun pulang selalu lewat tengah malam dan menguar dengan bau minuman. Tak jarang ia bawa cairan keparat itu ke rumah. Botol-botol kaca, kosong dan berisi, berjejer di dalam kamar kami seperti trofi penghargaan atas kekejiannya. Ketika ia minum amuknya semakin beringas, buas. Hampir tak ada hari wajahku tak memar membiru dan luka setengah sembuh menjadi perhiasan tubuhku.

"Adinda pun tak luput darinya. Anak kecil itu belum mengerti dunia, hanya haus kasih sayang kedua orang tuanya. Kadang ia mengganggu ayahnya ketika mabuk atau menangis sepanjang pagi dan siang saat ayahnya tertidur mabuk. Bajingan itu akan mengamuk, berusaha memukuli darah dagingnya bagaikan ia hanya seonggok tahi. Aku berusaha mencegahnya, melindungi Adinda. Tak jarang Adinda kukunci di kamar ketika ayahnya pulang dalam keadaan mengamuk setengah sadar.

"Itu bukan hidup. Bahkan seekor kecoa pun bisa hidup lebih bahagia dariku ketika itu," kata Narsih akhirnya.

Luapan memori dan emosi berkecamuk dalam otaknya. Bak episode dalam serial televisi semuanya berkelabat berlalu. Pertengkaran dan perkelahian, bogem dan piring terbang, sundutan rokok dan pemerkosaan. Juga emosi yang terpendam kini meluap ke permukaan. Marah dan takut, sedih dan sesal, semua berputar dalam pusaran memori dan emosi.

Ia menggenggam gelas cappucino dengan erat hingga buku-buku tangannya memutih dan ujung jarinya terasa kebas. Ia bisa merasakan butiran air mata mulai menumpuk di pelupuk. Diambilnya selembar tisu dan disekanya air mata itu, hati-hati agar tidak merusak riasannya. Ia sudah berjanji pada diri sendiri tak akan menangis lagi. Sudah cukup sebelas tahun ia memerah air mata.

Asih hanya bisa memandangnya prihatin dari seberang meja. Alisnya berkerut, mulutnya sedikit menganga. Dari dalam matanya bisa Narsih liat bayangan sedih, prihatin, dan tidak percaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun